Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Furqon menggerak-gerakkan kedua pergelangan tangannya. Juga kedua sendi kakinya. Ia lalu mengangkat sebakul rajangan tembakau untuk dijemur di halaman rumahnya. ”Saya sehat-sehat saja,” ujarnya, Senin pekan lalu.
Warga Desa Rambeanak, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu sengaja melakukan aksi itu untuk menepis anggapan ia terkena radang persendian atau keracunan. Pria 42 tahun itu bahkan tertawa ketika Tempo menyinggung hasil penelitian Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang bahwa darahnya tercemar pestisida kategori berat. Dia mengaku, dalam lima bulan terakhir tidak pernah mual atau pusing-pusing.
Padahal temuan Dinas Kesehatan itu jelas perkara yang tidak bisa ditanggapi sambil tertawa. Dari uji petik darah 123 petani di tiga desa—Wulung Gunung, Kecamatan Sawangan; Rambeanak Kecamatan Mungkid; dan Jamus, Kecamatan Ngluwar—sepanjang Agustus-September, hasilnya cukup mencengangkan. Darah delapan warga (6,5 persen) tercemar pestisida dalam kategori berat, termasuk Furqon, si juragan tembakau. Lalu 59 orang (48 persen) masuk kategori sedang, dan sisanya 56 orang tercemar dalam kategori ringan. Artinya, tak ada petani yang bebas dari bahan kimia tersebut.
Hasil yang luar biasa seperti ini bukan yang pertama. Akhir tahun lalu, Dinas juga melakukan penelitian serupa dengan mengambil sampel darah 550 petani sayur yang tersebar di tujuh kecamatan lain. Hasilnya? Lebih mengagetkan. Sebanyak 18 persen atau 100 petani telah tercemar pestisida dalam kategori berat, 73 persen alias 400 orang berkategori sedang, dan sisanya ringan.
Data ini membuat waswas Teguh Rahardjo, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang. Maklum, warga yang masuk kategori sedang relatif banyak. Apalagi ditemukan beberapa darah anak berusia 13 tahun juga tercemar. ”Jika tak ada langkah antisipasi, suatu ketika mereka bisa masuk kategori tercemar berat,” katanya.
Hasil penelitian ini belakangan dikaitkan dengan peristiwa menggegerkan yang ramai ditulis di media massa di Desa Kanigoro, Kecamatan Ngablak, akhir Juli lalu. Saat itu, 10 orang meninggal dan 31 warga lain mengalami mual, muntah-muntah, dan pusing.
Penyebab kematian 10 warga itu hingga kini memang belum bisa dipastikan. Menteri Kesehatan menjelaskan, tempe gembus sebagai faktor penyebab. Namun Wakil Gubernur Jawa Tengah Ali Mufiz mengaitkannya dengan pestisida. Ali merujuk hasil uji laboratorium kesehatan Yogyakarta yang menemukan kandungan pestisida yang mengganggu kesehatan korban sehingga mengakibatkan kematian. ”Ini terkait dengan perilaku masyarakat, khususnya petani wilayah Kanigoro,” katanya kepada pers, Selasa pekan lalu.
Pendapat serupa disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Hartanto. Menurut dia, pernyataan Menteri Kesehatan belum final. Tempe gembus tak bisa sepenuhnya disalahkan sebagai pencabut nyawa. Masih ada tiga kemungkinan penyebab: tempe gembus, logam berat, dan pestisida. Logam berat merujuk hasil Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan dan Laboratorium Eijkman.
Kedua laboratorium ini menemukan 70 persen darah korban warga Kanigoro mengandung kadmium tinggi. Bahkan lima di antaranya sangat tinggi. Dari hasil otopsi patologi anatomi hati dan pankreas, terjadi jaringan fibrotik (parut) dan kerusakan akut. ”Artinya, ada paparan zat kimia kronis dan perdarahan di hati, pankreas, serta otak,’’ kata Hartanto.
Menurut Hartanto, keluhan pusing dan mual setelah korban menyemprot pestisida sangat mendukung pemeriksaan fibrotik itu. Dia menduga pestisida tumpah ke air atau petani telah mencuci alat penyemprot ke dalam mata air. Apalagi pupil korban yang tewas menyempit, bukan melebar. Ini indikasi keracunan.
Ia merujuk hasil survei sebelumnya mengenai kebiasaan masyarakat dalam menggunakan pestisida ketika bercocok tanam. Penggunaan pestisida biasanya untuk mengendalikan serangga (insektisida) dan jamur (fungisida). Dia juga melihat kebiasaan ibu-ibu yang lebih senang mengambil wudlu di mata air, bukannya di masjid.
Teguh Rahardjo, Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan, menambahkan bahwa tingkat kedisiplinan petani untuk mengamankan diri saat menggunakan pestisida sangat rendah. Ia mencontohkan banyak petani yang enggan menggunakan masker ketika menyemprot tanaman di sawah. Petani juga jarang menggunakan baju lengan panjang, sepatu bot, penutup kepala, dan sarung tangan. Mereka sering pula mengabaikan faktor arah angin. ”Harusnya, saat menyemprot tanaman, jangan melawan arah angin,” katanya.
Faktor lain, petani kerap menggunakan pestisida melebihi dosis anjuran. Petani melon dan semangka, misalnya, dalam seminggu menyemprot dua sampai tiga kali. ”Petani sayur, terutama lombok dan tomat, bahkan memakai pestisida dua kali lipat dari yang kami anjurkan,” Kepala Seksi Bina Tani Dinas Pertanian Kabupaten Magelang, Sukam Tarwadi, mengeluhkan.
Mereka malah kadang mengoplos beberapa merek pestisida. Tujuannya, memperoleh formula yang lebih hebat untuk membunuh hama. Pengoplosan itu biasanya dilakukan petani sayur.
Bagi para petani di pelosok Magelang itu, pestisida tetaplah dewa penolong untuk membasmi hama yang menggerogoti tanaman peliharaannya. Orang-orang kecil yang tinggal di kaki Gunung Merapi itu tak pernah membaca buku The Silent Spring yang ditulis Rachel Carson 45 tahun lalu. Mereka juga tak tahu bahwa buku yang menceritakan bahaya pestisida DDT itu menyebabkan orang lebih berhati-hati memanfaatkan pestisida karena mengganggu kesehatan dan lingkungan, bahkan pemerintah Amerika melarang penggunaan DDT pada 1972. Untuk orang-orang kecil itu, pestisida tetaplah cairan sakti yang pemakaiannya bisa dilakukan sesuka hati.
Ini diakui Furqon. Juragan tembakau yang mengaku sehat itu tak memakai sarung tangan ketika menyemprotkan pestisida. ”Banyak petani di sini yang menyemprot sambil merokok. Mereka merasa biasa saja,” katanya. Masker yang dimiliki Furqon juga dari kain tipis.
Hasil penelitian sampel darah itu menjadi ”amunisi baru” bagi pemerintah Magelang. Pemerintah akan mengerahkan 130 penyuluh pertanian, mantri tani, dan tenaga pengamat hama ke desa-desa. Mereka akan mendukung kelompok tani yang bercocok tanpa pestisida dan bahan kimia lain. Memang, jumlah petani organik ini masih sedikit. Di Desa Tejosari, Kecamatan Ngablak, misalnya, cuma ada 600 petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Merbabu.
Paguyuban ini menggelar program sawah sehat. Kelompok tani Merbabu pimpinan Surame Hadi Sutikno, umpamanya, membuat screen house untuk lahan lima hektare. Caranya, lahan dipagari plastik untuk menghindari penyebaran hama. ”Ini cara melakukan konservasi alam dengan mengurangi penggunaan pestisida,” kata Surame.
Menurut Surame, program sawah dan petani sehat itu perlu lebih dipopulerkan oleh pemerintah. Maklum, para petani masih sangat bergantung pada pestisida. Mereka belum hirau pada dampak pestisida bagi kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan hidup.
Satu-satunya hal yang telah menyentakkan kesadaran petani Magelang adalah kasus kematian 10 warga Kanigoro itu. ”Saat ini teman-teman saya banyak yang membeli masker,” ujar Furqon. Kini ia tak lagi menggerak-geakkan pergelangan tangannya.
Untung Widyanto, Heru C.N. (Magelang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo