Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“What doesn’t kill me, makes me stronger”. Aforisme Friedrich Nietzsche ini sudah diucapkan banyak orang, bahkan dijadikan lagu yang dibawakan oleh penyanyi Kelly Clarkson. Namun ingatan pada aforisme ini jadi lebih terasa ketika kita selesai membaca buku ini. Inilah buku yang ditulis sebagian besar anggota IM57+, kelompok eks karyawan Komisi Pemberantas Korupsi yang disingkirkan lewat tes wawasan kebangsaan (TWK) pada 30 September 2021.
"Indonesia Memanggil" (IM) adalah program KPK untuk merekrut para karyawannya pada November 2005 dan sejak saat itu program ini dilaksanakan rutin untuk melengkapi kebutuhan lembaga baru yang bergerak untuk pemberantasan korupsi di negeri ini. Karena itu, sebagai simbol yang menyatukan para karyawan ini, “Indonesia Memanggil” tetap dipertahankan.
Kita semua tahu pemberantasan korupsi di negeri ini selalu erat terkait dengan dunia politik. Pemilihan komisioner di KPK diatur oleh partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat dan korupsi biasanya dilakukan oleh mereka yang sedang berkuasa. Dari kasus KPK yang dipreteli kekuasaan dan kewibawaannya kita pun belajar: mereka yang berkuasa tak pernah merasa nyaman atas kehadiran lembaga yang mengawasi mereka pada saat ingin menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan sendiri atau kelompoknya.
Sayang, pemberantasan korupsi mengalami masa keemasan hanya 17 tahun sejak munculnya Undang-Undang KPK Tahun 2002 hingga direvisi pada 2019. Banyak anggota masyarakat merasa lega ketika melihat banyak pejabat tertangkap oleh KPK, terutama lewat operasi tangkap tangan dalam kurun waktu 17 tahun tersebut. KPK menjadi salah satu lembaga yang pernah sangat dipercaya oleh masyarakat. Namun sesudahnya kita tahu KPK menjadi bahan tertawaan para politikus dan pejabat lain. KPK pun tak lagi menjadi lembaga yang dipercayai publik.
Dua puluh lima kisah yang tertuang dalam buku ini tergolong langka. Sebab, sebagian penulis (atau yang diwawancarai tim Aliansi Jurnalis Independen Jakarta) bercerita ihwal di belakang layar pengusutan suatu kasus dan kehidupan pribadi yang banyak dikorbankan untuk pekerjaan pemberantasan korupsi. Banyak karyawan yang menjadi tidak dekat dengan keluarganya sendiri. Lembur adalah keseharian. Mereka pun harus menjaga jarak dengan keluarga besar, sahabat, dan kenalan. Para penulis di sini adalah mantan penyidik, penyelidik, karyawan bagian hubungan masyarakat, karyawan bagian sumber daya manusia, ahli hukum, dan lain-lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita mungkin sudah sering mendengar bagaimana dalam kurun 17 tahun itu para pegawai KPK begitu keras menjaga kode etik karyawan. Sebagai contoh, seperti yang diceritakan Rahmat Reza Masri, spesialis informasi dan data, dalam suatu pekerjaannya Rahmat bersama rekannya menghadiri undangan dari Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Dalam acara tersebut ada hidangan makan siang. Sebelum rombongan KPK pulang, bagian administrasi KPK menyampaikan kepada pihak pengundang agar memberikan tagihan atas makan siang tersebut. Terlihat sepele dan tidak bernilai besar, tapi itu salah satu contoh penegakan etik bahwa pegawai KPK tidak boleh diberikan makanan dan minuman oleh pihak pengundang.
Lain lagi urusan perjalanan dinas. Perjalanan dinas yang oleh banyak pihak dilihat sebagai salah satu cara bersenang-senang dengan uang dinas yang besar, bagi para pegawai KPK, semua harus didasari biaya nyata yang dikeluarkan. Biaya dinas tak pernah diberikan secara langsung dan tak memerlukan pertanggungjawaban. Sebaliknya, jika dari perjalanan dinas ada sisa anggaran, wajib hukumnya untuk dikembalikan.
Tentu ini adalah bagian dari kisah 17 tahun yang indah, sebelum kemudian pada 2019 “pembunuhan” kepada KPK berjalan sistematis. Ini dimulai dari revisi Undang-Undang KPK yang terkesan dipaksakan hingga pemilihan pemimpin KPK yang meloloskan orang-orang yang sebelumnya diketahui melakukan pelanggaran etik. Dengan pemimpin baru, KPK seperti tiba-tiba kehilangan taring tajamnya dan malah menjadi bahan tertawaan untuk sejumlah tindakan yang sebenarnya tidak menggelikan. Menyedihkan, tepatnya. Lebih hebat juga, sejumlah pihak yang vokal di KPK diberi label identitas politik yang keji. Padahal para penulis buku ini sudah mewakili keragaman budaya Indonesia yang sekaligus membuktikan bahwa pelabelan identitas politik kepada KPK adalah kesalahan besar.
Ada pola yang umum dari para penulis buku ini ketika mereka bergabung di KPK: mereka terpanggil untuk menyumbangkan baktinya pada negara dalam lembaga pemberantasan korupsi, yang awalnya kurang dikenal, tapi kemudian menjadi salah satu lembaga terdepan dalam penyelamatan uang negara. Idealisme anak muda tergambar dari banyak tulisan dan pengabdian ditunjukkan dengan memberikan yang terbaik dari sisi keahlian masing-masing. Jam normal suatu kantor kerap mereka lewati demi berlomba lebih cerdik untuk menangkap para koruptor.
Bahkan, ketika dunia dan Indonesia sedang mengalami masa pandemi yang berdampak pada seluruh manusia sejak awal 2020, masih ada pejabat yang tega untuk mengkorupsi bantuan sosial dari pemerintah kepada mereka yang membutuhkan. Kemarahan seperti itu wajar ketika kekuasaan dan keserakahan tak menunjukkan pengecualian terhadap ratusan ribu korban yang sangat membutuhkan. Namun lagi-lagi kekuasaanlah yang lebih menentukan apakah pemberantasan korupsi akan bisa terus berjalan. Kita semua sudah menyaksikan bagaimana kekuasaan mengerdilkan upaya pemberantasan korupsi tersebut.
Judul:
Perlawanan Sehormat-hormatnya: Cerita Pegawai KPK Disingkirkan dari Pemberantasan Korupsi
Editor:
Aliansi Jurnalis Independen Jakarta, Sunu Dyantoro
Penerbit:
Aliansi Jurnalis Independen Jakarta dan IM57+, 2022
Tebal:
216 halaman
Jika “Trias Politica” Montesquie ataupun John Locke mau diperluas menjadi pilar keempat dan pilar kelima, pilar keempat itu menurut Edmund Burke adalah pers. Sementara itu, menurut penulis, pilar kelima di Indonesia harusnya adalah kelembagaan antikorupsi seperti KPK. KPK-lah yang akan mengimbangi (checks and balances) pilar-pilar lain, seperti badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, bahkan juga pers.
Hari ini kita melihat banyak sekali perilaku para pejabat negara yang tak lagi malu untuk menunjukkan konflik kepentingan dari jabatannya dengan keuntungan ekonomi tertentu yang dihasilkan melalui kebijakannya. Sekarang hal itu dianggap “normal”. Dengan lembaga seperti KPK yang diamputasi besar-besaran, sebagian besar dari kita hanya bisa menyaksikan tontonan yang tak bermutu dan merugikan negara serta masyarakat.
Terlepas dari pentingnya buku ini, sayang, ada dua cacat kecil yang perlu diperhatikan di sini. Pertama, penerbit buku ini tak mencantumkan tahun terbit. Kelihatannya kecil, tapi hal ini akan penting sebagai penanda identitas buku ini. Kedua, Najwa Shihab yang ikut menulis kata pengantar sedikit keliru tentang penyebutan Undang-Undang Pers kita. Najwa menuliskan (halaman vi) Undang-Undang Pers Nomor 20 Tahun 1999, padahal yang benar adalah Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Buku ini menandakan bahwa TWK yang hendak membungkam para pegawai KPK yang tergabung dalam IM57 tersebut tak membuat mereka bertekuk lutut. Sebaliknya, melalui buku ini, kita disadarkan akan makin pentingnya memelihara lembaga pemberantasan korupsi yang independen dari campur tangan kekuasaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo