BERKACAMATA, tak pernah bercerai dengan rokok. Tubuhnya kini
sudah susut. Tinggal di bilangan Tanah Tinggi, Senen, dalam
sebuah rumah sederhana yang sudah ditempatinya selama 20 tahun.
Bintangnya katakan saja sudah pudar sebagai penyanyi. Agaknya
idealismenya pun sudah runtuh, karena ia lebih banyak sibuk
sebagai makelar -- jual-beli barang, sekarang.
Untung hubungan formilnya dengan musik masih ada, lewat tugasnya
sebagai tenaga kesenian pada Orkes Studio Jakarta, dengan gaji
Rp 30 ribu sebulan. Pekerjaan dengan status honorer itu sudah
dilaksanakannya 30 tahun. Tiap hari Minggu pagi, ia juga memberi
komentar atas penampilan Sanggar Vokalia di RRI -- grup nyanyi
yang dulu dibentuk dan dilatih Andi Mulya almarhum. Tapi hanya
komentar, tidak melatih. Ia mengaku tidak punya waktu.
"Saya menyesal, kenapa dulu tidak meneruskan sekolah ke
pendidikan tinggi. Mengapa hanya menyalurkan bakat sebagai
penyanyi," tuturnya kepada Eddy Herwanto dari TEMPO. Beberapa
orang rekannya sekarang memang sudah menduduki posisi sosial
yang penting. Dan sebagai penyanyi dan penulis lagu, ia juga
menyesal karena tidak sempat menyelamatkan dan merawat
dokumentasi lagu-lagunya. Ada yang rusak, hilang, ada juga yang
dimakan banjir. Maklum daerah Tanah Tinggi, di mana ia tinggal,
sebenarnya daerah rendah. Yang paling berharga yang masih
selamat di tangannya sekarang, hanya dua ril pita berisi 10 buah
lagu dari zaman tatkala ia memimpin Orkes Melayu Irama Agung.
Said Effendy lahir di Besuki 6 Agustus 1923. Mulai berkenalan
dengan keroncong waktu usia 13 tahun. Bergabung dengan Orkes
Keroncong 'Strek' sebagai penyanyi. Setelah itu menempuh
pengalaman panjang sebagai seorang penyanyi. Yang paling penting
dalam hidup orang tua ini adalah sentuhan lagu gambus di tahun
1948, yang dirasakannya ketika ia melawat ke Pontianak. Di
Jakarta kemudian ia banyak mendengar lagu-lagu Orkes Gambus 'Al
Wathon' pimpinan Hasan Alaydrus. Kemudian ia masuk Orkes Studio
Jakarta yang masa itu dipimpin R. Sutejo.
Dengan pengaruh kuat gambus Effendy menggubah musik Melayu Deli.
Tahun 1948 ia menulis lagu pertamanya, Asmara Dewi. Setahun
berikutnya Bahtera Laju. Effendy mengaku, dibanding lagu pop
sekarang, Mclayu Deli barangkali tidak akan banyak menarik
perhatian. Jadi adakah ini sekedar kenangan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini