Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyatakan, perdagangan karbon dari sektor kehutanan akan segera diresmikan sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim, dan percepatan ekonomi hijau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Raja Juli, program ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan pelaku usaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahap awal, kata Raja Juli, perdagangan karbon ini mencakup skema pengelolaan hutan oleh swasta (Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan/PBPH) dan Perhutanan Sosial, dengan potensi serapan karbon yang berbeda.
Raja Juli menyebutkan, PBPH memiliki potensi serapan 20-58 ton setara CO2 per hektare dengan harga USD 5-10 per ton, sementara Perhutanan Sosial dapat menyerap hingga 100 ton per hektare dengan harga mencapai EUR 30 per ton. Pada 2025, potensi perdagangan karbon sektor ini diperkirakan mencapai 26,5 juta ton, dengan nilai transaksi berkisar 1,6-3,2 triliun rupiah per tahun.
"Jika dioptimalkan hingga 2034, potensi perdagangan karbon dari sektor kehutanan dapat mencapai 97,9 - 258,7 triliun rupiah per tahun, dengan kontribusi pajak sekitar 23 - 60 triliun rupiah serta PNBP 9,7 - 25,8 triliun rupiah per tahun," kata Raja Juli yang dikutip dari keterangan tertulisnya, Jumat, 14 Maret 2025.
Selain itu, kata Raja Juli, program ini dapat menciptakan 170 ribu lapangan kerja di berbagai lokasi proyek karbon. Ia menegaskan bahwa perdagangan karbon tidak hanya berfokus pada pengurangan emisi, tetapi juga berperan dalam percepatan reforestasi melalui konservasi dan strategi Afforestation, Reforestation, and Revegetation (ARR).
Untuk memastikan daya saing perdagangan karbon Indonesia secara global, kata Raja Juli, Kementerian Kehutanan bersama Kementerian Lingkungan Hidup telah berkoordinasi dengan Utusan Khusus Presiden untuk Urusan Iklim, Hashim Djojohadikusumo.
Salah satu langkah strategis yang tengah didorong adalah penyelesaian Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan lembaga seperti Verra, Gold Standard, dan Plan Vivo, yang ditargetkan rampung pada Mei 2025. Selain itu, pemerintah juga tengah merevisi Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 terkait Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) guna meningkatkan efektivitas dan transparansi perdagangan karbon.
“Dengan berbagai langkah ini, Kementerian Kehutanan optimis bahwa perdagangan karbon sektor kehutanan akan menjadi penggerak utama pembangunan ekonomi hijau, ketahanan pangan dan energi, serta penguatan komitmen Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim. Langkah ini sejalan dengan visi Asta Cita yang diusung Presiden Prabowo Subianto dalam mewujudkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan,” kata Raja Juli.