Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGAPALAN pertama gas alam cair dari Bontang, Kalimantan
Timur, ke Jepang, sudah diresmikan Presiden Suharto 4 bulan
lalu. Pabrik-pabrik baja dan gas serta konsumen listrik di
Jepang mungkin kini sudah menikmati nyala putih bersih dari
bahan bakar fosil yang konon paling bebas polusi itu. Pertamina
sebagai eksportir tunggalnya pun boleh mulai mengurangi beban
pinjaman ribuan juta Yen untuk biaya proyek itu, dengan hasil
penjualan muatan tanker-tanker LNG yang sedikitnya sudah 5 X
mondar-mandir antara Bontang dan Jepang.
Sementara itu, apa yang terjadi di sekitar ladang-ladang gas
bumi itu - di Kecamatan Muara Badak, 60 Km selatan Bontang? Jauh
dari sorotan Pertamina maupun Pemda Kaltim dan Kabupaten Kutai,
kehadiran maskapai minyak Roy M. Huffington & Co. (Huffco) itu
terasa bagai jilatan panas bagi sebagian penduduk sini.
Setidaknya bagi 100 keluarga petani dan pekebun yang sudah
turuntemurun tinggal di kawasan yang bernilai jutaan dolar
itu.
Contohnya bisa dirasakan oleh Nenek Jaddaini yang punya kebun 5
persil seluas 20 Ha di Kampung Baru, Muara Badak Ilir. Sejak
Huffco mengadakan pemboran minyak dan gas bumi, kebunnya sudah
sering kejatuhan reruntuhan tanah dari daerah Huffco. Bukan
curna tanah --juga minyak mentah yang hitam kental. Bahkan
pernah banjir minyak mentah mencapai ketiggian 1« meter.
Akibatnya: pepohonan yang sudah berumur belasan tahun -- karet,
sagu, enau, rambutan, mangga, nangka, kapok, merica dan kelapa
banyak yang mati. Tapi yang paling disayangkannya adalah
pohon-pohon cengkeh yang sudah 16 tahun umurnya dan tadinya
sanggup menghasilkan 10 kg per pohon tiap musim (tahun).
Artinya, sebelum pohon-pohon itu mati dilindas minyak yang
melanda.
Tanah perkebunan yang jadi tandus karena menyerap minyak kian
hari kian meluas. Akibatnya lagi: perigi-perigi penduduk banyak
yang mengering. Sehingga bukan cuma di musim kemarau, di musim
hujan pun penduduk boleh kehausan mencari air yang semakin
langka. Sementara di tempat lain, aliran minyak dari daerah
Huffco menyebabkan penduduk tak sempat lagi menanam padi di
kebun-kebun yang agak rendah.
Minyak yang merembes ke ladang dan kebun penduduk, bukan hanya
bersumber langsung dari sumur bor. Sebagian berasal dari
jalan-jalan yang dibangun Huffco -- yang tak diaspal, hanya
disirami minyak mentah sekedar memadatkan pasir dan kerikil
seraya mengurangi debu di waktu panas. Celakanya, bila hujan
menyirami bumi Kalimantan -- yang derajat kelembabannya memang
sangat tinggi - minyak mentah terbasuh oleh air dan berkelumut
dengan lumpur untuk selanjutnya, bagai lahar yang merayap, turun
menggenang dan merusak tanah dan tanaman di kawasan yang lebih
rendah.
Masih ada siksaan lain. Penduduk di kecamatan itu juga merasakan
akibat pembakaran gas dan minyak yang rupanya tak memenuhi
syarat. Dekat kebun nenek Jaddaini tadinya ada dua obor
raksasa akibat pembakaran gas - yang berjauhan satu sama lain.
Kobaran gas yang bukan untuk Olimpiade pesta sukan itu pernah
menyambar pepohonan di kebun orang. Tak perlu kontak langsung,
memang. Sebab hawa panas obor itu saja sudah dapat memanggang
dari jauh sehingga banyak pohon yang hangus.
Obor raksasa itu menyala siang maIam, saudara. Sewaktu-waktu
suaranya menggebu-gebu, seolah pipa-pipanya akan pecah oleh
tekanan gas - sementara debu, tanah an pasir ikut
mengepulngepul bersama nyala api dan jelaga. Gemuruh obor gas
itu mengharuskan orang bicara dengan berteriak, sementara
cahayanya malam hari tampak dari jarak puluhan kilometer. Dapat
dibayangkan bagaimana rasanya tinggal di rumah di tengah kebun
yang hanya berjarak 150 m dari api, apalagi di kebun yang
hanya 20 meter.
Hari Pahlawan
Belakangan ini obor yang lama sudah mati. Narnun timbul obor
baru yang makin dekat ke batas kebun penduduk - tinggal 10 meter
saja! Sehingga bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 Nopember lalu,
seorang penduduk Kecamatan Muara Badak buru-buru menulis surat
SOS kepada saudaranya di Jakarta: "Obor api rasanya tambah
memanggang." Di samping itu, pemboran yang dilakukan Huffco di
sebelah atas kebun dan rumah penduduk telah mengalirkan segala
macam zat-zat racun dan kotoran ke dalam sungai pula. Di
sungai ini penduduk mandi dan mencuci. Sedang sumur-sumur
sumber air minum, yan makin kering itu, juga terletak di
pinggiran kali.
Berbagai keluhan penduduk telah di sampaikan oleh Ref. Ardjus,
seorang sanak orang-orang Muara adak - kepada para anggota DPR
di Senayan dan Dirut Pertamina Piet Haryono di Jalan Perwira.
Jakarta. Menurut Ardjus, penduduk Muara Badak merasa heran,
mengapa di Aceh 700 keluarga yang tanah, kebun dan tambak
ikannya tersapu proyek LNG mendapat ganti rugi sampai jutaan
rupiah dan disediakan tempat pemukjtllan haru. Sementara di
Kaltinl tidak.
Padahal Aceh belum mulai mengeks por LNG, sementara Kaltirn
sudah. Mungkinkah Mobil Oil yang punya konsesi minyak & gas bumi
di Aceh lehih "sosial" ketimbang Huffco. perusahaan kecil yang
baru dibentuk tapi pagi pagi sudah ketiban rezeki nomplok?
Paling kurang - dan ini dinyatakan dalam surat pendudllk Muara
Badak ke alamat Huffco - mereka mengharap maskapai bermodal
Amerika-Australia itu menimbun dan mengeraskan jalan 2« Km yang
dilewati Huffco. Di aspallah menjadi jalan permanen, begitu.
Bukan sekedar disepuh minyak bumi yang memang berlimpah ruah di
daerah itu - termasuk di kebun-kebun penduduk yang adalah sah
milik mereka. Namun permintaan yang tak seberapa itu pun belum
mendapat tanggapan perusahaan asing itu. Sementara Pertamina dan
Pemda, apa kabar?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo