Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Witjaksono menanggapi kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang membagikan 1.000 ekor burung hantu untuk mengendalikan hama tikus di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ia menyebutkan semua mahluk hidup memiliki kontribusi di ekosistem yang banyak di antaranya belum kita ketahui dengan lengkap. Menurut dia, pengalaman menunjukkan bahwa pembasmian suatu jenis mahluk hidup akan berakibat negatif dan dalam jangka panjang terhadap ekosistem, termasuk manusia di dalamnya. "Oleh karena itu, sekarang digunakan istilah pengelolaan populasi," kata Witjaksono kepada Tempo, Rabu, 23 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Witjaksono, herbivora atau hewan pemakan tumbuhan menjadi merugikan manakala populasinya tinggi, sehingga populasinya perlu dikelola supaya tidak mencapai batas yang mengakibatkan kerugian. Ia menyebutkan naik turunnya populasi mahluk hidup dipengaruhi oleh empat faktor, yakni natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), imigrasi (perpindahan masuk) dan emigrasi (perpindahan keluar).
Ia menambahkan bahwa burung hantu merupakan burung karnivor (pemakan daging) yang dapat memangsa hewan lain, seperti katak, kadal, ayam, burung, tikus dan sebagainya. Dalam mendapatkan mangsanya, burung hantu memiliki perilaku menyambar, sehingga keberhasilan burung hantu mendapatkan mangsa sangat dipengaruhi oleh posisi mangsa.
Di lain pihak, kata Witjaksono, tikus sawah memiliki ciri khas memakan tanaman padi di bagian tengah, dengan menyisakan tanaman di bagian tepi tidak dimakan, karena tanaman bagian tepi digunakan untuk bersembunyi.
Dengan kondisi seperti itu, kata dia, burung hantu di sawah tanaman padi hanya efektif memangsa tikus yang sedang berada di tempat terbuka, bukan yang sedang bersembunyi di bawah rumpun padi. "Penelitian yang kami lakukan menghasilkan informasi bahwa tikus sawah menyingkir setelah ada introduksi burung hantu, sehingga kerusakan pada tanaman padi berkurang," ujarnya.
Introduksi burung hantu dalam jumlah banyak, kata dia, diharapkan dapat menghalau tikus dalam areal sawah yang luas. Burung hantu juga banyak jenisnya, akan tetapi yang umum digunakan untuk pengendalian tikus adalah Tyto alba. Burung hantu memiliki daya jelajah cukup jauh, sehingga efeknya terhadap tikus sawah (mengusir ataupun memangsa), tidak hanya pada sekitar sarangnya saja.
Witjaksono mengatakan meskipun memiliki peranan positif pada pengendalian hama tikus, introduksi burung hantu dalam jumlah besar perlu dipantau efek sampingnya, yakni tertekannya populasi fauna bukan tikus akibat ikut dimangsa burung hantu. "Terakhir, saran saya untuk pengendalian populasi herbivora yang mengakibatkan kerugian pada tanaman pertanian: kendalikan populasi hama sebelum populasi bertambah," ujarnya.
"Faktor pengaturan natalitas (dengan mengurangi kelahiran), lebih aman dibanding pengaturan populasi melalui peningkatan mortalitas (dengan membunuh)," kata dia menambahkan.
Sebelumnya, sebanyak 1.000 ekor burung hantu dikirimkan oleh Presiden Prabowo Subianto untuk mendukung implementasi teknologi Irigasi Padi Hemat Air (IPHA) di wilayah pertanian Majalengka, Jawa Barat.
Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo menjelaskan hal itu sebagai langkah nyata Presiden dalam memperkuat produksi pangan nasional dan menjaga keseimbangan ekosistem. “Kami mengucapkan terima kasih pada Presiden atas dukungan nyata dalam menjaga keseimbangan ekosistem sekaligus mendukung peningkatan produksi pertanian nasional melalui pemberian burung hantu ini,” ujar Dody dikutip dari Antara, 20 April 2025.
IPHA sendiri merupakan terobosan baru dalam teknik budi daya padi, dengan menerapkan sistem pengairan berselang atau intermittent irrigation. Teknologi ini mampu menghemat penggunaan air hingga 30 persen dan terbukti meningkatkan produktivitas padi hingga 169 persen dibanding metode pengairan konvensional.
Namun, Dody menyoroti munculnya tantangan baru dari penerapan IPHA, salah satunya adalah serangan hama tikus yang meningkat akibat kondisi lahan yang cenderung lebih dangkal, sehingga batang padi lebih mudah diakses oleh tikus.