Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMANYA Pantai Mutiara, tapi kawasannya menebarkan bau pengap. Namun hal itu tak mencegah orang-orang berduit untuk bermukim di sana. Bahkan, perumahan mewah Pantai Mutiara ini, yang dibangun olah PT Taman Harapan Indah (THI), tampaknya tak kekurangan pembeli. Adakah yang istimewa di sini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ternyata, rumah mewah itu dipisahkan oleh kanal-kanal tempat bersandar aneka rupa yacht (kapal pesiar). Jadi, rumah-rumah itu mirip pulau-pulau yang dipisahkan oleh kanal. Pokoknya, lain dari yang lain. Yang pasti, perumahan Pantai Mutiara dibangun sejak 1985 kian menjorok ke laut. Mulanya developer cuma menguruk pantai. Hanya, sejak tahun lalu, THI mulai melakukan reklamasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permukaan laut yang direklamasi ada 80 hektare dan bakal selesai akhir tahun ini. Ternyata, reklamasi itu mencemaskan pihak PLN. Mengapa? Dampak reklamasi terhadap PLTU Muara Karang dibangun tahun 1975 dan berlokasi tak jauh dari situ bisa fatal. Kalau PLTU gagal berfungsi, berbagai lokasi strategis di Jakarta bisa gelap total, terutama bila sistem interkoneksi aliran listrik Jawa-Bali terganggu.
Sebenarnya, tatkala developer memulai reklamasi besar-besaran tahun lalu biayanya Rp 50 miliar pihak PLN sudah mengadu ke Bakorstanasda. Lalu diadakan pertemuan, melibatkan PLN, Wakil Gubernur DKI, dan developer. Di situ pihak developer menyanggupi untuk membangun kanal sebelum melakukan reklamasi. ''Tapi nyatanya kanal belum dibangun, pengurukan jalan terus,'' ujar Sudadijo, pimpinan PLN Pembangkitan dan Penyaluran Jawa Bagian Barat. Pihak PLN yakin, bila reklamasi Pantai Mutiara tetap diteruskan, PLTU Muara Karang akan terganggu.
Dalam sistem PLTU, air laut diperlukan sebagai salah satu komponen pendingan mesin. Untuk itu, aliran air pendingin harus mencapai 20.000 m per jam untuk 100 MW. Sehingga, untuk lima turbin berkapasitas 700 MW, diperlukan air pendingin 140.000 m per jam.
Gara-gara reklamasi, luas areal laut yang disedot PLTU berkurang. Dengan demikian, kecepatan penyedotan air meningkat. Mesin pun cepat panas, lalu kemampuannya menurun. Selain itu, air yang disedot membawa sampah, lumpur, dan pasir. Ini menyebabkan stabilitas turbin terganggu dan sewaktu-waktu bisa menyebabkan mesin mati. ''Keadaan sekarang sudah gawat,'' kata J.H. Suwarto, Kepala Bagian Operasi PLTU Muarakarang.
Pekan lalu, pihak Departemen Pertambangan dan Energi segera meminta Pemda DKI untuk menghentikan reklamasi Pantai Mutiara. Pemda DKI lalu menghentikan reklamasi untuk sementara. ''Pembangunan kanal harus didahulukan, untuk memperlancar aliran air pendingin mesin PLN,'' kata M. Rais, Wakil Gubernur DKI, kepada Kukuh Karsadi dari TEMPO.
Bagaimana reaksi THI? ''Kami setuju,'' ujar Direktur THI, Richard S. Hartono. Ia juga menyanggupi untuk membangun tanggul kanal demi memperlancar aliran air. Masalahnya, apakah bila kanal dibuat, pembangkit listrik dijamin aman?
Menurut Suwarto, kanal tak akan memperluas ruang gerak PLTU dan tak memperbaiki sumber air pendingin. Selain itu, memburuknya kondisi PLTU bukan semata karena reklamasi, tapi juga polusi sampah. Banyak sampah terbawa hanyut bersama aliran Kali Karang serta Kali Angke. Dan volume sampah kian bertambah, tak lain karena ulah warga Pantai Mutiara juga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Iwan Qodar, Ardian Taufik Geduri, dan Linda Djalil berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mempertaruhkan Sebuah PLTU"