Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUJAN menimpa Jakarta pada tanggal 8 Desember. Yang celaka
adalah Paduan Suara RRI Jakarta dengan seorang musikus bernama
Binsar Sitompul. Mereka hendak unjuk gigi di Teater Tertutup
TIM. Sebagaimana diketahui, paduan suara sedang dikili-kili
dewasa ini.
Dikatakan gagal juga tidak bisa. Salah seorang anggota paduan
suara malah mencoba merasa dirinya untung. "Kita kira cuma
sepuluh orang yang nonton. Jebulnya malah lebih," ujanya dengan
tenang. Memang penonton bukan sepuluh orang, melainkan 50 orang.
Tapi itu berarti ruanan pertunjukan tetap melompong.
Wah Berat
Di panggung sebenarnya sudah diletakkan 3 buah pot bunga. Lalu
ada sejumlah wanita muncul. Baju mereka jambon muda dengan
kombinasi bawah yang juga jambon, menutup kaki dan
menyembunyikan sepatu. Mereka berjalan dengan anggun dalam ruang
yang sunyi itu. Tangan kanan masing-masing kebagian sebuah map.
Langkah penampilan mereka mengesankan lamat-lamat bau ayu masa
muda, apalagi di dada mereka, aduh, tersisip sekuntum kembang.
Pendeknya penampilan pertama dari barisan wanita-wanita yang
cukup tua ini meyakinkan.
Kemudian sederet laki-laki mengalir, ambil tempat di belakang
wanita. Gagahnya bukan main. Pakai jas warna gelap dengan
masing-masing leher diikat dasi kupu-kupu merah. Selanjutnya
tampak pianis, Ny. Hendroyono, dan Binsar Sitompul yang malam
itu bertindak sebagai dirigen. Kendati penonton amat langka,
ke-16 wanita dan 14 pria itu bernyanyi dengan tekun, tertib,
kompak,dan bagus. Tiga lagu pertama mereka I Vaghi Fiori karya
Palestrina, Den Uyl (bukan bekas Perdana Menteri Belanda) karya
Alphons Diepenbrock, dan Le Ruisseau karya Gabriel Faure --
diberondong keplok puas tak henti-hentinya.
Rentetan lagu malam itu ternyata lebih banyak berasal dari
negeri orang. Terutama Perancis dan Cekoslowakia. Binsar punya
alasan cukup kuat. "Lagu asing itu sudah tersedia dengan rapi,"
katanya. "Di sana sudah tersusun suara 1, 2, 3 dan 4. Kalau saya
harus memimpin dan mengaransir sendiri, wah berat. Saya serahkan
saja pada orang lain. Ini suatu tantangan untuk menambah
perbendaharaan lagu kita."
Selain paduan suara, malam itu juga muncul suara tunggal.
Sumiyati maju dengan suara alto, Tommy larahap dengan suara
tenor dan Pantas Tobing dengan bariton. Bahkan sempat juga ada
duet dan trio. Tapi rata-rata acara yang bukan paduan suara
kurang sip. Dibanding mutu paduan suaranya, jauh tidak imbang.
Pranajaya, itu aktivis Bina Vokalia, malah berani mengatakan
bahwa para vokalis kurang menjiwai apa yang sesungguhnya
terkandung dalam lagu. "Ada lagu yang seharusnya dinyanyikan
dengan segar dan lucu malah dilakukan dengan serius. Jelas ini
terbalik," kata Pranajaya. "Mereka bukan profesional. Kalau
digarap secara profesional pasti akan berhasil."
Khusus untuk paduan suara, Pranajaya kasih predikat "memuaskan
sekali." Maklum lagu Padu karya F.A. Warsono misalnya, sempat
digarap begitu mulusnya. "Dibanding penampilan mereka
sebelumnya, jelas kali ini sangat jauh berbeda. Materi pemain
secara keseluruhan bagus, mereka pun bermain dengan lembut,
serasi dengan dinamika yang dipunyai Pak Binsar," kata
Pranajaya. Pujian ini mudah-mudahan saja tidak bikin rombongan
ini malahan macet. Ia didirikan pada tahun 1957. Tahun 1963
sempat bubar, 5 tahun kemudian berhasil direhabilitir.
"Yah sebenarnya secara teknis kami kurang," ujar Binsar mengaku
kepada Widi Yarmanto dari TEMPO. "Kami melakukan ini hanya untuk
hobi. Ada yang masih mahasiswa, ada yang karyawan. Kalau mau
cari duit dari sini jelas tak bisa." Binsar mencoba minta
pengertian, bahwa sukses-tidaknya penampilan sering banyak
tergantung dari faktor psikologis. Misalnya jumlah penonton.
Tapi itu agaknya tidak kena buat Ny. Hendroyono dan Soenarto
Soenario, kedua pianis yang betul-betul menjalankan tugasnya
dengan bagus. Maklum, untuk pergelaran di TIM itu mereka telah
berlatih 1,5 tahun. Satu setengah tahun! Hanya unuk 50 orang
penonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo