Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Polusi Kiriman Caltex

3 perusahaan kayu menuntut ganti rugi pada PT CPI karena ladang minyak minas II telah menghitamkan sungai mandau. Penduduk desa Pekalas tidak dapat mencari ikan, sawah di balai pungut tergenang minyak.(ling)

27 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA ingin mengembangkan kenaikan tingkat hidup rakyat. Tapi perlindungan atas sumber-sumber alam utama -- seperti air, udara, hutan dan tanah merupakan suatu keharusan bila kita hendak hidup terus dan menghindarkan kehancuran." Itu tadi pesan Natal & Tahun Baru di lingkungan PT Caltex Pacific Indonesia -- dari Ketua Dewan Komisaris, Julius Tahija, kepada Ketua Dewan Direksi Haroen Al Rasjid. Namun belum sampai sebulan kemudian, Caltex membuat kejutan di Riau. Ladang minyaknya yang terbesar, Minas II, ternyata telah menghitamkan sungai Mandau hingga ke muara. Tak kurang dari 5000 m3 kayu balak yang terapung di tempat penimbunan (log pond) di muara itu menjadi hitam legam dipeluk minyak mentah. Ada tiga perusahaan kayu yang sudah akan menuntut ganti rugi pada pihak Caltex. Sebuah perusahaan yang sedang mengapalkan kayu tebangannya untuk ekspor, terpaksa menambah buruh dan hari pengapalan. "Kita terpaksa menggaji buruh untuk mengikis minyak mentah yang lekat di kayu. Jepang-Jepang itu tak sudi kayu yang hitam itu menggelinding ke dalam kapal mereka. Lagi pula, sewaktu-waktu ia bisa terbakar," ujar seorang pengusaha. Bagi para pengusaha itu, biaya penambahan tenaga kerja dan hari pengapalan masih dapat tertutup oleh harga kayu yang tiba-tiba melonjak di pasaran dunia. "Tapi bagaimana dengan kami?" tanya seorang penduduk desa yang sudah puluhan tahun tinggal di rumah terapung di sungai Mandau. Sepanjang sungai itu memang ada puluhan kampung yang terapung selain yang di darat. Sejak sungai itu tergenang minyak, ikan-ikan setempat mengungsi entah ke mana, mengakibatkan penghasilan penduduk berkurang. Selain ikan berkurang drastis, penduduk tak dapat lagi menciduk air sungai yang biasa dipakai mandi, minum, dan gosok gigi. Penduduk Pekalar, sebuah desa terapung dimuara sungai Leko yang masih sealiran dengan Mandau, beberapa hari tak dapat berlayar mudik sungai itu. Soalnya, sampan-sampan mereka tak mampu melajak di atas minyak mentah yang menutupi permukaan sungai. Beberapa hari setelah bah usai, air sungai agak mendangkal. Kesempatan ini. mereka manfaatkan untuk membakar minyak mentah yang tergenang. Leko lantas berubah menjadi sungai api. Akibatnya bukan saja belukar di pinggiran sungai mati terbunuh api, tapi juga sampai 200 meter dari tepi sungai ikut terbakar. Tapi setelah itu, penduduk dapat dengan mudah lagi memudiki sungai Leko guna mencari rotan, kayu, dan juga menangkap ikan. Sawah Terkena Di sungai Minas yang paling dekat dengan stasiun pompa Utara PT CPI, pohon dan belukar juga mati tercekik minyak mentah. Batangnya seperti hangus dan daun-daunnya pada kuning kering, persis seperti tumbuh-tumbuhan di sekeliling kolam-kolam minyak mentah di ladang minyak Caltex yang meliputi hutan sepanjang 38 km. Akibat peristiwa itu, "masyarakat setempat sangat gelisah," kata MK Soeryana, Dan Pos Polri di desa Balai Pungut kepada pembantu TEMPO, Ediruslan.P. Amanriza. "Lihatlah, semuanya hitam," sambung orang Sunda itu lagi, sambil menunjukkan tangan, kaki dan pakaiannya yang terkena minyak mentah. Minas ketika ia sendiri baru kembali dari tempat minyak mengganas. Peristiwa pencemaran lingkungan ini entah kenapa belum menarik perhatian ke 40 anggota DPRD Riau yang duduk di gedung Lancang Kuning, Pekanbaru. Sementara itu, surat teguran Gubernur Soebrantas kepada PT CPI, 30 Desember, sampai pertengahan Januari belum mendapat tanggapan serius dari perusahaan Amerika itu. Tapi perusahaan itu mengirim beberapa orang stafnya ke desa Balai Pungut. Pak Lebar, penghulu di sana bertanya apakah air berminyak itu berbahaya bagi tanaman. Dijawab "tidak" oleh Cokro, staf CPI yang pertama datang ke sana. Ada sebabnya penghulu itu risau. Soalnyaj. Balai Pungut yang pernah memenangkan julukan desa kedua terbaik di seluruh Kabupaten Bengkalis memiliki proyek persawahan seluas 7 Ha. Proyek itu agak memprihatinkan karena hasilnya tak memadai. "Penduduk hanya dapat menanam padi di bagian tepi daerah persawahan itu saja," kata Pak Lebar. "Bagian tengahnya selalu tergenang minyak mentah. Dan ini sudah berlangsung selama 6 tahun." Tentu saja, kepala kampung itu kurang percaya terhadap omongan Cokro, bahwa minyak mentah yang bergumpal-gumpal itu tak berbahayabagi tanaman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus