ATAS instruksi Kepala Desa Suwandi, penduduk berkumpul untuk bersih desa. Rumput-rumput liar di pinggir jalan dibabat, pagar tanaman dipangkas rapi, dan selokan desa dibersihkan. Secara kecil-kecilan ada denyut pembangunan di Dusun Wanar, Kecamatan Tersono, Batang, Jawa Tengah. Menjelang tengah hari mereka istirahat. Mereka pun berbincang ngalor-ngidul, termasuk mimpi-mimpi tentang tersedianya lahan pertanian yang luas. Maklum, mereka rata-rata petani miskin. Di dusun berpenduduk 125 keluarga itu cuma ada tiga pesawat TV dan tiga sepeda motor. Pada saat itulah, Pak Kades Suwandi, 41 tahun, menyebut-nyebut soal "harta desa". Yang disebut sebagai harta desa itu berupa sebidang tanah di sebelah barat dusun itu, persis di pinggir hutan pinus milik Perhutani. "Itu tanah negara, yang mestinya boleh dimiliki oleh penduduk lewat permohonan," kata Pak Kades, sembari menunjuk lahan yang ditumbuhi ilalang liar itu. Acara ngobrol-ngobrol itu akhirnya berkembang menjadi arena musyawarah. Lantas diambil keputusan, bahwa padang ilalang itu akan dibagikan kepada penduduk Wanar -- warga yang lebih miskin akan memperoleh lahan yang lebih luas. Hasil musyawarah itu direalisasikan dua hari kemudian, pada 21 Juni lalu. Penduduk Wanar hari itu berbondong ke pinggir hutan pinus. Alang-alang dibabat akar-akarnya dibongkar, dan dibakar. Operasi ini disaksikan pula oleh Kades Suwandi dan Kepala Dusun (Kadus) Wanar, Sualman. "Tapi saya tetap berpesan agar pohon-pohon pinus Perhutani tak diganggu," kata Suwandi kepada Muhamad Aji Surya dari TEMPO. Pembersihan itu berlangsung terus hingga awal Juli lalu, dan sejumlah pohon pinus pun ikut tertebas. Oleh "oknum-oknum" penebang itu, kayu pinus tadi dibakar dan diperam untuk dijadikan arang bakar. Tapi apa boleh buat, angan-angan penduduk desa miskin itu harus mentok, gara-gara Kating, 35 tahun, tertangkap basah menebang pinus Perhutani. Kepada polisi kehutanan (polhut) yang memergokinya, Kating mengaku bahwa perbuatannya itu dilakukan, "atas persetujuan Pak Kades dan Pak Kadus." Sejak itulah secara bergantian puluhan warga Wanar dipanggil ke Polsek Tersono atau Polres Batang, untuk diperiksa. Suwandi dan Sualman pun tak luput. Mereka telah berkali-kali dimintai keterangan oleh Camat Tersono dan pejabat kabupaten. "Apa pun yang terjadi, saya siap menghadapi," kata Suwandi. Suwandi tetap merasa tak bersalah. "Kami hanya mencoba mengambil harta milik desa yang dikuasai Perhutani," ujarnya lantang. Namun, klaim Suwandi itu ditolak oleh Purwanto, Kepala Seksi Agraria pada Perum Perhutani Jawa Tengah. "Secara de facto tanah itu dikuasai Perhutani sejak 1951," ujarnya. Lahan itu, kata Purwanto, termasuk dalam paket 1.000 ha lahan kritis yang diserahkan pemerintah ke Perhutani. "Untuk direboisasi," tambahnya. Dari 1.000 ha hutan itu, tinggal sekitar 500 ha yang dikuasai Perhutani, selebihnya disulap menjadi lahan pertanian atau permukiman penduduk. Hutan yang tersisa itu pun terpencar di pelbagai tempat, tanpa batas yang jelas. Tentu saja Perhutani tak ingin membiarkan hutannya di situ makin menciut. Maka, perondaan di kawasan hutan itu kini makin digiatkan. Karena penjagaan yang ketat itu, hutan pinus itu kini dianggap angker oleh sebagian warga Wanar. Bahkan mereka takut pergi memetik jengkol, petai, atau pisang yang banyak tumbuh di pinggir hutan itu. "Kami takut ke sana, salah-salah dianggap mau mencuri kayu pinus," ujar Sugeng, pemuda Wanar. Kendurnya pengawasan memang telah memberi angin pada penduduk Wanar untuk melakuka aksi sepihak. Akibatnya, 7 ha hutan rusak "Secara materiil kami dirugikan Rp 22 juta," ujar Radianto Judono, Kahumas Perhutani Jawa Tengah. Kerugian itu belum termasuk hasil getah pinus yang mencapai 0,8 ton per ha setahun. Radianto mencatat pula bahwa 275 pohon, berumur 22-40 tahun, tumbang oleh parang warga Dusun Wanar. Pada pihak lain, Suwandi menganggap bahwa penebangan pohon-pohon pinus bukanlah tanggung jawabnya. Sebab, dia hanya memprakarsai pembabatan tanah beralang-alang itu. Tindakan ini pun, menurut dia, sah saja. "Sebab, menurut peta resmi, lahan itu masuk dalam wilayah desa kami," ujar Suwandi sambil memperlihatkan peta desanya terbitan 1937 dan 1985. Suwandi mempertanyakan pula bukti kepemilikan Perhutani. "Mana patok-patoknya?" tanyanya. Yang mengherankannya lagi, keberadaan hutan itu tak cocok dengan peta yang ada di kantor kecamatan. Dalam peta kecamatan itu misalnya, sebelah barat dan timur Desa Wanar terdapat hutan. "Tapi mana hutan yang di timur itu," ujarnya. Dalih apa pun yang dipakai, Perhutani tetap menganggap bahwa apa yang dilakukan penduduk Wanar itu aksi sepihak. "Kalau memang merasa berhak, silakan ajukan tuntutan secara hukum," kata Radianto. Sebetulnya, Perhutani telah memiliki model komprominya. Lewat program agroforestry: penduduk diizinkan bercocok tanam di lahan hutan secara tumpang sari. Di lahan itu panili, kapulogo, atau palawija dibolehkan ditanam di antara pohon-pohon jati atau pinus muda milik Perhutani. Bibit dan pupuk disediakan oleh Perhutani. Sebagai imbangannya, para penduduk diwajibkan memelihara pohon-pohon muda itu. Pada 1989 lalu, "subsidi dari Perhutani mencapai Rp 11 milyar," ujar Effendi Kepala Seksi Pembinaan Hutan Perhutani Jawa Tengah. Namun, Effendi mengakui bahwa program agroforestry itu belum sempat menyentuh Desa Wanar dan sekitarnya. Putut Tri Husodo dan Bandelan Amarudin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini