PERTUNJUKAN jazz sekarang sedikit mundur. Sebagai gantinya,
resital gitar di TIM selalu diuber-uber penonton muda usia,
seperti juga tampak 20 Desember lalu. Malam itu, di Teater
Besar, Kedutaan Perancis menghadiahkan bingkisan akhir tahun
berujud seorang gitaris bernama Jean Pierre Jumez.
Orang ini lahir di Hesdin, 1943. Dalam riwayat hidupnya ada
catatan yang cukup panjang. Ia pernah main di 'Carnagie Hall New
York, Tchaikovsky Hall Moskow, Konzerthaus Wina, Theatre des
Champs Elysees Paris dan Santa Cesilia, Roma. Keistimewaannya
memang bertualang keliling bumi untuk mencabuti musik-musik yang
belum terkenal tapi hidup, lalu memperkenalkannya ke forum
dunia. Ia diakui sebagai pemain gitar kontemporer, bahkan Peter
G. Davis dalam The New York Times menamakannya seorang pemain
yang tinggi tekniknya dan memiliki sentuhan amat puitis.
"Saya sendiri kalau sedang main tidak ingat apa-apa. Hanya senar
dan jari sja yang kelihatan," ujar Pierre. Lagu pertama yang
ditariknya adalah 4 buah karya Piotr Panin orang Rusia. Lagu
yang dimainkannya dengan wajah kendor itu tiba-tiba terputus
dengan sengaja. Ini gara-gara seorang penonton mengganggu
keheningan dengan suara jepret kamera. Pierre mencoba menegur
orang itu. "Bunyi itu tidak mengganggu saya, tapi mengganggu
penonton lain," ujarnya.
Bach Sampai Poulenc
Itulah keistimewaan Pierre yang lain ia sangat memperhatikan
penonton. Lihatlah tak tanggung-tanggung ia minta pada panitia
supaya menyediakan sekat triplek di sisi kanan, kiri serta
belakang tempat duduknya, untuk dapat mengarahkan suara ke arah
penonton. "Saya menginginkan agar penonton yang di belakang itu
bisa mendengar petikan senar saya yang paling halus sekalipun.
Kasihan mereka sudah jauh-jauh datang, di samping saya juga
berusaha agar suara senar saya tidak pecah," katanya memberi
keterangan.
Ini bukan nyentrik, tapi hanya usaha untuk lebih terbuka.
Menyebabkan bukan saja gitarnya yang berbicara, jiga
kepribadiannya. Mengenakan kemeja dan celana hitam, diapit pot
bunga, Pierre memang pantas menjadi fokus. Lebih dari 20 buah
komposisi dilontarkannya dengan mempesona. Citaris pribumi,
Danny Tumiwa, sempat ikut mengacungkan jempol. "Tekniknya kuat
bung. Juga interpretasinya pada sebuah komposisi lebih kaya
ketimbang Julian Byzantine yang main di TIM kemarin itu." Danny
menunjukkan karya Leo Brower (Kuba) -- Elogio de la Danza, yang
merupakan salah satu puncak indah malam itu.
Pierre kaya akan warna. Ia tidak mengkhususkan diri pada karya
Sepanyol, Italia atau karya klasik. Ia makan semuanya: Bach,
sampai Poulenc. Bahkan ia juga melemparkan karya-karya
Venezuela, Rusia dan Brazil yang belum dikenal luas. Asing
kedengarannya, tapi ia berhasil. Pierre benar ingin meyakinkan
bahwa musik bersifat universil, bisa masuk ke setiap penonton.
"Publik pada hakekatnya sama. Mereka ingin sesuatu yang baik.
Dan saya mengusahakannya," kata Pierre. "Mudah-mudahan mereka
puas mendengar saya bermain."
Ya, ia bukan orang yang main hanya untuk main. Senar gitarnya
hanya salah satu bagian, yang penting komunikasi. Karena itu
selalu berusaha memberi sedikit pengantar pada setiap komposisi
yang hendak dibawakan. Orang asing memang harus berlaku macam
itu 'kan? Tidak salah pilihan Kedutaan Perancis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini