DALAM siaran ulang tahun TVRI tahun lalu, kita bertemu kembali
dengan Said Effendy. Biduan lagu-lagu Melayu yang pernah dipuja
terutama karena menyanyikan Seroja ciptaan Husein Bawafie. Juga
seorang penulis lagu yang sudah menghasilkan sekitar 40 buah
gubahan. Di antaranya Bahtera Laju, yang pernah menjadi simbul
cinta para pemuda tahun 50-an.
Sekarang, dengan iringan Orkes Melayu Pancaran Muda, muncul
sebuah kaset dengan label 'Flower Sound' -- berisi 14 lagu, yang
10 buah dinyanyikan Effendy. Di antara yang 14 itu, 5 buah
gubahan Effendy Lagu Rindu, Timang-timang, yang dahulu juga
meraih sukses besar, Asmara Dewi, Potong Padi dan Hanya
Nyanyian. Dari dalam suaranya yang berat, terpilih rasa intim
yang sederhana. Lalu kita jadi teringat inilah musik Melayu yang
pernah merayu kita -- yang sekarang seperti tak punya tempat
lagi.
Sejak Rakhmat Kartolo menyanyikan lagu Patah Hati, sejak
tegaknya musik pop, Melayu lenyap perlahan-lahan. Kadang ia
terasa muncul dalam lagu-lagu The Mercy's yang asal Medan itu.
Tetapi langkahnya terdengar sayup: identitasnya yang ditandai
gendang Melayu, kempul, bas, gitar, akordeon dan beberapa alat
tiup, mulai bergeser ke arah warna dangdut -- yang oleh Effendy
dinamakan Melayu tabla. Tabla adalah jenis alat musik yang
berasal dari negeri martabak itu.
Sekarang Effendy memaksa kita mengingat identitas Melayu
kembali. Menarik medan di Effendy nongol kembali sudah lain. Di
satu pihak, musik pop Indonesia sudah lebih jelas meng arah ke
Barat -- meski ada usaha belakangan ini dari sementara anak muda
untuk "mencari identitas" dengan menengok musik tradisionil. Di
sisi lain musik dangdut menjadi bertambah ke India -- di samping
terlihat juga usaha memasukkan warna Barat dalam aransemen.
Lagu-lagu yang dikumpulkan dalam kaset ini jadinya merupakan
bibit kembali. Kalau ia berhasil berdaun, mungkin masa kejayaan
musik Sjaiful Bachri -- ingat lagu Semalam Di Malaysia, yang
dulu juga tenar lewat tenggorokan Effendy, dan tidak disertakan
dalam kaset ini -- akan mendapat tempat lagi, meskipun tentu
tidak memenuhi seluruh ruangan.
Bau Melayu dalam kaset ini masih keras, walaupun warnanya tidak
persis seperti pada masa jaya Effendy dulu. Kita rasakan
misalnya pukulan-pukulan dangdut dan irama pop yang mengajak
ajojing. Suara sang penyanyi sendiri masih tetap berat,
mempesona, dengan teknik dan penjiwaan yang baus. Liriknya,
yang kendati merupakan bahasa Pujangga Baru, tidak membuat risi
karena lagunya klop dengan watak kata-kata. Dalam lagu
Timang-Timang misalnya, anda tahu ada bait seperti ini:
Timang-timang anakku sayang/Buah hati ayahanda seorang/Jangan
menangis dan jangan merajuk sayang/Tenanglah tenang dalam
buaian. Anehnya lirik ini tidak terasa ketinggalan zaman.
Banyak kemungkinan dalam musik kita sekarang. Selera yang
berbeda saling hidup berda'mpingan. Sukses satu jenis musik
tidak ditegakkan lagi di atas kehancuran jenis yang lain. Dalam
hal ini Effendy orang yang tepat untuk membangkitkan kekuatan
musik Melayu yang penuh rayuan, tetapi jauh lebih sederhana dari
dangdut. Kemampuannya masih bisa diandalkan, walaupun enerjinya
mungkin tidak seperti dulu. Lebih dari itu, bangkitnya satu
warna dalam musik tentu bergantung pada pasaran selera -- yang
memang bisa dipengaruhi.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini