Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kelompok damai di angkatan perang..

Sejak negara israel didirikan, hampir 4500 anggota pasukan elite lapis baja angkatan darat israel terbunuh. sekarang banyak yang jadi pembangkang dalam tubuh ab israel, menolak untuk perang. (sel)

3 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UPACARA dua bulan lalu itu diadakan untuk memperingati hampir 4.500 anggota pasukan elite lapis baja angkatan darat Israel yang terbunuh sejak negara itu didirikan. "Peristiwa yang meriah, tapi emosional," tulis Philip Jacobson dalam majalah The Sunday Times, bulan lalu. Upacara itu dihadiri menteri pertahanan, kepala staf angkatan darat, para perwira senior, dan ribuan orangtua serta sanak saudara yang kehilangan. Di tengah acara pidato, seorang ayah yang kematian dua putranya melemparkan kecaman terhadap para prajurit Israel yang menolak bertugas dalam pasukan pendudukan di Libanon. Ia menyebut mereka "desertir". Tiada dinyana, beberapa pria berpakaian seragam berdiri di antara para hadirin. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan telak kepada orang tua tadi. Belakangan, mereka menemui para wartawan dan menyatakan keberatan mereka terhadap kritik orang tua itu. "Kendati kami pernah bertempur di Libanon," ujar seorang kopral, "kami tidak setuju pada kecaman keras yang dialamatkan kepada para prajurit yang menolak bertugas di sana." Hari itu juga, secara kebetulan, prajurit Kobi Peter, yang berusia 25 tahun, dijatuhi hukuman satu bulan penjara militer. Kobi menolak perintah atasannya. Ia meninggalkan kesatuannya yang akan diberangkatkan ke Libanon. Kobi adalah prajurit Israel ke-100 yang menerima hukuman itu selama tahun-tahun belakangan ini. "Dan, tampaknya, ia bukan yangterakhir," tulis Philip Jacobson. Lebih dari 2.000 orang, yang diharuskan menjalani wajib militer, melakukan tindakan yang sama. Mereka bersama-sama menandatangani petisi sebuah kelompok radikal baru yang menamakan diri Yesh Gvulungkapan Hibrani yang berarti "ada batasnya" . Beberapa di antara pembangkang ini pernah menjalani hukuman penjara, bahkan ada yang lebih dari sekali. Pemerintah Israel tampaknya berhati-hati menangani persoalan mereka. Di samping memberi tekanan, Tel Aviv juga tidak ikhlas bila masalah ini makin terbuka di mata dunia. Yesh Gvul ternyata bukan satu-satunya gerakan protes yang harus dihadapi pemerintah Israel dalam urusan pendudukan militer di luar negeri. Setelah perangnya yang pertama dengan Mesir, tidak selamanya kebijaksanaan militer negeri ini bisa diterima rakyatnya. Di antara kelompok itu terdapat "Prajurit Penantang Medali". Kelompok ini tiada hentinya menghubungi para serdadu Israel yang bertugas di Libanon. Mereka diimbau untuk menolak "pita merah putih biru", yang dikeluarkan pemerintah Tel Aviv guna menandai kampanye "Operasi Damai untuk Galilea". Sudah lebih dari 1.000 prajurityang menyambut imbauan ini. Di antara mereka terdapat Sersan Carlos Weiner, yang pernah dijebloskan ke dalam penjara dan diturunkan pangkatnya satu tingkat. Ada pula kelompok yang menamakan diri "Jalan ke Perdamaian", didirikan oleh anggota pasukan dari unit-unit keagamaan Yahudi yang pernah beroperasi di Libanon. Kelompok ini mengaku memiliki beberapa ribu anggota dari kalangan masyarakat Ortodoks nasional setempat. Di antara para wanita, muncul kelompok "lbu-ibu Penantang Kesunyian". Setiap bulan, kelompok ini melakukan demonstrasi pada tanggal enam untuk memperingati pecahnya perang pertama, yang sampai sekarang tetap membuka kemungkinan untuk menyeret putra mereka ke garis depan yang penuh ancaman maut. Sekitar 1.500 wanita menandatangani permohonan untuk "menghentikan kegilaan", dan menuntut dipulangkannya anak-anak mereka dari medan pertempuran. Kemudian, ada lagi: kelompok "Damai Sekarang" - yang terbesar dan paling terorganisasi dari semua kelompok perdamaian yang ada di Israel. "Damai Sekarang" didirikan oleh 350 prajurit garis depan - banyak di antaranya perwira - pada saat kunjungan bersejarah presiden Mesir Anwar Sadat ke Israel, lima tahun lalu. Sebagai protes terhadap pembantaian penduduk sipil di kamp pengungsi Sabra dan Shatila, Beirut Barat, 18 September tahun lalu, kelompok ini melakukan unjuk perasaan yang diikuti 400 ribu peserta - seperempat jumlah penduduk dewasa Israel. Jauh sebelum keterlibatan Israel di Libanon, "Damai Sekarang" sudah berhasil menarik simpati para prajurit yang tidak setuju terhadap politik pendudukan negeri itu di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kelompok ini pulalah yang mempersembahkan martir dan simbol pertama melalui demorstrasi di luar kantor Perdana Menteri Menachem Begin di Yerusalem, awal tahun ini. Ketika itu, sebuah granat meledak di tengah-tengah massa yang menuntut pengunduran diri Arik Sharon, menteri pertahan dan arsitek invasi Israel ke Libanon. Ledakan itu membunuh Emile Grunzweig, perwira cadangan para, berusia 33 tahun, yang pernah bertempur dalam Perang Enam Hari dan Perang Yom Kippur. Orang pertama yang ditangkap polisi dalam peristiwa pelemparan granat itu adalah prajurit tempur Israel, yang berhubungan dengan salah satu kelompok ekstrim sayap kanan negeri itu. Emile dan kawan-kawannya memang sering mengingatkan, kelompok sayap kanan ini berbahaya. "Emile selalu mencita-citakan tegaknya demokrasi di negeri kami,"tutur seorang sahabatnya. Meskipun demikian, suara antiperang itu, setidak-tidaknya sampai saat ini, belum berhasil menyumbangkan perubahan berarti di kalangan para pengambil keputusan di Tel Aviv. Negeri ini, hampir secara tradisional, menaruh penghargaan yang tinggi terhadap tugas-tugas angkatan bersen jata. Kepahlawanan di medan perang secara luas merupakan idaman. "Sikap umum mayoritas penduduk awam juga masih menguntungkan para pendekar perang," tulis Philip Jacobson lebih lanjut. Namun, isyarat protes, betapa pun lemahnya, sudah mulai bergema di tubuh angkatan bersenjata. Menteri Pertahanan Moshe Arens pernah memandang gerakan protes ini semata-mata sebagai "gejala negatif". Menurut pengamatan Jacobson, ia bukan sekadar"gejala", melainkan suatu yang betul-betul nyata dan merupakan ancaman serius bagi masa depan Israel. Israel merupakan negara berkemampuan paling tinggi di dunia dalam mengerahkan tentara. Dalam keadaan perang, satu di antara 22 penduduk dapat diperintahkan ke garis depan dengan kemampuan tempuryang lumayan. Angkatan bersenjata negeri ini dibangun di atas struktur yang unik dan luar biasa efektif. Manusianya pemberani dan berotak. Satu-satunya 'ancaman' ialah: sikap mereka lebih kritis. Perang Israel sebagian besar memang di jalankan oleh penduduk sipil yang berpakaian seragam. Setiap pria berusia 18 dikenakan wajib militer tiga tahun. Setelah itu ada tenaga cadangan yang dapat dipanggil 30 sampai 45 hari setiap tahun, hingga mereka mencapai usia 50-an. Kelompok terakhir ini biasanya dikerahkan dalam keadaan darurat, misalnya dalam operasi di Libanon sekarang. Tetapi, kemenangan tetap ditentukan oleh kelompok kecil elite dengan motivasi tinggi. Orang-orang pilihan ini umumnya berasal dari lapisan "aristokrasi sosialis", yang bekerja sama dengan gerakan kibbutz yang sangat idealistis. Anggota gerakan kibbutz umumnya menduduki posisi penting dalam pasukan-pasukan elite. Misalnya regu penerbang, pasukan lapis baja, penerjun, infantri andalan, bahkan pasukan katak. Karena itu pula, dalam perang di masa lampau, para kibbutznik paling banyak jadi korban. Mereka sangat taat kepada perintah. Tetapi, rupanya, lama kelamaan politik perang Israel makin tidak bisa mereka pahami. Sikap waswas makin merambat di antara para prajurit yang bergerak di garis depan. "Pengabdian tradisional", yang selama ini merupakan modal dasar itu, mulai dipertanyakan. Kini, makin dekat seorang prajurit ke garis depan makin tak jelas baginya tujuan Israel di Libanon. Jumlah prajurit Israel yang membutuhkan perawatan psikiater sekarang ini dua kali lipat dibandingkan dengan masa Perang Yom Kippur. Sekitar 80% dari jumlah itu adalah anggota pasukan cadangan. Sekarang ini makin banyak tentara yang mengambil bagian dalam gerakan perdamaian. Ribuan lainnya pulang kampung dengan perasaan kecewa, dan mempertanyakan itikad baik para pemimpin negara mereka. Di dalam Yesh Gvul, misalnya, terdapat ratusan bekas tentara Israel dengan pelbagai kekecewaan. Mereka juga mengalami kesulitan di tengah masyarakat: bisnis yang tidak lancar, kesehatan yang morat-marit, dan keluarga yang berantakan. Di samping masalah itu, pemerintahan pos-Begin juga diancam keretakan etnis yang tampaknya berkembang semakin serius. Keretakan itu terjadi antara kelompok Ashkenazim, yang mapan, dan kelompok-kelompok Yahudi Afrika Utara dan Yahudi kelahiran Timur Tengah - yang derajatnya selalu dinilai lebih rendah. Ashkenazim adalah nama yang diberikan pada orang-orang Yahudi yang lahir, atau dibesarkan, di Barat. Pada saat-saat tertentu, permusuhan etnis itu mencapai batas yang menakutkan. Misalnya, beberapa saat setelah Emile Grunzweig terbunuh, kelompok "Damai Sekarang" menerima sepucuk suratyang berisi ancaman. "Kami akan menyikat kalian sebagaimana halnya kami telah menyi kat Grunzweig," demikian bunyi surat itu. "Damai Sekarang" sebagian besar diorganisasikan oleh para Ashkenazim. Surat yang sama juga berisi kata-kata, "Kami akan menyelesaikan apa yang sudah dimulai Hitler." Kini timbul pertanyaan: Sejauh mana keretakan etnis membawa ancaman terhadap tubuh angkatan bersenjata Israel? Hukuman yang dikenakan terhadap para pembangkang ternyata tidak selamanya memulihkan kesadaran mereka akan 'itikad baik' pemerintah. "Ketika akan menjalani hukuman saya bingung juga," tutur Meir Scheffer 30-an tahun, ayah dua anak. "Anda tahu, di negeri ini tidaklah mudah menolak perintah militer." Tetapi setelah keluar dari penjara militer, 35 hari kemudian ia tampak cerah. "Saya sadar telah melakukan hal yang benar, dan menemukan kedamaian dalam diri saya," ujar calon sarjana biokimia dari Institut Weizmann yang sangat terkenal itu. Scheffer menyandang pangkat sersan pada pasukan payung Israel. Ia menjalani dinas aktif segera setelah perang Libanon pecah, dan ditugaskan berperang di front timur menghadapi pasukan reguler Syria. "Sebelum perang ini, saya tidak pernah aktif dalam kegiatan politik," katanya. "Dan, meskipun saya masih menyangsikan tujuan invasi kita yang sesungguhnya, saya tidak merasa perlu membangkang." Namun, di medan perang, kesadarannya tumbuh setelah menyaksikan kenyataan yang acap kali pahit. "Saya tidak bisa membenarkan sebuah pertempuran di tengah wanita dan anak-anak, apa lagi di kamp-kamp pengungsi Palestina," katanya. Setelah beristirahat sejenak di garis belakang, Scheffer kemudian dipanggil untuk turut dalam penyerbuan yang direncanakan terhadap kubu-kubu PLO di Beirut Barat. "Setiap orang mengerti apa yang akan terjadi," ujar Scheffer. "Kami mungkin menderita kerugian besar, dan sejumlah penduduk sipil bakal terbunuh. Kami bisa melihat wajah-wajah penduduk itu di rumah-rumah yang kami serbu. Ketika itulah, tanpa dicekoki siapa pun, kesadaran kami mulai tumbuh." Scheffer mengaku, "kesatuan kami memang luar biasa, para anggotanya rata-rata berpendidikan tinggi. Dan kami membawa prinsip-prinsip kepribadian kami ke tubuh angkatan bersenjata. Karena itu, dusta yang diceritakan pemerintah dan korban yang kami tanggungkan tidak pernah hapus dari ingatan dan kesadaran kami." Kesatuan Scheffer ditarik mundur setelah PLO setuju meninggalkan Beirut. Pulang ke rumah, dan berembuk dengan istrinya, Scheffer mulai berpikir untuk menolak perintah militer yang akan datang. Ia yakin, Israel sedang melancarkan perang yang salah dan sia-sia. Namun, ketika panggilan benarbenar datang, Maret lalu, ia hampir saja berangkat. "Suasana di kesatuan kami sungguh buruk ketika itu," katanya. Tak seorang pun yang percaya lagi pada langkah Israel di Libanon. Scheffer membangkitkan setiap kemungkinan untuk menolak perintah, dan ia membuka diskusi yang sungguh-sungguh dengan sesama rekan. Ia bertanya kepada para sahabat dekatnya apakah ia akan dianggap pengkhianat bila mencoba menolak perintah. "Tidak," jawab mereka. Tapi perwira komandannya mencoba membatalkan rencana itu. "Tindakan itu akan membawa aib bagi kesatuan kita dan keluargamu," kata sang komandan. Scheffer sekali lagi bimbang - sebelum akhirnya berhasil memantapkan keputusannya. "Jangan khawatir," katanya kepadatemanteman sekesatuan . "Saya akan tetap menolak perintah." Cerita Meir Scheffer ternyata bergema jauh. Tanggapan hangat datang dari para refusnik dalam tubuh Yesh Gvul. Mereka terdiri dari para penerjun, pengemudi tank, infantri tempur, bahkan polisi militer. Para prajurit ini terlatih dengan konduite prima, yang tak bisa dinamakan kelompok pemimpi atau penggantang asap. Beberapa di antara mereka sudah bertempur lebih dari sekali untuk tanah airnya. Dan mereka semua akan segera mengangkat senjata bila, misalnya, Israel diserbu negeri lain. Sebagian besar di antara mereka langsung berangkat ke Libanon begitu menerima perintah, dan bertempur dengan baik kendati mulai meragukan moralitas bangsa mereka yang sedang melancarkan of ensif. Bagi Daniel Timerman, keputusan melakukan pembangkangan dirasakan pahit. Ayahnya, Wartawan dan Penulis Jacobo Timerman, bebas dari penahanan dan penyiksaan ilegal di Argentina berkat tekanan-tekanan pemerintah Israel. Dengan kata lain, Daniel Timerman secara khusus berutang budi pada pemerintahnya. Daniel sendiri datang ke Israel, menikah dengan seorang gadis kibbutz, dan berdinas di angkatan bersenjata. Ia ditempatkan di Libanon setelah pertempuran utama selesai, tapi tetap sangat terguncang oleh pemandangan yang disaksikannya di medan perang. "Aku tak ingin terlibat lagi dalam urusan seperti itu," katanya kepada sanak saudaranya. "Saya tidak bersedia kembali ke Libanon karena saya tidak mau melakukan hal yang sama dengan yang telah dilakukan oleh tentara Argentina terhadap keluarga saya." Kata-kata ini, tanpa penjelasan terperinci, mengungkapkan secara terus terang kekejaman tentara Israel di Libanon. Pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatila makin memantapkan pendirian Daniel. "Bagaimana saya mengatakan kepada anak-anak saya, dalam 20 tahun yang akan datang, bahwa saya berada di sekitar tempat pembantaian itu?" katanya. "Atau bahwa saya ditempatkan di dekat situ ? Bukankah lebih baik bila saya bercerita: saya mengetahui kejadian itu, tapi menolak melakukannya." Daniel Timerman dimasukkan ke penjara selama 28 hari, akhir Oktober tahun lalu. Mei tahun ini, sekali lagi, ia menolak tugas militer di Libanon, dan dijebloskan ke tahanan selama 35 hari. Demikian pula halnya dengan David Rothfield, Yahudi Australia yang pulang kampung dua dasawarsa lalu. Sejak awal ia menolak invasi ke Libanon. Ketika mula-mula diperintahkan berangkat ke sana, ia minta kepada komandannya supaya dikirim ke tempat lain saja. Ia kemudian dipulangkan ke pangkalan. Ketika panggilan kedua datang, ia meyakinkan para perwiranya bahwa ia tidak akan bersedia melangkahi perbatasan Libanon. Rothfield turun dari truk yang akan membawa mereka ke medan perang, dan ia pulang ke markas. Pada panggilan yang ketiga, Mei tahun ini, Rothfield tetap membangkang dan bertahan di rumahnya. Ia dipenjarakan 35 hari. Sebulan kemudian, datang panggilan baru - kali ini tugas militer di dalam negeri. Di penjara, para pengawal dan sipir tidak memperlakukan para pembangkang itu dengan kasar. "Mula-mula mereka memang menyanyi-nyanyi dan memuji Begin, mungkin untuk menyindir kami," tutur seorang aktivis Yesh Gvul."Tapi setelah kami terangkan mengapa kami berada di penjara itu, tumbuhlah pengertian, bahkan penghargaan." Di luar dugaan mereka, masyarakat tidak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan para pembangkang itu. Meir Scheffer, begitu keluar dari penjara, langsung memperingatkan istrinya untuk bersiap-siap menghadapi reaksi masyarakat. Ternyata, ia salah hitung. Di pekerjaan, kadang-kadang, ia, disalami oleh orang yang belum dikenalnya. Mereka memuji sikapnya menentang perang. Hanya Daniel Timerman yang kurang beruntung. Mungkin karena publisitas kasusnya yang sengaja dibesar-besarkan pemerintah. "Tidak ada orang yang menemui saya untuk menyatakan berdiri di pihak saya," kata Daniel. "Semuanya menyerang - ya, memang tidak gampang." Di lingkungan angkatan bersenjata Israel sikap menghadapi para pembangkang ini bagaikan mendua. Secara resmi dan terbuka sangat sulit meminta kesempatan mendiskusikan masalah ini dengan pejabat tinggi militer. Beberapa komandan tampaknya lebih suka mengelakkan pengadilan dan hukuman penjara bagi para pembangkang. Untuk mereka, lebih baik secara diam-diam saja memberi tugas lain kepada para pembangkang itu. Misalnya, di salah satu pos di dalam negeri Israel. Tapi, di tingkat paling tinggi, agaknya garis keras lebih mewarnai kebijaksanaan. Jangankan hukuman penjara, bahkan para pembangkang yang selesai menjalani masa hukumannya pun mendapat kesulitan untuk diterima lagi seutuhnya dalam tugas kemiliteran. Bisa dimaklumi, mengingat kemungkinan jangka panjang penduduk Israel di Libanon. Para pengambil keputusan khawatir, sikap lemah menghadapi para, pembangkang akan menurunkan semangat prajurit lain di garis depan. Di antara kelompok perdamaian lsrael memang tidak ada yang lebih gigih dari Yesh Gvul dalam merayu para tentara untuk menolak bertugas di Libanon. Sikap ini, ternyata, belum tentu diterima kelompok lain. Avraham Burg, aktivis terkemuka kelompok "Damai Sekarang", misalnya, berpendapat lain. Menurut dia, semangat merangsang para refusnik lama-kelamaan menimbulkan preseden yang sangat berbahaya di dalam tubuh angkatan bersen jata. "Apa yang terjadi bila, misalnya, para serdadu sayap kanan ekstrim yang bertugas di Tepi Barat menolak perintah yang bertentangan dengan gagasan mereka?" tanya Avraham. Ia sendiri adalah putra Dr. Yosef Burg, pemimpin Partai Religius Nasional Israel yang berpengaruh dan anggota semua kabinet Israel sejak negeri itu menjadi kenyataan. Menarik dalam usia menjelang 30 tahun, Avraham menganggap bahwa Yesh Gvul terlalu cepat memainkan kartu. "Apa rencana mereka beri kutnya?" kata Avraham. "Memang, kami belum pernah bingung dan frustrasi seperti sekarang ini memikirkan sepak terjang negeri kami. Tapi, bila ada pihak mengatakan mempunyai resep untuk menjawab semua soal mereka jelas keliru." Avraham sendiri tadinya seorang paratrup cadangan. Dalam sebuah kecelakaan terjun payung ia menderita luka berat. Ia kemudian bergabung kembali dengan kesatuannya yang lama sebagai sukarelawan, dan ditempatkan di Libanon untuk menghadapi pasukan Syria. "Dalam keadaan takut dan lelah memang tidak ada keinginan untuk bertanya," katanya. "Tapi, setelah semuanya berangsur jelas, beberapa orang menyadari bahwa yang terjadi sekarang adalah pencerminan dari perubahan masyarakat kami sejak Perang Enam Hari. Tidak banyak yang mengakui kenyataan ini." Mengikuti firasatnya, Avraham Burg kemudian bergabung dengan kelompok "Damai Sekarang". Ia menilai, kelompok ini merupakan satu-satunya lembaga yang dapat mengisi kekosongan politik dan moral di pusat kehidupan Israel sekarang. "Saya sendiri belum tahu sejauh mana saya siap melaksanakan keyakinan saya," katanya. "Karena itu, saya menghargai orang lain, misalnya Eli Geva." Eli Geva memang kasus istimewa. Ketika Perang Libanon pecah, putra jenderal Israel yang baru berusia 31 tahun itu menyandang pangkat kolonel, dan komandan brigade yang paling muda. Karier perwiranya, tak pelak lagi, menjanjikan masa depan yang gilang-gemilang. Dengan pasukan tanknya, Geva menerjang sampai ke Beirut, dan kemudian direncanakan memegang peranan kunci menyapu daerah-daerah yang dikuasai PLO. Pada saat itulah Geva mulai menyatakan bahwa langkah itu tidak diperlukan. Tapi dia, tentu saja, tidak berhasil meyakinkan para atasannya. Geva bersedia melepaskan lencana komandan, dan minta meneruskan pengabdiannya kepada tanah air sebagai prajurit biasa. Permohonan ini ditolak. Eli Geva di pecat tanpa diberi kesempatan mengucapkan salam perpisahan kepada anak buahnya. "Saya mengambil keputusan itu karena tahap kedua perang, yaitu pengepungan Beirut, bisa membawa bencana kepada Israel," katanya. "Setiap prajurit tahu, pertempuran dari rumah ke rumah akan menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Bukan saja di pihak tentara, melainkan juga penduduk sipil. Saya tidak mempunyai keberanian bertatapan mata dengan para orangtua yang anak-anaknya terbunuh di Beirut Barat karena mengikuti perintah saya." Maka, Eli Geva pun ingkar. Tindakan Geva laksana letusan bom di tengah angkatan bersenjata dan masyarakat Israel. Beberapa prajurit garis depan menyesalkan sikap mundur Geva. Mereka lebih senang kalau kolonel itu tetap mempertahankan pendiriannya sebagai seorang komandan brigade. Tapi sebagian besar tahu, Geva berdiri sebatang kara di puncak sana, di kalangan pengambil keputusan. Tak akan ada perwira senior yang sudi mendampinginya. Kini ia manajer pada sebuah perusahaan pengecoran logam. "Bila saya berkaca sekarang," katanya, "saya tidak perlu mengutuk diri sendiri atas kematian Avi, Schlomo, dan lain-lainnya. Reaksi masyarakat pun ternyata tidak seburuk yang pernah saya bayangkan bersama istri saya." Nyonya Geva sedang melaksanakan studi tahun terakhirnya di fakultas hukum. Beberapa waktu yang lalu, Geva berbicara di depan ribuan pemuda Israel dalam sebuah rapat "Damai Sekarang". "Anda boleh menentang Perang Libanon," katanya. "Tapi Anda tidak boleh menolak berdinas di angkatan bersenjata. Tentara merupakan salah satu basis utama eksistensi kita." Apakah ia secara pribadi mendukung "Damai Sekarang"? "Beberapa teman saya ada di sana, dan saya menghargai beberapa pendapat mereka. Tapi saya bukan aktivis. Saya akan tetap menerima penugasan di dalam angkatan bersenjata, kapan saja, dan di mana saja. Tapi, saya juga akan selamanya menyatakan pikiran saya. Bukankah ini merupakan hak setiap prajurit Israel?" Namun, Geva sadar, sangat tipis kemungkinan ia akan dipanggil kembali dalam dinas kemiliteran. Apa lagi ditugaskan di Libanon. Dengan pensiunnya Menachem Begin, akan terjadikah perubahan di dalam arus gerakan yang memprotes keterlibatan Israel di Libanon? Belum ada satu isyarat pun bisa menjawab pertanyaan ini. "Para prajurit akan terus terbunuh dan terluka di medan perang sana, menambahkan kepahitan bagi buah Operasi Perdamaian Galilea yang makin tidak disukai masyarakat," kata Philip Jacobson dalam tulisannya. Dan para pengikut Yesh Gvul akan terus bergiliran memasuki penjara, entah sampal kapan. Untuk warga Israel yang cemas, seperti Avraham Burg, masih ada soal lain yang merupakan ancaman lebih besar dalam jangka panjang di masa depan. Yaitu pendudukan Tepi Barat. Sejumlah pembangkang muda pernah dipenjarakan karena menolak bertugas di sana, jauh sebelum Libanon jadi masalah Israel. Salah seorang di antara mereka mengatakan, "Kekerasan yang menyangkut sekitar satu juta penduduk Arab di tanahnya sendiri akhirnya akan menimbulkan malapetaka di kalangan bangsa kita." Avraham Burg tak sampai berpikir demikian jauh. Tapi ia mengamati dengan cara yang lebih tenang dan menemukan, "makin terasa bahwa kami sedang menuju jalan persimpangan yang akan mempertemukan Israel dengan kekuatan yang sekarang belum bisa diperhitungkan. Perasaan ini menumbuhkan frustrasi yang terus merambat." Untuk sebagian besar prajurit Israel bertugas di Tepi Barat merupakan masa-masa sulit. "Kami makin kehilangan perasaan kemanusiaan kami, " ujar seorang perwira yang menyandang sejumlah tanda jasa. "Kami dilatih untuk menganggap penduduk lokal di sana semata-mata sebagai obyek . . . untuk dihina dan direndahkan." Seorang pahlawan perang lain terguncang melihat kekasaran prajurit Israel dalam menghadapi pribumi di Tepi Barat. Kelompok "Damai Sekarang" mengeluhkan pelbagai tindakan melawan hukum, terutama yang dilakukan pemukim-pemukim dari kalangan ultranasionalis Israel terhadap orang-orang Arab di Tepi Barat. Para pemukim ini sering kali mengundang campur tangan tentara Israel sebagai jaminan atas keselamatan mereka. Padahal sesungguhnya, nasib orang-orang Arab itulah yang lebih terancam. Apapun yang terjadi, para pemimpin angkatan bersenjata Israel tampaknya belum bergeming. Dalam nomor terakhir majalah angkatan bersenjata Israel, kesimpulan itu bisa diuji dengan tulisan Mayor Jenderal Tal, salah seorang prajurit Israel paling terkemuka. "Manusia dituntun oleh naluri yang sehat, dan harus memutuskan mengorbankan diri sendiri atau anak-anaknya," kata Tal. "Motivasi kita tunduk pada tujuan-tujuan nasional." Maka, mesin perang Israel pun tetap menderu di Libanon di Tepi Barat, dan entah di mana lagi di masa depan ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus