Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Jeritan Dari Madura

Penduduk kecamatan Socah, Madura, kesulitan menjala ikan. pt Petrokimia Gresik dan pabrik cat rohm & haaz membuang limbahnya di selat kamal, dua dermaga pabrik menambah ramainya arus kapal. (ling)

27 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAUM nelayan di kecamatan Socah Madura, yang berseberangan dengan daerah Gresik di daratan Jawa Timur sejak lima tahun terakhir sudah semakin sulit menjala ikan di Selat umal. Keluhan mereka tidak jauh mendengar. Tapi setelah Camat Socah, Rusdi Abdullah, membikin pernyataan pers, gubernur Ja-Tim Sunandar Priyosudarmo turun tangan Januari ini. Dikirimnya Tim PPLH (Pengendalian Polusi dan Lingkungan Hidup) ke Gresik. Sasarannya: pabrik pupuk PT Petrokimia Gresik, milik negara yang sudah lama dicurigai sebagai biang polusi. Juga pabrik cat patungan Indonesia-Amerika, Rohm & Haaz Co. Sedang contoh air laut di pantai Socah juga diambil untuk diperiksa di laboratorium PPLH Ja-Tim. Ternyata Rohm 8 Haaz, yang tancap kaki di situ dua tahun lalu, membuang cairan acrylat ke laut. Suatu bahan organik ampas pembuatan cat itu berbau pesing seperti air kencing. Sedang PT Petrokimia membuang tiga jenis polutan berat ke laut: arsen (As) yang sifatnya sangat beracun, larutan amoniak (NH3) yang juga berbau pesing, dan chroom hexavalent (Cr 6). Tapi betulkah dosis polusi di situ sudah melewati batas? Dengan Tong Menurut SK Gubernur No. 43/1978, kadar As yang dibolehkan dalam air buangan maksimal 1 ppm. Cr6 maksimal 0,1 ppm, sedang NH3 paling banter 1,5 ppm. Pabrik pupuk itu, berdasar' penelitian tim polusinya sendiri yang baru saja dibentuk Desember lalu, mengaku bahwa air buangan pabrik "telah memenuhi ketentuan SK" itu. Pekan lalu ir Suratman, ketua tim tersebut menjelaskm kepada TEMPO: Kadar arsenicum, setelah dianalisa di laboratorium ITS cuma 0,5 ppm. Juga Cr 6 dan 113 tak melebihi ketentuan SK Gubernur. Keterangan orang pabrik itu dibenarkan oleh Rudiyana, Sekretaris Tim PPLH Ja-Tim yang mengepalai regu peninjau ke Gresik. "Sisa-sisa As hanya dibuang langsung ke laut ketika hujan deras," katanya. Sedang di musim kemarau, dikatakannya arsen itu dituang ke dalam tong, dinekatkan dengan semen kemudian dibuang ke laut setelah mendapat izin dari Syahbandar Tanjung Perak. "Sejak tiga tahun terakhir, saya kira sudah ada 300 tong yang dibuang ke Selat Bali," tutur Alfonso, petugas pelabuhan Tg. Perak yang termasuk Tim PPLH Ja-Tim. Meski begitu, Pemda Ja-Tim toh menganggap buangan pabrik Petrokimia itu masih berbahaya. "Itulah sebabnya sejak lima tahun lalu buangan Petrokimia yang bening itu sengaja kami campur dengan karbon dan minyak bekas. Maksudnya agar air buangan itu tampak keruh, sehingga penduduk terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan," begitu ir Djarot Djojokusumo, Direktur Produksi Petrokimia berdalih. Namun justru kepekatan zat arang dan minyak bekas yang dikocok ke dalam air buangan pabrik pupuk ZA terbesar di Indonesia itu "telah menyebabkan ikan-ikan pada mati," demikian ir Farid Dimyati, anggota Tim PPLH lainnya. Argumentasinya: bahan-bahan pencemar itu mengurangi zat asam dalam air laut, sehingga ikan-ikan pada mati kehabisan nafas. Dan kematian ikan memang sering dijumpai oleh Mat Kholil, seorang nelayan di desa Pesisir Pojok yang persis bertetangga dengan pabrik Petrokimia. Repotnya, seperti diakui M. Zuhdi, Ketua Komisi PPLH Ja-Tim, pabrik buatan Italia itu memang tak memiliki peralatan pengolahan air buangan (waste water treatment plant). Sedang untuk mencangkokkan alat baru di tengah-tengah deretan mesin lama, secara teknis sulit, dan besar biayanya. "Alat penyaring AS saja, misalnya, sebelum K-15-N sudah Rp 400 juta," tutur ir Inif, anggota tim PPLH. Debit air buangan Petrokimia rata-rata 20 liter per detik. Sementara itu, "kita tak mungkin kan menutup pabrik ini," sambung M. Zuhdi. Selat Sempit Namun merosotnya populasikan di Selat Kamal mungkin bukan hanya lantaran polusi pabrik. Ini dikemukakan sendiri oleh Rusdi Abdullah, Camat Socah itu. Katanya, kedua dermaga pelabuhan PT Petrokimia dan PT Semen Gresik yang menjorok sejauh 1 km ke tengah laut "menyempitkan mulut selat." Jarak yang memisah pantai Gresik dan Socah hanya 5 mil laut, atau sekitar 8 km. Akibatnya, terjadi arus deras yang menghanyutkan lapisan lumpur di dasar selat. "Ini menyebabkan plankton-plankton yang sangat peka terhadap setiap perubahan lingkungan pada mengungsi pula," sambung ir Suhartono, anggota tim PPLH yang sehari-hari bekerja di Dinas Perikanan Jawa Timur. Pantai Socah terusik oleh tiga lampu sorot yang dipasang di dermaga Petrokimia. Cahayanya yang terang benderang itu menyilaukan mata kaum nelayan Socah di malam hari. Sementara ikan-ikan pun, karena tertarik oleh sinar lampu sorot itu, menjauhi Socah. Makin ramainya kapal yang lalu-lalang di Selat Kamal, makin terganggu ikan dan nelayan di sana. Walhasil, regu penyelidik PPLH yang datang ke Gresik menjadi ragu-ragu untuk membuat kesimpulan tentang faktor apa yang paling dominan dalam pengurangan populasi ikan di Selat Kamal. Polusi atau bukan, Camat Rusdi Abdullah bermaksud mengajak sebagian rakyatnya untuk bertransmigrasi saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus