Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Renungan seorang negarawan

Buku "renungan dan perjuangan" diterbitkan kembali sebagai cerminan bagi generasi muda dan menjernihkan posisi sjahrir dalam sejarah,oleh penerbit djambatan dan dian rakyat. dicetak ulang lima kali.

11 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK banyak generasi muda sekarang yang mengenal Sutan Sjahrir. Orang hanya mengenal Sjahrir sebagai Perana Menteri RI yang pertama, tapi tidak pandangannya. Wajarlah bila ketika buku Sjahrir Renungan dan Perjuangan baru-baru ini terbit, sambutannya terasa kurang. Buku itu berasal dari surat-surat Sjahrir kepada istrinya yang pertama, Ny. Maria Duchateau di Negeri Belanda, ketika Sjahrir meringkuk di penjara Cipinang, Boven Digoel, dan Banda Neira (1933-1938). Merasa bahwa isinya sangat penting. Maria kemudian menyuntingnya, dibantu Sutan Sjahsam, adik Sjahrir. Dan pada 1945 penerbit De Bezige Bij, Amsterdam, menerbitkannya dengan judul Indonesische Overpeinzingen. Ketika buku itu terbit, Indonesia sudah merdeka dan Sjahrir menjadi perdana menteri. Karena saat itu hubungan Indonesia-Belanda belum menentu, terpaksa nama Sjahrir disamarkan jadi Sjahrazad -- gabungan nama Sjahrir dan Rasad, ayahandanya. Begitu pula nama-nama lain: Soekarno diganti Abdulrachman, Hatta jadi Hafil, Amir Sjarifoeddin jadi Siregar, Tjipto Mangoenkoesoemo jadi Soeribno, dan Iwa Koesoemasoemantri diganti Soebana. Dicetak ulang lima kali, buku itu berpengaruh di kalangan kaum progresif di Belanda. "Mereka akhirnya simpati pada perjuangan kita. Mereka mengerti bahwa perjuangan kemerdekaan kita tidak dilakukan oleh kaum yang disebut "ekstremis" saja, tapi juga oleh kaum intelektual," ujar Ny. Poppy Sjahrir, 70 tahun, janda Sjahrir, kepada Ivan Haris dari TEMPO. Pada 1951, Poestaka Ra'yat menerbitkannya dengan judul Renungan Indonesia, terjemahan budayawan H.B. Jassin. Sedang edisi yang baru terbit, Renungan dan Perjuangan, dilengkapi dengan artikel Sjahrir atas permintaan Charles Wolf Jr., bekas konsul AS di Jakarta, yang semula dimuat dalam Out of Exile terbitan John Day Company, New York, 1948. Artikel itu, diterjemahkan oleh Jassin dan dimuat dengan judul Aksi dalam buku ini, menceritakan tahun-tahun terakhir kolonialisme Belanda, masa pendudukan Jepang, sampai Sjahrir tampil di Dewan Keamanan PBB, 1947, untuk meyakinkan dunia terhadap perjuangan RI. Selain ada kata pengantar Charles Wolf Jr., dimuat pula Catatan Akhir oleh Sudjatmoko. "Gagasan menerbitkan kembali karya Sjahrir itu muncul pada 1986," kata Ny. Pamuntjak Singgih kepada Indrawan dari TEMPO. Pimpinan penerbit Djambatan ini, ketika itu bersama Ny. Poppy, bermaksud menerbitkan album foto perjuangan Sjahrir. Dua tahun kemudian, dijalin kerja sama dengan Dian Rakyat sebagai pemegang hak cipta. Ny. Poppy juga punya gagasan menerbitkan karya Sjahrir yang lain. Yaitu tulisan tangan Sjahrir ketika ia dijebloskan oleh rezim Soekarno dalam rumah tahanan militer di Madiun (1960-1962) sampai ia lumpuh. Sebagai pemikir, Sjahrir (1909-1966) cukup produktif. Karya-karyanya tersebar di beberapa penerbitan. Misalnya: Pikiran dan Perjuangan (kumpulan karangan, 1950) Pergerakan Sekerja (brosur, 1933) Perjuangan Kita (brosur manifes politik, 1945) Sosialisme dan Marxisme (kumpulan karangan, 1967), Nasionalisme dan Internasionalisme, 1968 (pidato di Asian Sosialist Conference, Rangoon, 1953) Sosialisme Indonesia (kumpulan karangan 1983). Menurut Y.B. Mangunwijaya pikiran-pikiran Sjahrir sangat relevan untuk masa kini. Sjahrir adalah pemimpin yang menjunjung tinggi moral. Baginya, politik bukanlah main kekuasaan, tapi alat untuk menjadi negarawan. Dengan membaca buku ini, menurut novelis ini, generasi muda "akan tahu bahwa Indonesia tidak hanya berisi kekuasaan, kekerasan, dan uang, tapi juga sisi lain yang mulia". Sementara itu, menurut Sudjatmoko, dalam renungannya itu Sjahrir muncul sebagai "seorang budayawan agung, yang tidak hanya menaruh perhatian terhadap politik sebagai persiapan, pembentukan, dan pelaksanaan kekuasaan, tetapi juga sama banyaknya, jika tidak lebih, terhadap nilai-nilai politik dan budaya yang mendasari serta mengasuh sistem politik". Menurut Mangunwijaya lagi, Sjahrir berhasil menunjukkan wajah perdamaian dan peradaban, bukan wajah perang, kepada dunia internasional. "Ketika itu, usai Perang Dunia II, dunia internasional tengah muak dengan perang," katanya kepada Siti Nurbaiti dari TEMPO. Romo Mangun, yang sangat mengagumi Sjahrir, sudah membaca Indonesische Overpeinzingen ketika masih di SMA. Ketika itu, 1947, Sjahrir tampil di Dewan Keamanan PBB, memperjuangkan eksistensi Republik. "Tugas khususnya ialah membela dan menyelamatkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia terhadap agresi Belanda di forum dunia tertinggi. Tanggal 14 Agustus 1947 merupakan hari bersejarah bagi RI, karena untuk pertama kali didengar suara Republik Indonesia Berjuang yang diwakili oleh Sjahrir," tulis Sudjatmoko. Itu tidak berarti posisi Sjahrir mulus dalam sejarah. Ia tampil sebagai negarawan yang kontroversial. Di zaman pendudukan Jepang, sementara Soekarno Hatta, sebagai taktik, bekerja sama dengan Jepang, Sjahrir bergerak di bawah tanah. Di awal revolusi fisik, sementara semua orang mempercayai kemenangan revolusi dengan senjata, Sjahrir maju ke meja perundingan. Dan berhasil. Sjahrir memang tidak populer, bahkan terasa ada jarak antara dia dan bangsanya sendiri. "Ia putus asa dan tidak sabar dengan keterbelakangan yang dilihatnya dalam banyak kebudayaan tradisional negeri ini dan dia kritis sekali terhadap sebab musababnya. Penghayatannya dalam kebudayaan Barat, dan kekagumannya terhadap dinamikanya, semakin mempertegas jarak kultural yang kerap dirasakannya terhadap bangsanya sendiri, walaupun komitmen politiknya terhadap bangsa itu sangat mendalam," tulis Sudjatmoko. Penerbitan kembali buku ini, selain sebagai cerminan bagi generasi muda, setidaknya juga bermanfaat untuk menjernihkan posisi Sjahrir dalam sejarah. Budiman S. Hartoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus