Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LETAK Kampung Cimuncang di desa Padasuka, Bandung Timur. Dari
Jl. Jen. A. Yani, belok ke kiri ke jalan yang belum beraspal,
kira-kira 300 meter ke dalam. Sebelum tiba di sana, pengunjung
akan memotong sebuah jalan raya besar (lebar 30 m) yang sedang
dirampungkan. Jalan ini paralel dengan Jl. A. Yani. Mungkin akan
dijadikan semacam by-pass. Di kedua sisi jalan banyak
pabrik-pabrik yang terdiri dari pabrik tekstil, celup dan
sebagainya.
Memotong by-pass tersebut kira-kira 100 meter pengunjung akan
menemui pabrik Ewindo di sebelah kanan. Kira-kira 1 hektar
luasnya. Di depan Ewindo ada sebuah bangunan sederhana seperti
pos hansip. "Balai Desa Kampung Cimuencang." begitu merek yang
terpampang. Dari batas inilah Kampung yang beranggotakan lebih
kurang 400 Ir.K dengan 1.800 jiwa bermukim. Jadi letak pabrik
nyaris berdampingan dengan rumah-rumah rakyat di kedua sisi Jl.
Cimuncang andaikata tak ada sejalur sawah yang menengahi.
Uhi, 47 tahun, penduduk asli Cimuencang mengatakan pada Lukman
Setiawan dari TEMPO bahwa yang dituntut rakyat adalah "keadilan
bagi kedua pihak. "Di satu pihak agar pembangunan bisa
berlangsung terus, tapi di lain pihak jangan sampai menimbulkan
bahaya bagi rakyat. Uhi yang berpencarian dengan industri
rumah-tangga kecil-kecilan bercerita tentang asal mula
pengotoran udara itu:
"Pada permulaan tahun 70-an, seingat saya, pembangunan dimulai
dengan pabrik kabel ikatsu. Waktu itu pengotoran rasanya belum
menggangu. Tapi kemudian setelah Nikatsu jadi Ewindo antara
tahutl 1974-1975, pengotoran udara mulai tercium hidung."
"Rakyat Kampung mulai merasakan tiadanya manfaat pembamgunan
pabrik yang kotorannya dapat mengganggu kesehatan. Harapan bahwa
adanya pabrik di situ dapat membantu soal pengairan (untuk minum
lewat sumur artesis) dan perbaikan selokan, tidak juga
kesampaian."
"Toleransi rakyat berlangsung terus meskipun protes kepada 20
instansi telah disampaikan Pemerintah menginstruksikan kepada
pihak Ewindo sampai dengan 5 Oktober sarana untuk menertibkan
polusi sudah harus terlaksana. Tapi nyatanya tidak dihiraukan.
Karena baunya tetap masih terasa."
Lalu Uhi mengajak meninjau kampung. Menyusuri jalan becekyang
beralaskan batu, kampung Cimuencang kelihatannya subur, tenteram
dan rukun. Sebuah sumber air di pinggir sawah dimanfaatkan
secara gotong-royong. "Maklum pengaruh musim kering masih
terasa," kata Uhi. Tapi belum lagi ia sempat melanjutkan
kalimatnya, hembusan angin mengiringi bau yang mengganggu
hidung. Lebih-lebih bagi orang asing. Rasanya seperti bau cat
duko mobil bercampur dengan obat nyamuk Raid. Pada waktu bau itu
tercium, tak segumpal pun asap keluar dari cerobong pabrik.
Hanya sedikit suara deru mesin terdengar.
Harap Sabar, Rakyat
Uhi mengatakan bahwa 'para anggota DPRD telah pula meninjau.
Juga para mahasiswa Bandung sudah menaruh perhatian. Laporan
lengkap tentang polusi di Kampung Cimuencang pendeknya sudah di
tangan yang berwajib. Dalam peninjauan terakhir 16 Desember yang
lalu, Pemerintah minta lagi toleransi rakyat setempat untuk
bersabar sampai Maret 1978. Pada waktu itu diharapkan semua
sarana penawar polusi sudah harus bekerja.
"Dengan pihak Pemerintah memang sudah tercapai penyelesaian
bersyarat tapi bagi rakyat di sini tidak bisa ditolerir lagi.
Sebab tuntutan kita sederhana: kurangi saja bau yang mengganggu
hidung, beres. Rasanya sukar untuk menunggu 3 bulan lagi kalau
baunya tidak berkurang. Kalau kita mau menuruti hati nurani
saja, kita sudah memutuskan tak perlu pabrik Ewindo. Hilangkan
saja!"
Tapi nampaknya Desa Padasuka dan sekitarnya sulit
mempertahankan lingkungan kedesaannya bila jalan besar (by-pass)
di situ rampung. Jalan ini tak salah lagi dimaksudkan untuk
melancarkan lalu-lintas yang makin padat di Jl. Jen. A. Yani, di
samping tentunya berfungsi bagi pabrik di sekitarnya. "Sungguh,"
kata Uhi yang nampaknya sadar akan Isngikungan sehat, "tak
mungkin hidup berdampingan secara damai dengan pabrik seperti
Ewindo itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo