DALAM nada bergurau, bunyinya berirama: "Gengsi, ni yeee." Bila digunakan menolak gaya hidup yang kurang mantap, begini, "Gengsi, dong. " Untuk menyindir? "Ah, sok gengsi lu." Dan yang terakhir ini suara lengkingannya agak tinggi. Sekian celetukan tadi, menurut para ahli perilaku, menandakan menggawatnya kecenderungan gengsi-gengsian belakangan ini. Kok gawat? Sebab, di baliknya ada perilaku negatif yang terlalu mengutamakan gengsi. Kecenderungannya mendasari perilaku suka memamerkan kekayaan, atau kegemaran menonjolkan status diri. Umpamanya, anak membanggakan kedudukan babe di pemerintahan. "Perilaku itu digerakkan emosi yang tidak nalar," kata Dr. James Danandjaja. Ia pembicara dalam seminar "Gengsi" yang diselenggarakan majalah Intisari dua pekan lalu di Petroleum Club Jakarta. Bagi mereka yang tidak berduit, kecenderungan untuk bergengsi punya risiko besar. Misalnya, pegawai negeri yang utang kiri kanan hanya untuk mempestakan perkawinan anaknya di balai mewah bergengsi yang sesuai dengan statusnya. "Gengsinya naik, tapi sesudah itu dia bangkrut, dan terpaksa korupsi untuk membayar utang," ujar Danandjaja. Gengsi, menurut antropolog itu, memang berkaitan dengan status sosial. Kecenderungan pamer demi bergengsi adalah usaha untuk mempertahankan status sosialnya. Sebab, status itu membuahkan pengakuan sosial. Kira-kira, semacam wibawa yang membangkitkan keengganan orang lain. "Dan dalam batas-batas tertentu juga penghormatan," kata Danandjaja kepada Gindo Tampubolon dari TEMPO. Contohnya banyak. Anak pejabat, kendati dungu, dianggap bos oleh kawan-kawannya. Para manajer, walau kepanasan, berusaha berdasi. Bukan sekadar berpatut-patut. Karena, dengan seragam manajer ini, mereka dihormati bawahan dan relasi. Wanita dengan penampilan masa kini, demi kemodernan yang dianggapnya bergengsi, galibnya cepat menarik perhatian pria. Apakah gengsi-gengsian merupakan gejala kehidupan masa kini? "Memang, masyarakat sering beranggapan, gengsi adalah padanan prestige dalam bahasa Inggris," kata Danandjaja. Makanya, gengsi-gengsian itu disangka gejala baru akibat terpengaruh kebudayaan Barat. Padahal tidak. Menurut Danandjaja, sikap sok gengsi sudah lama ada dalam masyarakat kita. Malahan, ini punya kaitan erat dengan sistem masyarakat yang masih tetap agraris tradisional sampai sekarang. "Kita, walau terlihat modern, isinya masih petani," ujarnya. Mendambakan kekayaaan dan kecenderungan memamerkannya, katanya, memang ciri jiwa petani. Kesimpulan Danandjaja itu -- tentang gengsi-gengsian tadi berasal dari jiwa petani tradisional -- masih terbuka untuk diperdebatkan dan dipertanyakan. Seberapa jauh kebersamaan masyarakat masa kini sama dengan kebersamaan masyarakat tradisional? Kebutuhan kebersamaan di masa kini, bila tidak melemah, telah mendapat bentuk yang sama sekali lain. Suatu kenyataan bahwa masyarakat masa kini, yang berada dalam era informasi, menjalani kehidupan yang jauh lebih kompleks. "Kini gengsi berpangkal pada banyak hal," ujar Sartono Mukadis, psikolog yang juga bicara di seminar tadi. Konteksnya berbeda dengan konteks tradisi. Rasa malu, karena jatuhnya gengsi, pada masyarakat tradisional berhubungan dengan fungsi kontrol masyarakat. Karena itu positif. "Pada masyarakat masa kini rasa malu itu tak mempunyai ambang yang jelas," katanya. Rasa malu yang positif malah hilang pada masyarakat masa kini. Pegawai negeri yang dikenal bergaji pas-pasan, sering tidak malu-malu memamerkan kekayaannya yang berlebihan. Rasa malu, dalam hal ini, tunduk pada kebutuhan pamer yang mengacu pada gengsi yang kompleks. Kekayaan bukan menandakan keberhasilan, tapi dikaitkan dengan kekuasaan, citra kemajuan dan simbol-simbol kejayaan. Dengan begitu, terlihatlah bahwa ukuran status sosial pada masyarakat sekarang telah berubah. Kini masalah gengsi lebih mengacu pada persepsi masyarakat yang negatif. Menurut Mukadis, ini akibat terbentuknya kutub superior dan kutub inferior. Terjadi arus di kalangan inferior untuk menyamakan diri ke kutub superior yang menjadi lambang kejayaan, kekuasaan, dan kemajuan. Kebutuhan kebersamaan, yang pada masyarakat tradisional menandakan ikatan komunitas, dalam masyarakat masa kini didorong ingin menjadi superior. "Pada kelompok inferior telah terjadi semacam krisis identitas, yang menandakan melemahnya kepribadian," katanya. Dan keadaan di Indonesia, kebetulan menyuburkan arus keinginan menyatu dengan kelompok kuat dan berkuasa itu. Keinginan ini, dalam banyak hal, seperti mendapat legitimasi. "Dalam politik, kecenderungan ini menguntungkan, karena rakyat jadi lebih mudah dikendalikan," kata Mukadis kepada Ivan Haris dari TEMPO. Misalnya, usaha mempertemukan konglomerat dengan koperasi yang ramai dimasalahkan akhir-akhir ini juga mengesahkan keinginan menjadi superior itu. Dengan demikian, kelompok kuat menjadi panutan. Gaya hidup mereka, yang lebih longgar dan didasari kesempatan lebih besar mendapatkan informasi, dengan cepat menjadi ukuran gengsi. Pola hidup yang sering bermewah-mewah dan konsumtif ini dianggap maju dan bergengsi. Tapi apa boleh buat, pola hidup lain, walau lebih realistis, dianggap kurang bergengsi dan bikin malu. Untuk menghadapi keadaan sok gengsi itu, menurut Mukadis, diperlukan rekayasa sosial yang mampu mengalihkan citra gengsi ke arah yang positif. Dalam makalahnya itu, ia menunjuk kaitan gengsi dengan kebutuhan untuk maju -- yang sesungguhnya maju, dan bukan sekadar kelihatan maju. "Juga, itu bisa positif bila dihubungkan dengan jati diri. Misalnya, gengsi dong menerima bayaran bila pekerjaan belum selesai," katanya. Namun, ia mengakui rekayasa sosial itu bukan perkara mudah. "Perlu kemauan politik," kata Mukadis. Dan barangkali juga celetukan yang tak terlalu berirama. Umpamanya, "Mana gengsi lu?" Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini