Pameran fotografi Henri Cartier-Bresson di Duta Fine Arts Galley, Jakarta. Setengah abad kehidupan manusia "kecil" yang direkam dengan tajam oleh seorang maestro tua. BOCAH dari Rue Mouffetard itu masih saja membawa senyum bagi kita. Suatu sore di pojok Kota Paris, diam-diam Henri Cartier-Bresson merekam wajahnya. Pertemuan tak terduga antara fotografer pemalu dan anak pembawa botol anggur itu, empat puluh tahun kemudian, terus menggetarkan hati. Mungkin karena la vie -- kehidupan -- mengalir deras dalam karya Cartier-Bresson. Seperti sepekat tuak picisan yang digendong si bocah dengan bangga dan selincah langkah kakinya yang kerempeng. "Rue Mouffetard" cuma satu contoh dari kehidupan manusia, yang selama setengah abad lebih menjadi obsesi fotografer Prancis ini. Bagi Cartier-Bresson, gelora itu bisa hadir di mana saja. Ia mencuat di pesta piknik sepasang petani gemuk di tepi Sungai Marne, atau dari jendela bordil Meksiko tempat pelacur berpupur menjajakan dirinya. "Hal yang paling kecil sekalipun dapat menjadi tema besar, dan detail kecil tentang manusia menjadi ciri khas kehidupan," tulis Henri Cartier-Bresson dalam bukunya, Images a la Sauvette. Lahir dari sebuah keluarga ternama pemilik pabrik tekstil, Cartier-Bresson bermimpi tentang dunia bebas daripada nilai ujian SMA-nya. Pada usia dini ia jatuh cinta pada kuas dan cat. Namun, petualangan pertama Cartier-Bresson bermula di Afrika, pada 1931. Kala itu umurnya baru 2 tahun. Di Pantai Gading, bersenjatakan "bedil dan lampu sorot", borjuis kecil ini menjadi pemburu binatang bayaran. Namun, setelah menderita demam tropis Cartier-Bresson menukar senapannya dengan sebuah kamera. Maka, Henri Cartier-Bresson menjadikan jalan serta gang kecil sebagai panggung teater, dan manusia yang lalu-lalang sebagai pemeran utamanya. Manusia dengan segala keunikan dia jadikan sasaran lensanya. Di masa lampau, penyair Baudelaire yang menganggap bahwa fotografi merupakan ancaman bagi seni rupa, sinis terhadap sosok semacam Cartier-Bresson. "Mereka berlari kian-kemari, mencari segala sesuatu yang bersifat sementara, kabur, setengah seni," sindirnya. Namun, dunia setelah Baudelaire memang pancaroba, dan fotografi modern, yang ditandai dengan kehadiran kamera kecil dan praktis, adalah alat paling tepat untuk merekam peradaban yang tumbuh dan hilang dalam sekejap. Dunia Cartier-Bresson -- diapit dua perang dahsyat -- tidak membutuhkan seniman salon dengan karya monumental mereka. Picasso, Sartre, Lorca, dan Cartier-Bresson adalah sederetan Achiles baru yang membawa kabar tentang peradabannya. Pada 1949, misalnya, Cartier-Bresson meliput hari-hari terakhir pemerintahan Kuomintang. Foto-fotonya bukan cuma bercerita tentang pemimpin-pemimpin Cina yang korup dan kebanyakan makan, tapi juga tentang rakyat kecil yang dihantam badai komunisme. Di sela-sela peristiwa, Cartier-Bresson mendengar bisik kemanusiaan yang menderita tetapi pantang patah. Ia mengintipnya di sebuah warung pojok, di taman tempat anak kecil bermain, dan di balik senyum seorang gembel di belakang Lapangan Tiananmen. Dalam karya-karya Cartier-Bresson, hidup sering tampak murah, mungil, dan tidak penting. Ia bersedia merangkak ketika memotret sekelompok anjing kampung yang sedang bercanda. Tapi ketika ditugasi memotret penobatan Raja George VI di London, kamera Leica-nya merekam pemabuk yang tertidur di antara tebaran koran. Dalam upaya memahami hidup, Cartier-Bresson berpihak pada yang lemah. Ia tahu, justru di balik semua itu bergelora semangat hidup yang tak pernah habis. Yudhi Soerjoatmadjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini