Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah kesibukan menyoroti soal kenegaraan yang muluk-muluk,
mahasiswa Bandung telah mUlai pula menampung keluhan rakyat soal
pencemaran lingkungan.
Soalnya bermula di desa Padasuka, Kecamatan Cicadas, Kabupaten
Bandung persis di timur atas kota. Di sana, sudah semenjak
lama ada 400 keluarga merasa terganggu oleh polusi air dan udara
yang berasal dari lima pabrik. Masing-masing pabrik tenun dan
celup PT Banyumas, PT Cisarua, pabrik sabun deterjen PT Kitri,
pabrik elektro nik PT Nikatsu dan pabrik kabel PT Ewindo.
Sudah tiga kali masyarakat desa Padasuka mengadukan hal itu
kepada pemerintah daerah Kabupaten Bandung. Namun hasilnya
iharat bicara dengan tembok saja. Hampir kehabisan akal,
disampaikanlah data keluhan soal polusi itu ke Kotak pos 888 di
jalan Ganesha, itu pusat penampungan pengaduan masalah itu yang
dibuka mahasiswa ITB di Bandung.
Masalah ini lalu dibawa ke forum Dewan dan Senat Mahasiswa se
Bandung. Kontan para mahasiswa setuju untuk menanggapinya
Sehingga diutus lan delegasi 11 orang yang dipimpin oleh Rule
Sanre mahasiswa Seni Rupa ITB, mencoba menemui Gubernur Aang
Kunaefi di kantor Gubernur Jabar, 26 Nopember lalu. Gubernur,
yang kali itu berhalangan', diwakili oleh Sekwilda K. Kadi, yang
didampingi Wakil Ketua DPRD Moh. Arief Sumantri. Sedang
mahasiswa membawa bundel surat pengaduan masyarakat. Desa
Padasuka RK I Cimuncang, yang ditandatangani 400 kepala
keluarga.
Sakin Tak Tahan
"Akibat polusi pabrik-pabrik di Padasuka, 55 orang penduduk
menderita keracunan udara kotor, dengan gejala sesak nafas "
ucap Rule Sanre, yang juga dikenal sebagai pemimpin majalah
lntegritas di ITB. Memperkuat sinyalemennya, dia bilang itu
bersumber dari pemeriksaan dokter dan petugas Puskesmas
setempat. Dengan adanya polusi itu, tambah Sanre, "sebagian
masyarakat Padasuka bersiap-siap mengungsi ke tempat lain,"
saking tak tahannya menghirup udara kotor yang tiap hari
dihembus-hembuskan dari pabrik.
Kadi, ayah sang penyanyi Tetty Kadi bilang, soal polusi sudah
ditangani dinas-dinas yang ada. Sementara itu wakil ketua DPRD
Jabar, yang berpangkat Letkol TNI Artileri, menasihati.
Katanya: "Saya sarankan kepada para mahasiswa, agar setiap
laporan dilampiri pula saran pemecahannya."
Merasakan bahwa pengaduan rakyat yang disampaikn mahasiswa itu
dapat berbalik jadi arena tuding-tudingan, mahasiswa mengajak
pimpinan DPRD Jawa Barat itu meninjau keadaan rakyat di
Padasuka. Arief Sumantri belum bersedia. Maka 'kesebelasan'
mahasiswa itu pun lantas balik kanam Pergi ke kantor Kabupaten
Bandung.
Sambutan kali ini lebih simpatik. Berbeda halnya tatkala rakyat
Padasuka sendiri yang menghadap, kepada rombonan mahasiswa itu
Sekwilda Kabupaten Bandung, drs Diharna kontan bersedia meninjau
tempat pencemaran.
Kabupaten serta merta membentuk tim buat meninjau pabrik,
beranggotakan orang Dinas Kescl1atan Kabupaten orang Pemda, dan
anggota dari Kantor Wilayah Ditjen Perawatan Tenaga Kerja Jawa
Barat. Tim tiga instansi ini segera memeriksa kon(lisi kerja dan
sumber polusi melalui pengukuran gas Karbon Mono-oksida (CO),
gas Sulfur Di-oksida (S02) di sekitar mesin, dekat cerobong,
serta di luar pabrik dalam radius 50 dan 300 meter. Dari
pemeliksaan kilat itu, ternyata biang kerok polusi udara di
Padasuka adalah pabrik kabel PT Ewindo.
Lili Bertindak
Sumber polusinya, diduga mesin pelapis email. Di sekitar mesin
itu, dideteksi kadar gas CO sampai 140 ppm dan S02 sebanyak 4
ppm. Di sekitar ruang kerja, kadar kedua gas racun itu tak
tercatat. Sedang di luar pabrik, pada radius 50 m tercium gas
karbon monooksida itu sebanyak 70 ppm, sedang pada radius 300
meter masih ada 50 ppm. Adapun gas asam belerang, tak tercatat
lagi. Menurut tim pemeriksa, kadar gas-gas racun itu sudall
cukup kritis bagi pekerja pabrik maupun masyarakat di luar
pabrik. Sebab nilai ambang batas yang dibolehkan untuk gas C0
adalah 100 ppm, sedang untuk gas S02 hanya 5 ppm.
Segera setelah menerima hasil tim ini, Bupati Haji Lili Sumantri
memanggil pimpinan pabrik kabel itu. Direksi PT Ewindo,
dimintanva segera mewajibkan karyawan di bagian pelapisan email
menggunakan masker serta diberi makanan ekstra bergizi tinggi.
Sedang untuk melindungi masyarakat di sekitar pabrik, direksi
diminta segera memasang tabir air untuk menyaring asap sebelum
keluar melalui cerobong. Selanjutnya air kotor bekas penyaringan
asap itu harus diproses kembali sebelum dibuang. Dengan
demikian, konsentrasi gas dan bau yang menyusup lewat asap atau
air buangan dapat ditekan di bawan standar, hingga tak
membahayakan lingkungan sekitarnya. Ujar Lili Sumantri,
sebagaimana dikutip Sunarya Hamid dari TEMPO. "Pemasangan
instalasi tabir air dan filter air, harus selesai dalam waktu
tiga bulan."
Meskipun nampaknya rakyat setempat belum tentu sanggup sabar.
(lihat Box ).
Langkan Lili sungguh nlirip dengan penanggulangan polusi udara
dari pabrik pipa baja PT Inatsu diesa Baros, Kecamatan Cimahi,
5 tailun silam. Kasus itu lebih hebat dari kasus Ewindo
sekarang. Debu asap pabrik baja yang berkadar timbal (Pb) 1,35%
dan 36% oksida seng (nO) telah menyebabkan 101 orang penduduk
harus segera disinar-X karena dikhawatirkan paru-parunya
tercemar.
Waktu itu, sang bupati segera menghentikan produksi pabrik yang
baru berjalan 4 bulan serta mengirimkan 500 kaleng susu buat
penduduk sekitar pabrik. Hampir saja ke-500 orang itu
dipindahkan ke perkampungan baru, jauh dari pabrik. Tapi setelah
Inastu memasang kolam air untuk menhadang partikel padat dalam
asap, dan juga meredam sebagian polusi bisingnya, pabrik itu
boleh berjalan kembali.
Dalam kedua kasus ini, Pemerintah Daerah Kabupaten rupanya
memang perlu laporan dari bawah. Tahun 1975, proes dipelopori
oleh seorang perwira TNI-AD, Mayor Atmoswnarto, yang tinggal di
belakang pabrik (TEMPO, 12 Agustus 1972). Sedang kali ini,
protes penduduk harus diberi 'bobot politik' oleh rmahasiswa
Bandung, sebelum tindakan diambil terhadap si pencemar. Namun
betapapun juga, Bupati Sumantri cukup punya respons yang cepat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo