DENGAN maksud menghindari terik matahari yang akan makin keras, jam 6 pagi saya sudah keluar dari kemah menuju tempat melontar jumrah. Rupanya, saya bukan yang terlalu pagi. Di pintu gerbang maktab, tempat kemah-kemah dipasang, sudah banyak orang yang sudah kembali setelah selesai melontar. Dari kemah ke terowongan Muaisim I tidak sampai seratus meter. Berjalan dalam terowongan yang panjangnya 600-an meter dan lebar serta tinggi sekitar 10 meter itu terasa cukup leluasa. Terowongan ini terletak di depan perkemahan maktab-maktab Asia Tenggara sehingga tidak heran jika yang banyak menggunakan terowongan sepagi itu terdiri dari jemaah Indonesia, Malaysia, di samping jemaah dari negara-negara lain yang berkemah tak jauh dari tempat itu. Sesudah sekitar 2/3 perjalanan, saya melihat manusia sudah makin banyak dan sudah berdesak-desakan, baik yang kembali maupun yang datang menuju ke tempat itu. Saya pikir lebih baik saya kembali ke kemah, dan akan mengambil kesempatan sore harinya sampai malam ketika udara lebih sejuk. Apalagi kesehatan saya pagi itu belum pulih benar akibat flu. Di bawah jembatan layang pertama, dari sekian banyak jembatan layang, sekitar beberapa ratus meter dari terowongan arus manusia yang kembali dari dan menuju ke arah jumrah makin meluap. Di sini saya sudah mulai terjepit-jepit dan terombang-ambing oleh arus itu. Kadang terbawa kembali ke arah tempat saya datang, kadang terdorong ke depan. Sudah tak dapat lagi saya mempertahankan diri botol aqua dan batu-batu kerikil yang saya bawa dalam kantung lenyap, sandal yang saya pakai pun lepas. Di sebelah kiri saya lihat banyak orang melompati pagar, menghindari desakan yang makin terasa berat. Mereka merobohkan seng-seng pagar darurat di tepi jembatan yang juga merupakan jembatan layang. Di tempat ini pun tampaknya sudah ada korban. Orang mulai panik, ada yang mendorong, ada yang bertahan. Akhirnya saya pun jatuh terduduk. Saya merasa bahu kanan saya diinjak-injak orang. Saya berusaha berdiri, meskipun saya sudah membaca dua kalimat syahadat, karena saya pikir ajal saya sudah sampai. Dengan kekuatan yang di luar dugaan, akhirnya dapat juga saya berdiri. Saya melihat terowongan sudah tidak jauh lagi. Dengan susah payah saya mencoba menuju tempat itu. Seperti halnya dengan di bawah jembatan, kali ini pun saya terayun-ayun ke belakang dan ke depan. Saya terus berusaha maju. Sepanjang jalan itu rupanya korban sudah berjatuhan. Sampai di mulut terowongan, saya tak dapat bertahan lagi, terimpit oleh arus manusia dari dua jurusan. Beberapa kali saya akan jatuh didoron--dorong dari depan dan dari belakang. Beruntung juga saya berada di tepi jembatan di mulut terowongan itu. Saya berusaha naik ke pagar besi di samping saya karena saya melihat di pagar itu dipasang orang tambang sebesar lengan dan kain ihram yang disambung-sambung berjuntai ke bawah. Di bawah tampak banyak orang yang rupanya terjun dari jembatan. Saya bertekad akan terjun ke lereng bukit berbatu karang yang saya perkirakan 6-8 meter dalamnya. "Allahu Akbar!" Kira-kira semeter sebelum sampai ke tanah, tangan terlepas dari tali dan saya jatuh tersungkur. Saya masih beruntung. Kepala saya jatuh ke pasir, punggung kiri serta lengan kiri yang jatuh ke batu. Kemudian baru saya tahu bahwa punggung dan lengan saya luka-luka. Kain ihram saya sudah penuh darah. Saya merasa ada orang yang menolong saya dengan membimbing lengan saya ke bawah jembatan, ke tempat yang teduh. Ternyata, dia seorang anggota polisi. Saya duduk antara sadar dan tiada. Tiba-tiba di haribaan saya jatuh sekantung es tinju, yang dilemparkan orang dari bordes di bawah jembatan. Baru saja saya meminumnya seteguk dua teguk, orang di samping saya menggapai-gapai meminta minuman dingin itu, dan saya pun memberikannya. Dari bordes itu es tinju dilemparkan orang cukup banyak. Saya duduk termenung ke mana akan pergi sekarang. Di depan saya gunung batu yang cukup tinggi, tidak akan sanggup saya menaikinya dalam terik matahari yang sudah makin meningkat. Di sebelah kanan demikian juga, bahkan lebih panjang. Saya melihat ke kiri, ternyata jurang yang curam. Di kejauhan tampak jalan aspal, tapi tak mungkin saya bisa sampai ke sana. Saya melihat banyak orang yang dibawa dengan tandu, entah mereka pingsan atau sudah meninggal, ada juga yang digendong. Ada pula yang bugil. Ada perbedaan yang kontras sekali, di atas jembatan, orang sudah tak peduli lagi satu sama lain. Tetapi di lembah ini, teras sekali adanya rasa persaudaraan, satu sama lain mau tolong-menolong walaupun kadang mengorbankan kepentingan sendiri. Sementara saya sedang termenung-menung demikian, tiba-tiba terdengar suara orang memanggil-manggil nama saya. Saya menoleh, Herri suami-istri turun dari jembatan melalui samping kanan yang bertangga. Mereka minta agar kami tidak berpisah. Akhirnya kami dapat mencari jalan keluar melalui tangga itu ke jalan raya. Maksud kami dari sana akan kembali ke kemah atau berkendaraan ke Mekah, dan dari Mekah akan ke Mina. Tapi baru beberapa langkah menaiki anak tangga, kami melih orang dari kloter lain keadaannya sudah sangat lemah, tampaknya sudah hampir pingsan. Kain ihramnya bagian atas sudah tak ada, dada dan muka tampak ada darah. Kami tak jadi mencari kendaraan atau kembali ke kemah melainkan membawa orang ini ke sebuah klinik di bawah, tak jauh dari jalan raya. Adanya usul supaya dibuat terowongan searah, yang pergi dan yang pulang jumrah, pada hemat saya akan makin berbahaya orang akan berakumulasi di jalan di luar terowongan seperti yang saya saksikan dan saya alami. Jalan terbaik barangkali bila dibuat terowongan dan jalan sampai ke jumrah hanya satu arah, hingga yang pergi dan yang kembali tidak bertemu. Lelucon yang tragis Setelah menyerahkan orang itu ke klinik, kami pun tetap tinggal klinik untuk sekadar berteduh. Selain itu, saya sendiri juga perlu mendapat bantuan pengobatan luka-luka yang saya alami. Sementara itu, dari jalan layang di atas banyak orang berpayung merah putih turun menuju klinik -- laki-laki dan perempuan. Mereka ke klinik tampaknya hanya ingin sekadar berlindung dari terik matahari, di samping karena tidak tahu jalan menuju ke kemah masing-masing di Mina. Sementara itu, klinik pun sibuk melayani korban-korban yang bawa dengan tandu ke tempat itu untuk mendapatkan pertolongan. Para petugas klinik mungkin menganggap kehadiran kami di situ mengganggu tugas-tugas mereka. Dengan isyarat tangan yang ditujukan keluar, kami diusir, disuruh keluar dari selasar (serambi) klinik. Tetapi ke mana kami akan pergi? Kami kurang mengenal dan, panas matahari pun sudah makin membakar, sedang bagian besar di antara kami sudah tak beralas kaki lagi dan tak membawa payung. Dengan bahasa Arab saya mencoba menerangkan kepada mereka bahwa kehadiran kami hanya sekadar berlindung dari sengatan matahari kami adalah duyufur rahman -- tamu-tamu Allah. Tapi mereka hanya memejamkan mata sambil memberi isyarat dengan tangan agar kami keluar, tanpa bicara sepatah kata pun. Saya coba lagi bicara agar saya dibolehkan bertemu dengan -pimpinan klinik. Jawaban mereka tetap. Aneh! Bisukah mereka? Sementara itu, sudah banyak jemaah terpaksa keluar dari selasar klinik. Ada yang pergi ke emper-emper bangunan, yang lain entah ke mana. Saya mencoba mencari tempat lain, kalau-kalau ada yang lebih baik, atau kendaraan yang dapat membawa kami ke kemah. Tapi baru saja beberapa langkah menginjakkan kaki yang tak beralas ke halaman, kami seperti menginjak lempengan besi panas. Ternyata, tempat berlindung lain memang tak ada, kendaraan pun tak ada. Saya kembali ke klinik. Timbul rasa marah dalam hati. Sekali ini akan saya hadapi mereka dengan sikap kasar, akan saya katakan kepada mereka bahwa cara mereka mengusir dan tak memberi tempat kepada kami ini lebih jahat daripada perbuatan orang musyrik, tak berperi kemanusiaan. Tetapi perasaan ini tak jadi saya lampiaskan karena adanya peringatan dalam Quran bahwa orang yang sedang melaksanakan ibadah haji tak boleh berkata kasar, kotor, tak boleh marah atau berdebat. Sekarang jemaah yang tinggal hanya sekitar 10 orang. Saya katakan kepada mereka jangan ada yang keluar meninggalkan tempat. Tiba -tiba seorang laki-laki muda datang bergegas ke arah kami dan ia menyerahkan dua pasang sandal jepit baru masih dalam bungkus. Melihat jumlah, "malaikat" itu lari menghilang sebentar dan muncul kembali membawa beberapa pasang sandal baru lagi. Belum sempat kami menanyakan berapa harganya atau mengucapkan terima kasih, "malaikat" itu pergi dan menghilang. Sementara saya sedang duduk bermenung, dari ruangan dalam klinik keluar seorang Arab mengenakan jubah putih. Dia berbicara sebentar dengan beberapa petugas kemudian menoleh kepada kami sambil berkata, "Ruh!" -- yakni "Pergi!" Jadi, kami diusir lagi. Dengan suara perlahan dan sedapat mungkin dengan nada yang ditenang-tenangkan, saya berkata, "Tuan, sejak tadi Tuan-Tuan mengusir kami dari sini, padahal kami hanya sekadar mencari perlindungan dari terik matahari. Kalaupun Tuan-Tuan tidak memberikan bantuan apa-apa kepada kami, setidak-tidaknya tidak pantas Tuan-Tuan mengusir kami sebagai tamu-tamu Allah di sini." Dia seperti tersentak, diam, lalu menundukkan kepala sebentar. Kemudian katanya, "Tuan mutawif?" "Bukan soal mutawif atau bukan mutawif. Tuan melihat sendiri kami yang ada di sini semua dengan berpakaian ihram, dan Tuan sudah tahu di atas sana ada musibah?" Dia menekur lagi, lama sekali. Saya tahu bahwa selama musim haji, siapa pun di Arab Saudi yang bersikap kurang wajar kepada kita, bila kita katakan bahwa kita adalah tamu Allah, langsung sikap mereka akan berubah. Orang Arab itu kemudian berbisik kepada dua orang di depan pintu lalu ia masuk ke dalam. Sejak itu kami tidak lagi diusik dan sikap para petugas itu berubah agak lebih ramah kepada kami, meskipun dalam kebisuan. Kami tinggal di klinik itu sampai sore hari. Dan karenanya saya sempat tahu, kenapa petugas-petugas itu tadi mengusir kami hanya dengan isyarat. Ternyata, mereka orang-orang Pakistan yang tidak mengerti bahasa Arab, dan bertugas di tempat itu menjelang dan selama musim haji saja! Sehari penuh kami "terjebak" di klinik, dengan harapan akan ada dari pihak maktab atau ketua kloter mencari "anak buah"-nya yang belum kembali. Ternyata sia-sia. Kami berusaha mengadakan hubungan telepon, juga tak berhasil. Tidak seperti jemaah Turki. Begitu terjadi musibah, tak lama kemudian datang dua mobil ambulans Turki ke klinik itu mencari jemaahnya. Kami makin merasa sedih, seharian itu, kami yang berangkat dengan perut kosong sejak Arafah dan hanya minum air, tak dapat berbuat apa-apa. Sampai kami kembali ke kemah menjelang waktu magrib, dengan berjalan kaki, baik dari pihak maktab, TPHI, maupun ketua kloter tak ada yang datang menengok atau menanyakan keadaan kami. Ya, salam!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini