Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta – Peneliti Badan Riset dan Inovasi (BRIN) dari Pusat Penelitian Biologi baru-baru ini menemukan spesies baru dari katak bernama Microhyla sriwijaya. Spesies katak baru ini berasal dari Pulau Bangka Belitung dengan ciri katak kecil bermulut sempit. Penemuan baru ini sudah dipublikasikan di Jurnal Zootaxa pada 2 September 2021 lalu.
Dilansir dari indonesia.go.id, spesies katak bermulut sempit ini termasuk genus Microhyla. Adapun spesies katak yang ditemukan adalah berjenis jantan dewasa. Spesies katak ini memiliki ukuran kecil dengan panjang moncong berkisar 12,3 sampai 15,8 mm. Katak ini merupakan anggota dari M. achatina dan masih bertalian dengan M. Orientalis. Meskipun begitu, katak ini diidentifikasikan sebagai spesies baru berdasarkan pada analisis morfologis, mokuler, dan akustik.
Di Indonesia, terdapat sembilan spesies microhyla yaitu M. achatina (Jawa), M. berdmorei (Kalimantan and Sumatra), M. mukhlesuri (Sumatra), M. gadjahmadai (Sumatra), M. heymonsi (Sumatra), M. malang (Kalimantan), M. orientalis (Jawa, Bali, Sulawesi, dan Timor), M. palmipes (Bali, Jawa, dan Sumatra), dan M. superciliaris (Sumatera). Empat di antaranya termasuk jenis endemik di Indonesia dengan wilayah Sumatera menjadi wilayah terluas kedua yang memiliki keanekaragaman spesies Microhyla.
Melansir laman lipi.go.id, setidaknya terdapat sepuluh penulis yang terlibat dalam penulisan publikasi ini, yaitu Amir Hamidy, Rury Eprilurahmani, Sonali Garg, Vestidhia Y. Atmaja, Farits Alhadi, Misbahul Munir, Rosichon Ubaidillah, Tuty Arisuryanti, S.D. Biju, dan Ericn. Smith. Salah satu penulis publikasi ini, Amir Hamidy, yang merupakan Peneliti Herpetologi Pusat Penelitian Biologi, mengungkapkan pemilihan nama Sriwijaya karena Sriwijaya dikenal sebagai nama kerajaan pemersatu Nusantara pertama yang kekuasaannya mendominasi Kepulauan Melayu.
Penemuan spesies katak Microhyla sriwijaya sekaligus menjadi pengingat untuk melestarikan habitat alami pulau. Hal ini karena habitat amfibi ini mulai terancam karena kegiatan antopogenik. ”Apabila tidak ditanggapi dengan serius dapat mengakibatkan rusaknya habitat beberapa jenis amfibi,” ujarnya sebagaimana dikutip Tempo.co dari laman lipi.go.id pada 13 September 2021.
NAOMY A. NUGRAHENI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini