KATANYA ia buta aksara, tapi malah bisa membuat perkara beranak perkara. Itulah Anas, 53 tahun, warga Parupuk Tabing, Padang, Sumatera Barat. Cerita berbelit ini dimulai saat Anas menggugat Prof. Dr. Dachnel Kamara, M.A., guru besar IKIP Padang -- juga pemimpin Pondok Pesantren Modern Barus di Tapanuli Selatan. Anas dan Dachnel bermukim di kawasan berjiran di bilangan Air Tawar. Mereka sudah kenalan lama. Misalnya, nelayan ini sering datang minta bantuan profesor, minta nasihat, dan minta tolong memasukkan anaknya ke SMP. Suatu hari Anas menawarkan tanah seluas 3,9 hektare yang diakui sebagai miliknya. Cuma statusnya digadaikan pada Lukman Rajo Taduang. Ketika surat pagang gadai diperiksa, di sertifikat yang dikeluarkan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Padang, tertera nama pemilik adalah Lukman. Jelas urusannya, transaksi Dachnel langsung dengan Lukman. Tujuh tahun berlalu tanpa aral, 1984, mendadak Anas mengklaim tanah itu sebagai warisan neneknya. Dengan dalih tak tahu tulis baca, Anas menepis surat bukti yang ditunjuk Lukman. Lebih seru lagi, Lukman dan Dachnel diadukan sebagai perampas miliknya. Karena perdata murni, berkas perkara tersebut beberapa kali ditolak kejaksaan. Akhirnya urusan ini masuk juga ke pengadilan dengan Lukman dan Dachnel Kamara sebagai tergugat I dan II. Seri pertama perkara dimenangkan tergugat, lantaran tidak cukup bukti yang mendukung. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat. Selesai? Belum. Sementara perkara perdata diproses di Mahkamah Agung, Anas muncul dengan tuduhan pidana. Kali ini sasarannya Prof. Dachnel, yang didakwanya memalsukan sejumlah tanda tangan. Jadi, surat jual beli itu palsu? Berkas ini telat sampai di pengadilan karena jaksa sejak awal lambat memutuskan diterima atau tidak berkas pemeriksaan polisi itu. Anas nekat. Melalui pengacaranya, R. Sadroan, jaksa dikenainya praperadilan. Akhirnya perkara pidana itu diterima pengadilan. Dan, sekali lagi tuduhan tak terbukti. Prof. Dachnel dinyatakan bebas murni, akhir Mei lalu. Tapi jaksa minta kasasi. Sementara putusan kasasi kedua perkara itu belum turun, Anas membuka urusan baru lagi. Entah bagaimana dia membacanya, Anas menyoal pleidoi Dachnel setebal 19 halaman yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum, pertengahan Mei lalu. Yaitu, bagian yang menyebutkan "PKI". Itu, dituding mencemarkan nama baik. Lalu Anas minta polisi mengusut kembali profesor tersebut. Bahwa ia sebagai bekas anggota PKI dinyatakan oleh Lukman Rajo Taduang, saksi utama. Menurut Lukman, masyarakat Parupuk Tabing secara luas membedakan banyak Anas yang lain dengan Anas yang ini sehingga dipanggil "Anas OPR". Katanya, ia pernah aktif dalam organisasi pertahanan rakyat yang didominasi PKI itu. "Keterangan Lukman patut dipercayai. Mereka bertetangga, dan hampir sebaya. Lagi pula, keterangan itu diucapkan sebagai saksi yang disumpah di depan majelis hakim," ujar Dachnel. Profesor itu untung tak linglung. Menyetir sendiri mobilnya, keluar dari kantor Polresta Padang, akhir Juli lalu, ia ketawa ria. Karena alamat tuduhan tak tepat. "Mestinya Lukman yang dipersoalkan si Anas," katanya pada Fakhrul Rasyid dari TEMPO. Lumayan juga ekstra repotnya. Untuk urusan ini, penegak hukum agaknya harus melacak siapa sebenarnya yang lidahnya keseleo. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini