Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Misi Menyelamatkan Makanan Berlebih

Istilah makanan sisa membuat kurang penghargaan. Saatnya kita pakai makanan berlebih.

16 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah organisasi menggandeng pengantin untuk menyumbangkan makanan berlebih dari resepsi pernikahan.

  • GiFood menghubungkan pemilik makanan berlebih dengan orang yang membutuhkan.

  • Peta Food Loss dan Food Waste disusun dari proses produksi bahan pangan, distribusi, pengolahan, penjualan, hingga konsumsi.

DAPUR FoodCycle Indonesia di kawasan Matraman, Jakarta, kerap sibuk menjelang sore. Kegiatan berawal saat truk boks lembaga nonprofit tersebut tiba dari pengambilan makanan berlebih di sejumlah perusahaan. Kali ini mereka mendapat lebih dari 100 kilogram roti dalam berbagai varian bentuk dan rasa. Produk panggangan baru itu tak lolos standar atau quality control perusahaan untuk dijual kepada konsumen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Jadi ini bukan produk gagal. Hanya, bagi mereka kurang ideal. Misalnya bentuknya kurang rapi atau ukurannya tak sesuai. Semua produk fresh dan sangat layak makan. Satu roti ini kalau sudah masuk kafe harganya bisa mencapai Rp 50 ribu,” kata Cogito Ergo Sumadi, General Manager FoodCycle Indonesia, di kantornya, Kamis, 6 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah anggota staf kemudian mengumpulkan dan memilah roti di sebuah ruangan dapur yang besar. Seorang anggota yang memiliki latar pendidikan ilmu teknologi pangan mengambil dan meneliti beberapa sampel dari setiap jenis kudapan berbahan ragi tersebut. Beberapa jenis roti cukup populer, seperti croissant, cinnamon roll, baguette, sweet bread, dan cookie.

Rencananya, semua roti ini pada esok pagi akan dikirimkan ke dua panti asuhan yang dihuni 130 anak di Depok, Jawa Barat. Lembaga nirlaba ini harus memilah roti yang masih layak konsumsi ketika tiba di lokasi sasaran.

Berdasarkan pantauan Tempo, beberapa jenis roti mesti disingkirkan dan masuk ke kantong plastik sampah makanan berwarna hitam. Tim FoodCycle menilai isian roti berupa daging dan krim tak akan awet. Pada saat proses pemilahan pun rasanya sudah mulai asam.

“Sebanyak 78 kilogram roti kami redistribusi ke panti. Sedangkan sekitar 30 kilogram yang tak layak kami kirim ke pusat pengolahan sampah organik dengan maggot (larva lalat dari jenis black soldier fly),” ujar pria 43 tahun itu.

Kegiatan bertajuk Bread Rescue itu hanya satu dari tujuh program penyelamatan makanan berlebih dan pemberantasan kelaparan dari organisasi yang berdiri pada November 2017 tersebut. Hingga April 2022, FoodCycle mencatat telah berhasil menyalurkan kembali hingga 365,6 ton produk roti. Mereka juga berhasil menyumbangkan 543,2 ton makanan siap saji pada periode yang sama lewat program Food Rescue. Program ini menyasar masakan sejumlah restoran cepat saji yang memiliki aturan membuang makanan yang telah dipajang selama sekian jam.

Menurut Cogito, lembaga ini berawal dari kepedulian sepasang suami-istri terhadap tingginya angka sampah makanan atau food waste di Indonesia. Mereka memulai aksi lewat program bernama A Blessing to Share, bekerja sama dengan vendor resepsi pernikahan. Berdasarkan pengalaman mereka, jumlah hadirin acara pernikahan tak sebanding dengan konsumsi yang disediakan. Mereka pun menunggu di sekitar lokasi resepsi hingga acara berakhir.

Penyaluran makanan berlebih oleh relawan Garda Pangan di Surabaya, Jawa Timur, 22 September 2022. TEMPO/Kukuh S Wibowo

Mereka kemudian memindahkan semua makanan sisa ke dalam boks untuk disimpan hingga esok hari. Semua makanan berlebih tersebut lantas dimasak ulang dan diuji kelayakannya. Jika sesuai dengan standar, semuanya dikemas dengan boks karton dan dikirim ke komunitas sasaran. Hingga saat ini kegiatan tersebut telah menyelamatkan setidaknya 10 ton santapan resepsi pernikahan atau setara dengan 30 ribu porsi makanan.

FoodCycle kemudian meluncurkan program Lunch Sharing dengan target perusahaan yang menyediakan santapan siang bagi karyawannya. Faktanya, sejumlah karyawan dengan berbagai alasan tak menyantap hidangan yang disediakan. Terutama setelah mendapat gaji, mereka memilih makan di luar kawasan kantor.

“Kami jemput makanannya dan dibagikan ke FLO (frontliner organization—kelompok, organisasi, atau yayasan yang membantu distribusi ke kelompok yang membutuhkan),” kata Cogito, yang berhasil membagikan 5.000 porsi makan siang dari dua perusahaan selama 2019.

Selain itu, FoodCycle memiliki program Emergency Food Relief yang berhasil membagikan 20.780 paket bahan kebutuhan pokok selama masa pandemi Covid-19. Saat ini mereka tengah merintis program Semangat Pagi Indonesia berupa pemberian sarapan bergizi kepada anak-anak di sekolah. Program ini diadakan tiga kali per pekan dan berlangsung hingga tiga bulan per angkatan. Setiap angkatan biasanya menyasar 500-700 anak.

Menurut Cogito, FoodCycle, sebagai bagian resmi dari The Global FoodBanking Network, tak hanya bersandar pada sumbangan yang bisa mencapai 13 ton per bulan. Toh, beberapa produsen nakal tetap mengirimkan produk yang sudah tak layak konsumsi sebagai sumbangan. Hal ini membuat mereka juga mengembangkan lini usaha untuk menambah pemodalan program, seperti pembuatan dan penjualan produk khas FoodCycle, yaitu Spicy Marinara Sauce dan Carrot Cake.

“Tapi ini bukan untuk cari untung. Seluruh penghasilan diperuntukkan bagi program,” tutur Cogito.

•••

ECONOMIST Intelligence Unit mengeluarkan data tingkat produksi sampah makanan atau food loss and waste setiap negara pada 2017. Hasilnya, Indonesia menjadi negara penghasil sampah organik atau makanan paling banyak kedua. Setiap orang Indonesia bisa membuang makanan hingga 300 kilogram per tahun. Masyarakat Indonesia hanya lebih baik daripada warga Arab Saudi, yang rata-rata menghasilkan makanan sisa 427 kilogram per tahun.

Dalam laporan Food Waste Index 2021 dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Indonesia menduduki posisi pucuk dalam daftar negara penghasil sampah makanan di kawasan Asia Tenggara. Data tersebut menyebutkan total makanan sisa dari masyarakat Indonesia mencapai 20,93 juta ton tiap tahun.

Mahasiswi menyumbang bahan makanan dan makanan berlebih melalui Food Bank Bandung, di kampus SBM ITB, Bandung, Jawa Barat, 29 September 2022. TEMPO/Prima Mulia

Data ini mirip dengan kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional yang mencatat jumlah sampah makanan di Indonesia 23-48 juta ton per tahun selama 2000-2019. Angka ini setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun. Kondisi ini menimbulkan kerugian bagi negara sebesar Rp 213-551 triliun per tahun atau setara dengan 4-5 persen produk domestik bruto nasional.

Padahal hasil efisiensi sampah organik tersebut setara dengan 125 juta porsi makanan setiap tahun. Dengan angka itu, 30-40 persen warga Indonesia yang membutuhkan bisa menerima makanan layak. Dalam data Hunger Index 2021, Indonesia berada di urutan ketiga dengan angka 18 di antara negara-negara ASEAN. Kondisi kelaparan di Indonesia hanya lebih baik daripada kondisi di Laos (19,5) dan Timor Leste (32,4).

Sampah makanan juga menjadi momok bagi pemerintah dalam penanganan dan pengelolaan sampah. Sebanyak 40-50 persen produksi sampah di kota berupa sampah organik rumah tangga. Padahal sejumlah wilayah saat ini tengah mengalami defisit kapasitas penampungan sampah akhir. Limbah makanan pun memperburuk kondisi alam karena turut menyumbang emisi gas rumah kaca hingga 1.702,9 megaton karbon dioksida atau setara dengan 7,29 persen rata-rata emisi Indonesia per tahun.

•••

ORGANISASI lain berperan sebagai jembatan informasi antara pemilik makanan berlebih dan penerima manfaat. Salah satunya GiFood, yang dirintis Fatin Naufal Nur Islam, 27 tahun, saat ia masih aktif dalam organisasi kemahasiswaan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 2017. Awalnya Naufal hanya membagikan konsumsi berlebih dari sebuah acara kampus kepada masyarakat sekitar dan mahasiswa yang membutuhkan.

Lulusan Fakultas Teknik Industri UGM tersebut kemudian mulai menyadari salah satu persoalan sampah makanan adalah gap informasi antara pemilik makanan berlebih dan orang yang membutuhkan. Naufal dan dua rekannya kemudian membuat akun GiFood di platform komunikasi Line yang marak digunakan kalangan anak muda. Dalam satu tahun, jumlah pengikut GiFood di Line mencapai 3.000 akun. Dengan adanya perkembangan ini, jumlah pengurus menjadi tujuh orang ditambah 20 relawan yang tersebar di sejumlah wilayah Yogyakarta.

Tim GiFood mempersilakan anggotanya memberikan informasi lokasi ketika memiliki makanan berlebih. Anggota yang lain kemudian bisa mengambil atau mengirim lagi makanan tersebut kepada orang yang membutuhkan.

“Pernah ada 100-200 porsi makanan yang dalam waktu kurang dari satu jam ludes,” kata Naufal.

GiFood pun terus berkembang hingga menggunakan platform progressive web app atau situs berbentuk aplikasi. Cakupannya juga makin luas hingga melibatkan produsen makanan, restoran, dan hotel. Mereka kerap mendapat permintaan menyalurkan makanan sisa dari acara besar.

CEO GiFood Fatin Naufal Nur Islam menunjukan platform GiFood melalui website gifood.id, di Yogyakarta, 27 September 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana

Meski demikian, Naufal menyatakan GiFood tetap menjunjung tinggi kualitas layak makan dari setiap sumbangan yang disalurkan. Tim akan menguji kualitas makanan jadi dengan memperhatikan bentuk, tekstur, warna, bau, dan rasanya. Saat mendapati makanan yang tak layak, mereka akan memanfaatkannya sebagai pakan lele ternak.

Risandika Astanovia Dewi, 25 tahun, mengatakan pernah menggunakan jasa GiFood saat mengalami surplus makanan pada akhir 2021. Kala itu dia tengah menggelar acara pengajian satu bulan sebelum akad pernikahannya. Jumlah konsumsi tersisa 40 bungkus meski telah dibagikan kepada tetangga dan sejumlah rekan.

Risandika kemudian mengirimkan informasi lokasi, jumlah, dan isi makanan yang tersedia kepada pengurus GiFood. Sekitar 30 menit kemudian, dia menjelaskan, satu per satu anggota GiFood datang mengambil konsumsi berlebih tersebut. Sesuai dengan aturan, setiap orang hanya boleh mengambil satu-lima bungkus. Akhirnya beberapa bungkus dikirimkan ke markas GiFood karena tak ada yang datang lagi.

“GiFood memesan pengojek online yang kemudian mengambil dan membagikan makanan itu ke sesama pengojek online. Prosesnya cepat,” ujar Risandika. 

•••

ORGANISASI sosial penyelamat makanan Garda Pangan bahkan menyisir produk makanan berlebih dari hulu, seperti kawasan pertanian dan perkebunan. Salah satu pendirinya, Eva Bachtiar, mengatakan ada dua alasan timnya perlu mengambil langsung bahan pangan di area pertanian. Pertama, banyak petani cenderung meninggalkan produk panen yang tak sesuai dengan standar pasar. Bahan pangan tersebut dibiarkan membusuk.

Kedua, petani biasanya membiarkan hasil bercocok tanamnya di area pertanian jika nilai produk itu rendah. Mereka berdalih biaya bisa membengkak kalau memaksakan panen. “Untuk kasus yang kedua, kami bisa bantu menjual dengan harga cukup layak,” tutur Eva.

Menurut Eva, food loss tak hanya terjadi selama proses di area pertanian. Proses distribusi yang buruk juga kerap membuat produk atau bahan pangan rusak. Para penjual kemudian akan menolak, menjual murah, atau membuangnya. Padahal, dia menambahkan, masih banyak kelompok masyarakat yang sangat membutuhkan bahan pangan karena mengalami kesulitan ekonomi.

Seperti organisasi lain, Garda Pangan menjalin kerja sama dengan kelompok usaha, dari perusahaan, toko, restoran, peretail, hingga hotel. Saat ini organisasi nirlaba itu telah memiliki 200 lokasi penerima manfaat yang tersebar di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan Madura, Jawa Timur. Mereka pun memiliki data profil tiap penerima.

Hal itu memudahkan upaya Eva dan timnya mendistribusikan makanan secara cepat dan tepat. Misalnya, Garda Pangan sudah memiliki data penerima makanan yang masih aktif berkegiatan hingga dinihari. Lokasi mereka menjadi sasaran saat tim Garda Pangan menerima sumbangan makanan berlebih dari acara pernikahan yang kerap selesai menjelang tengah malam.

“Selain itu, kelompok lansia yang tak bisa menerima sumbangan minuman dengan kadar gula tinggi,” kata Eva.

Garda Pangan juga menerima sumbangan makanan sisa dari perorangan. Mereka menyasar orang-orang yang makanan konsumsinya berlebih saat menggelar suatu acara. Bahkan mereka juga menerima sumbangan makanan basah atau kecil dari warung-warung kelontong. Tim akan langsung mengirimkan semua makanan yang mudah basi tersebut ke daftar penerima yang sesuai.

•••

KELOMPOK-KELOMPOK peduli makanan berlebih memang terus berkembang. Muchammad Gumilang Pramuwidyatama, pendiri Food Bank Bandung, kerap mendapat bantuan dari sejumlah relawan asal Bandung dan Jakarta untuk menyortir barang sumbangan pada akhir pekan. Mereka biasanya memilah barang-barang sumbangan pribadi atau perusahaan sebelum kembali disalurkan kepada yang membutuhkan. “Jumlah relawan ada 25 orang, sekarang ada tambahan baru 10 relawan,” ucap Gumilang.

Menurut dia, relawan akan memisahkan barang atau produk pangan yang masih layak konsumsi. Kriterianya antara lain tak terdapat jamur pada fisiknya dan belum lewat tanggal kedaluwarsa. Selain mendistribusikan barang, Food Bank membagikan makanan jadi yang dimasak pada periode yang sama. Sasarannya adalah warga miskin di sekitar wilayah mereka, seperti tukang sampah dan pemulung. “Kami tidak pernah lama-lama menyimpan, setiap minggu selalu dibagikan,” ujar istri Gumilang, Gendis Ayu Satiti Irawan.

Keduanya juga pernah menggalang donasi dengan melibatkan civitas academica di Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran pada 26 September-7 Oktober lalu. Kegiatan bertajuk Food Rescue, Save Food, Share Happiness itu berupa pengumpulan bahan pangan berlebih di rumah untuk diserahkan ke kotak donasi.

Makanan berlebih itu antara lain beras, minyak goreng, mi instan, kornet, sarden, mentega, saus, tepung terigu, kecap, dan garam. Juga susu, teh, kopi, minuman serbuk, sirup, biskuit, sereal, serta makanan ringan dan makanan kemasan lain. “Sebanyak 200-300 orang bergabung dalam kegiatan ini,” tutur Gumilang.

ANWAR SISWADI (BANDUNG), PITO AGUSTIN (YOGYAKARTA), KUKUH WIBOWO (SURABAYA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus