Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Nasib hidung mancung

Bekantan di kal-tim menyusut populasinya karena habitat mereka makin sempit akibat pembukaan lahan untuk permukiman, tambak dan ladang. pohon rambai sebagai makanan pokok mereka ikut tertebas..

16 Maret 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA Belanda yang jadi penunggu di Kelurahan Samboja Koala, Kecamatan Samboja, Kabupaten Samarinda, Kalimantan Timur. Hidungnya mancung sampai agak melengkung. Cuma, Belanda ini "semampai", alias tingginya semeter tak sampai. Bulunya cokelat kekuningan sampai kemerahan. Mereka adalah bekantan (Nasalis larvatus), yang biasa disebut juga kera Belanda karena hidungnya yang panjang. Bekantan menghuni daerah itu jauh lebih dulu dibanding penduduk dari Bugis, Banjar, Jawa, dan Kutai, yang sekarang tinggal di situ. Tapi kini mereka harus merelakan lahannya pada kaum pendatang yang jumlahnya mencapai 4.000 jiwa lebih. Dari luas kelurahan sebesar 15.750 ha, tinggal 20 ha saja yang masih berupa rawa-rawa, tempat tinggal bekantan. Dengan makin banyaknya lahan dibuka untuk empang dan tambak, tertebas juga pohon rambai (Sonneratia caseolaris) yang merupakan makanan utama bekantan. Satwa primata endemik Kalimantan yang sangat sensitif pada perubahan ini segera menyusut populasinya. Menurut Hasan, penduduk kelurahan Samboja Koala, pada Rizal Effendi dari TEMPO, beberapa tahun lalu ia masih bisa melihat binatang yang dilindungi itu berseliweran di pohon rambai sepanjang tepi Sungai Koala yang mengaliri kelurahan itu. Tapi sekarang tak semudah itu. Dari penelitian yang dilakukan oleh tim dari Fakultas Kehutanan IPB pada 1989-1990, diketahui bahwa jumlah bekantan kelurahan itu tinggal 47 ekor, yang terbagi dalam tiga kelompok. Penelitian ini merupakan salah satu program dalam proyek kerja sama Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen P dan K dengan Japan International Cooperation Agency (JICA). Selama dua tahun, tim IPB tersebut meneliti populasi dan penyebaran bekantan di wilayah hutan lindung Bukit Soeharto dan sekitarnya. Maret tahun ini, penelitian diulang untuk mengetahui lebih jelas perilaku dan pola pergerakan. "Penelitian ini perlu dilakukan karena amat sedikit penelitian tentang bekantan. Ini merupakan penelitian dasar agar upaya pelestarian bisa dijalankan," kata Hadi S. Alikodra, koordinator tim peneliti. Penelitian dilakukan pada areal seluas 500 ribu ha, tapi Kelurahan Semboja Koala mendapat perhatian khusus, karena nasib para hidung panjang ini sudah jelas. Menurut Hadi, paling lama dalam waktu lima tahun, populasi mereka akan habis. Saat ini saja hanya tinggal beberapa batang pohon rambai yang ada, dan bekantan lebih banyak nangkring pada tanaman milik penduduk. Memang, bekantan ini tidak mengganggu penduduk. Mereka amat selektif dan hati-hati memilih makanan, yang 95 persen terdiri dari daun-daunan. Itu pun tidak dipatahkan, tapi dipetik. Penduduk pun tidak mengganggu si mancung ini. Istri mantri Hadi pernah mencoba memelihara seekor bekantan jantan yang karena kelaparan muncul di dapurnya. Namun, beberapa hari kemudian peliharaannya mati. Sifat asli bekantan sebetulnya selalu curiga pada manusia dan pemangsanya. Karena itu, pohon tempat tidurnya selalu berubah tiap malam untuk mencegah serangan. Dari hasil penelitian ini, tampak bahwa daya adaptasi bekantan kelurahan ini cukup baik. Selain tidak terlalu takut pada manusia, ia pun terpaksa mengganti menu makannya. Karena tak banyak pohon rambai, mereka juga makan buah kecapi, karet, dan bunga duren. Aktivitas bekantan dilakukan mulai pukul 5.30 sampai 19.00, dan dipimpin oleh betina dewasa. Selama penelitian, mereka tidak pernah menjumpai bekantan yang turun ke darat. Untuk pindah ke sisi sungai lainnya, mereka bisa terjun dari ketinggian 15 meter ke dalam sungai dan merenangi sungai yang lebarnya 12 sampai 25 meter itu. Secara umum, penelitian ini menyimpulkan, bekantan yang punya habitat hutan bakau dan hutan rawa di muara sungai ini menyusut populasinya karena pembukaan lahan untuk ladang, permukiman, dan tambak. Dari lima wilayah penelitian, dijumpai 74 kelompok bekantan dengan jumlah individu tiap kelompok antara 10 dan 35 ekor. Dalam perkiraan Kathy MacKinnon, penulis buku Primate Conservation, jumlah bekantan di Kalimantan pada 1987 sekitar 260.950 ekor. Ada daerah-daerah yang merupakan daerah perlindungan mereka seperti di Taman Nasional Kutai, Tanjungputing, Gunung Palung, Cagar Alam Pulau Kaget, dan Suaka Margasatwa Pelaihari-Tanah Laut. Tapi tak selalu kawasan perlindungan ini memberikan lindungan pada satwa ini. Dari penelitian Hadi S. Alikodra, dua tahun lalu di Pelaihari-Tanah Laut, Kalimantan Selatan, jumlah bekantan di sana tinggal lima ekor saja. Yang lebih mengkhawatirkan adalah nasib bekantan yang ada di luar daerah itu, seperti di Kelurahan Semboja Koala, yang tidak memiliki bapak lindung. Dalam laporan tersebut, tim IPB sudah memberi jalan keluar penyelamatan satwa ini. Bekantan bisa dipindah ke Pulau Merdeka di Muara Jawa, sekitar 30 kilometer dari lokasi semula. "Atau tanah itu dibeli oleh PHPA," kata Hadi. Hasil penelitian ini sudah diserahkan pada pihak Ditjen PHPA, karena instansi inilah yang berhak mengambil tindakan penyelamatan. Menurut Dirjen PHPA Sutisna Wartaputra, bisa saja bekantan digiring ke kawasan konservasi, atau tanah itu dibeli oleh Departemen Kehutanan. Tapi tampaknya hal ini sulit dilaksanakan. Sampai kini belum pernah ada penggiringan bekantan, dan proses pembelian tanah tidaklah mudah. Diah Purnomowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus