SUASANA tegang meliputi sebuah hanggar pesawat terbang dekat
Paris, Prancis. Di tengah ruangan besar itu, sebuah balon
raksasa sedang menggelembung. Dan sesaat kemudian mendadak
melayang ke atas - hanya beberapa utas tali penambat masih
menahan. "Nom de Dieu, mon general!" seru Claudius La Burthe,
"ll vol!"
Seruan beremosi La Burthe, pilot tes pesawat yang akan turut
menerbangkan balon itu, bisa dimengerti. Lebih dari dua tahun
sudah ia bersama Jenderal Pierre Lissarrague, direktur Museum
Penerbangan di Le Bourget, tenggelam dalam kesibukan membuat
balon itu. Proyek yang menelan lebih dari seperempat juta franc
itu bertujuan memperingati peristiwa penerbangan bebas pertama
oleh manusia, 200 tahun lalu.
Waktu itu, 21 November 1783, Jean-Francois Pilatre de Rozier,
Francois Laurant, dan Marquis D'Arlandes terbang dengan sebuah
balon udara panas ciptaan Joseph dan Etienne Montgolfier
bersaudara. Rozier dan D'Arlandes menjadi anak manusia pertama
yang berhasil terbang bebas di angkasa. Mereka mencapai
ketinggian hampir satu kilometer, dan dalam waktu sekitar 25
menit menempuh jarak 15 km.
Peristiwa itu merupakan puncak dari serangkaian percobaan
sebelumnya. Tak jelas apa yang menyebabkan mereka, para
pengusaha pabrik kertas di Vidalon, dekat Annonay di Prancis
Barat Daya itu, tertarik pada masalah penerbangan. Konon, ketika
suatu malam Joseph termenung memperhatikan asap api mengepul ke
dalam cerobong tungku di ruang duduknya, ia menyimpulkan: asap
itu memiliki 'gaya apung' yang mungkin bisa dimanfaatkan.
Joseph kemudian membentuk sehelai kain sutera menjadi semacam
kantung, dan mengisinya dengan asap - dan, tanpa ia sadari, juga
dengan udara panas atau bahang. Penuh kagum, ia lalu menyaksikan
betapa kantung itu membubung dan menempel pada langit-langit
ruangan. Etienne, yang diberi tahu tentang kejadian itu,
menanggapinya dengan bersemangat. Mereka memulai berbagai
percobaan.
Dan balon percobaan itu semakin besar. Hampir setiap
peluncurannya pun berhasil baik. Akhirnya, pada 5 Juni 1783,
mereka meluncurkan sebuah yang bergaris tengah sembilan meter.
Untuk penyaksian peristiwa itu mereka sengaja mengundang para
pamong dan warga terkemuka di Annonay. Dirangsang oleh bahang
api unggun besar yang dipasang, balon segera naik dan mencapai
ketinggian dua kilometer. Tak main-main. Sepuluh menit kemudian
barang itu mendarat kembali. Dan peristiwanya bergema di seluruh
negeri Prancis.
Maka tak lama kemudian Joseph dan Etienne menerima undangan
Akademi llmu Pengetahuan di Paris untuk mendemonstrasikan
penerbangan barang yang menggelembung itu. Dalam salah satu
percobaan di Paris kemudian, mereka menempatkan seekor domba,
seekor ayam jantan, dan seekor itik dalam sebuah keranjang yang
digantungkan. Setelah mengudara selama delapan menit, balon
mendarat selamat sekitar tiga kilometer dari Paris. Terbukti,
makhluk hidup tak mendapat gangguan pada ketinggian sedemikian.
Etienne kemudian membuat sebuah balon yang lebih besar, kali ini
dengan maksud menerbangkan manusia. Bergaris tengah 13 meter,
kantungnya mampu memuat 2.300 meter kubik udara panas.
Perlengkapan lain: landasan bagi penumpang, sebuah tungku untuk
menyalakan api unggun, dan sumber bahang selama penerbangan.
Beberapa kali dilakukan eksperimen dengan balon seperti itu,
setiap kali dengan usaha menaikkannya sedikit lebih tinggi hanya
dibatasi oleh tali penambat.
Raja Louis XVI juga menaruh perhatian besar pada percobaan
Montgolfier Bersaudara. Untuk penerbangan eksperimental yang
mereka rencanakan, tanpa tali, Louis XVI menawarkan dua penjahat
sebagai penumpang. Maksudnya, bila penerbangan gagal, biarlah si
kedua penjahat mampus. Tapi Pilatre de Rozier, yang sudah
beberapa kali naik dengan balon tertambat itu, menolak keras
tawaran ini. Bukan apa-apa: ia merasa penjahat tak pantas
mendapat kehormatan menjadi manusia pertama di udara. Tawaran
Raja Louis dibatalkan, dan akhirnya Rozier dan D'Arlandes
sendiri yang tinggal landas - di tengah sorak gembira ribuan
penonton yang berkerumun di halaman sebuah istana kecil di Bois
de Boulogne, Paris.
Kini, 200 tahun kemudian, "cucu" mereka bersiap mengulangi
peristiwa itu. Gagasan itu dicetuskan La Burthe, dan segera
mendapat sambutan baik dari Jenderal Lissarrague seperti sudah
dituturkan. Seruan La Burthe sendiri, ketika menyaksikan balon
mencuat dalam hanggar, terasa agak janggal. Dilihat dari jumlah
biaya yang dikeluarkan, plus pengalaman dan pengetahuan
penerbangan yang dimiliki mereka yang terlibat, justru aneh jika
balon itu tidak mencuat.
Sangat berbeda dengan balon Montgolfier yang dari kain dan
kertas. Untuk memelihara volume bahang para pilot dulu itu
mengobarkan api unggun - di udara, di tengah landasan yang
mengangkut mereka - dengan membakar ranting kayu, bulu domba,
rumput kering, pokoknya apa saja yang mengeluarkan banyak asap.
Dan sepanang perlalanan mereka tak henti-hentinya memadamkan
bagian kulit balon yang terbakar, akibat gumpalan bulu dan
rumput menyala yang beterbangan kian kemari. Apa boleh buat.
Asap itu mutlak perlu karena itulah yang diyakini sebagai unsur
yang membuat balon mengudara !
Lagi pula para penerbang terdahulu itu tergolong jenis orang
yang oleh masyarakat sering dinamakan 'bahan keliru'. Pilatre
de Rozier, yang ketika itu berusia 29 tahun, adalah petualang
yang konon mencari nafkahnya dengan mengakali orang. Ia memiliki
sedikit pengetahuan tentang farmakologi dan memperdagangkan
suatu "bahan ajaib" yang ia namakan 'garam mikrokosmik'. Ia pun
menyandang gelar pemberian sendiri, seperti "apoteker utama" dan
"inspektur farmasi pada Pangeran Negeri Limbourg".
Kopilotnya, Marquis D'Arlandes, bangsawan yang bergaya santai
dan gemar meniup seruling. Sudah demikian lamanya ia mengimpikan
dirinya bisa terbang, sehingga pada suatu waktu hampir-hampir
merasa seperti pada dirinya sudah tumbuh sepasang sayap.
Adapun salah satu perancang balon itu sendiri, Joseph
Montgolfier, meski tak berpendidikan formal punya perhatian
besar pada masalah fisika kimia, dan mekanika. Banyak
penemuannya yang berarti dalam proses pembuatan kertas maupun
pembuatan mesin secara umum. Ia bahkan pernah mencoba membuat
mesin uap. Sedang Etienne sempat menempuh pendidikan formal
dalam bidang fisika, kimia, dan arsitektur, di Paris. Juga
menciptakan berbagai kemajuan dalam teknik pembuatan kertas,
yang bahkan mendapat perhatian besar dari inspektur jenderal
industri Prancis waktu itu.
Meski begitu, dalam soal penerbangan, hanya Etienne yang punya
"pengalaman": selama 10 menit ia pernah mengudara dengan sebuah
balon yang masih tertambat. Joseph sendiri tak pernah sama
sekali. Ia sehari-hari disibukkan oleh segala persiapan dan
perencanaan pembuatan balon baru, di samping mengurus pabrik
kertas milik Keluara Montgolfier di Vidalon.
Balon yang pertama kali mengangkat manusia itu dicat biru
terang, dan berhiaskan dekorasi berwarna emas. Bentuknya bulat
telur dan menjulang setinggi 21 meter. Tak banyak catatan yang
tertinggal dari riwayat balon itu, dan hanya secarik kecil sisa
balon asli yang masih tersimpan sampai sekarang. Juga tidak
dibuat suatu gambar rencana dulu. Ada sepuluh lukisan tangan
yang dibuat orang lain kemudian, tapi antara satu dan lainnya
sering banyak berbeda.
Jadi, ketika Jenderal Lissarraque, La Burthe, dan Dudon mulai
bekerjasama menciptakan tiruan balon Montgolfier, mereka tak
terlalu terikat batasan catatan historis. Segera saja mereka
menyimpulkan, beberapa ukuran asli - isi dan garis tengah
sebaiknya diubah. "Menurut kami, ukuran itu tak seluruhnya
tepat," komentar sang jenderal.
Tapi dalam satu segi para perancang baru itu bertekad
mempertahankan "keaslian" - dan tidak menyerah pada arus
modernisasi. Yaitu mengenai penampilan luarnya. Pada semua
lukisan tentang balon Montgolfier, terlihat sebagai hiasan
beberapa citra kepala Dewi Minerva yang dilingkari untaian
bentuk ular dan naga. Ada juga huruf hias yang melambangkan nama
Raja Louis XVI dan semua lambang zodiak. Kalaupun terdapat
keraguan tentan bentuk atau jumlah hiasan itu, tak terlalu
menjadi soal. Pilihan bebas.
Setelah percobaan di hanggar dekat Paris, balon tiruan itu
diaagkut. Dan karena yang mengurusi proyek itu seorang jenderal,
semua berlangsung penuh rahasia, di bawah penjagaan ketat pula.
Di sebuah lapangan dilakukan berbagai percobaan, selagi balon
masih tertambat. Akhirnya, pada suatu hari Ahad yang cerah di
awal musim panas lalu, balon itu mengudara bebas dari
tambatannya di lapangan sekitar region de Meaux. Bagai telur
paskah raksasa ia membubung, mengapung selama tiga jam, hingga
akhirnya mendarat di region de Valois.
La Burthe, yang mengendarai balon itu dalam perjalanan ini,
menyatakan bahwa sulit mengendalikan benda terapung itu.
"Separuh waktunya pilot tak akan dapat melihat arah tujuannya,"
gumamnya.
Sebulan kemudian La Burthe dan Lissarrague mengenakan rambut
palsu dan jas panjang, meniru busana nenek moyang mereka di abad
ke-18. Kemudian menaiki balon itu kembali, dan mengudara dari
sebuah halaman di belakang Ecole Militaire. Dalam beberapa jam
mereka mengapung-apung di atas Paris. Konon, sungguh cantik
pemandangan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini