Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WABAH itu mulai berjangkit Selasa jam tiga sore, I3 Desember
177. hampir bersamaan, waktunya, daerah sekitar Kali Baru dan
Kali Setail terkena. Korban muntah dan belak air terus menerus.
Penduduk yang mengerti menggunakan air gula dan air garam. Ini
membuat korban tahan beberapa jam. Tetapi yang tidak memperoleh
pengobatan darurat segera saja meninggal tiga sampai empat jam
kemudian.
Anak bungsu Kepala Desa Karangdoro yang berwarna Wiyono (7
tahun) waktu jam tiga sore muntah berak ia segera diminumi kedua
macam cairan itu. Lalu dibawa ke Puskesmas Jaia. Wiyono
memperoleh pertolongan pertama dengan infus cairan ringer
solution. Ia berhasil diselamatkan. Segera saja Kepala Desa
memerintahkan bagi yang sedang sakit untuk dikirim ke Puskesmas
Jajag, Pesanggaran dan Genteng agar memperoleh pertolongan
pertama.
Kepala Desa meminta satu tim khusus untuk mendatangi desa
Karangdoro. Sore harinya serombongan tim medis datang. Mereka
bekerja siang malam tiga hari tiga malam, di pendopo kelurahan
lama. Sementara itu delapan Puskesmas sejak hari Rabu siang
sudah dibanjiri korban. Sampai 19 Desember 1977 jam 2.00, yang
meninggal dalam perawatan Puskesmas tercatat 89 jiwa, anak-anak
dan orang dewasa. Tapi jumlah korban secara menyeluruh masih
dihitung terus. Tim medis dari Dinas Kesehatan Propinsi dan
Kabupaten sejak malam itu begadang mendatangi desa-desa yang
dijangkiti wabah. Menurut pengamatan, korban adalah penduduk
desa-desa yang dekat dengan aliran kedua sungai, "sehingga
mungkin wabah itu datang bersama aliran sungai itu," kata
seorang Camat. Penjelasan itu cocok dengan perkiraan Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi dr. Mohtar dan kepala P4M
dr. Djatmiko Wahyudi. Lewat para Kepala Desa yang dekat dengan
aliran kedua sungai itu penduduk diperintahkan agar tidak lagi
menggunakan air sungai itu.
Maka selama dua tiga hari kedua sungai jadi sepi. Sekitar 19
desa dari empat kecamatan di daerah Banyuwangi Selatan
berkabung, membaca tahlil.
Di mana kira-kira sumber wabah ini? Diperkirakan, penyebabnya
adalah sekelompok orang luar daerah Banyuwangi. Mereka adalah
peleles. Leles adalah mencari sisa kopi di perkebunan kopi yang
habis dipanen. Kopi yang, berjatuhan atau yang masih tinggal di
pohon mereka kumpulkan. Mereka datang dari Jember, Banyuwangi
Bondowoso sampai Probolinggo. Jumlahnya sekitar enam sampai
tujuh ribu orang. Mereka bekerja siang malam. Kurang lebih
sebulan mereka bergerak dari satu kebun ke kebun lain. Pemilik
kebun atau pihak keamanan kebun sudah tak kuasa lagi membendung
mereka.
Banyak di antaranya yang jatuh sakit. Ada sekitar 30 orang yang
kena muntaber. Mereka bisa ditolong. Tapi "diperkirakan mereka
inilah yang meninggalkan bibit-bibit penyakit ini di tanah-tanah
perkebunan," kata seorang pegawai kesehatan di Genteng.
Tapi dan mana wabah pembunuh 9 orang itu datang, persisnya
belum ada yang tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo