Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Puyeng dan gampang naik darah

Konsekuensi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sering ditanggapi dengan gagap oleh masyarakat. pidato pengukuhan dadang hawari sebagai guru besar di fk-ui.

1 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURIP belum paham apa itu komputer. Bahkan ia tidak peduli ketika temannya sesama pengojek di pinggiran Lebakbulus, Jakarta Selatan, itu sering buka obrolan ihwal komputerisasi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) yang mendongkrak tarif administrasi sampai 1.000%, Surip mulai sering puyeng. Untuk menghidupi istri dan tiga anaknya saja, bekas petani jagung di Dieng, Jawa Tengah, itu kewalahan. ''Hidup makin susah saja,'' keluhnya. Di tempat lain, Paulus, 36 tahun, asal Manado, manajer pemasaran perusahaan ekspor-impor, mengeluh karena stres. Bukan lantaran bisnisnya tersendat, melainkan ia harus berkejaran dengan waktu. Tuntutan mengejar target membuat sarafnya tegang. Ketegangan itu kian menjadi-jadi jika terjebak dalam kemacetan lalu lintas. Buat alumni Universitas California, Los Angeles, AS, ini waktu sangat berharga. Karena itu ia gampang naik darah. Lebih kurang begitulah sebagian potret kehidupan masyarakat Indonesia menjelang era industri. Perubahan sosial yang serba cepat sebagai konsekuensi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi atau iptek menurut ahli jiwa Dadang Hawari Idries, telah mengubah pola dan gaya hidup masyarakat. Munculnya konflik psikososial (stres), sebab tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan derap perubahan itu. Surip, misalnya, sering merasa pusing, sedangkan Paulus gampang emosional. Gagap. ''Modernisasi tidak bisa dibendung,'' kata Dadang, 53 tahun, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu kedokteran jiwa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rabu pekan ini. Lalu diingatkannya, modernisasi jangan ditengok hanya dari sisi gemerlapnya. Sebab di tengah kehidupan serba modern berbagai kesulitan juga menguntit. Dengan judul ''Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa Indonesia Menyongsong Pembangunan Jangka Panjang Tahap II'' itu Dadang menunjuk contoh. Misalnya, tentang tidak adanya jaminan sosial, meningkatnya pengangguran, kriminalitas, perkosaan, dan gangguan jiwa. Apa sebabnya? ''Dalam modernisasi terjadi ketidakpastian norma, nilai, dan etika,'' kata Ketua Pusat Ikatan Dokter Ahli Jiwa Indonesia itu. Misalnya, ada perusahaan yang mengambil untung dengan cara menekan upah buruh. Jika buruh protes, dengan mogok kerja misalnya, malah dipecat. Kasus seperti ini menambah jumlah pengangguran. Di Indonesia modernisasi masih terpusat di kota-kota besar. Dari sinilah disebarluaskan informasi iptek yang menjadi tulang punggung modernisasi. Akibatnya, gelombang urbanisasi meningkat tiap tahun. Ada yang menjadi tukang ojek, seperti Surip, atau manajer seperti Paulus. Namun harapan (high expectation), menurut Dadang, sering meleset dari kenyataan (reality of life). Sebab modernisasi tidak selalu membuka lapangan kerja. Penggunaan robot di pabrik otomotif, misalnya, malah menciutkan lapangan kerja. Sebuah penelitian selama 25 tahun di Amerika Serikat menunjukkkan adanya hubungan pengangguran, kematian, dan gangguan jiwa. Yakni, ketika pengangguran naik 1%, yang mati karena penyakit jantung dan arteriosklerosis naik 1,9%, bunuh diri 4,1%, gangguan kejiwaan ada 4,3% pada pria dan 2,3% pada wanita. Gangguan jiwa memang tidak segera membawa maut, tapi mengakibatkan invaliditas. Penelitian terhadap karyawan di Amerika yang tergolong white collar employees baru-baru ini menunjukkan 44% yang menderita gangguan jiwa: ada yang menderita penyimpangan perilaku, ada yang mengalami gangguan emosional. Untuk mengatasinya, perusahaan harus menyediakan biaya pengobatan US$ 75 miliar per tahun atau sekitar US$ 750 tiap orang. Di Jepang dua tahun silam Kantor Perdana Menteri menyebar kuesioner kepada pegawai berusia 30-40 tahun. Dari 3.000 yang menjawab, 63,4% mengalami kelelahan fisik sangat kronis dan 52,7% mengaku sering stres. Yang menyatakan dirinya sehat juga menurun. Tahun 1988 yang sehat 47,7%, tiga tahun kemudian tinggal 25,5%. Menurut psikolog lingkungan Prof. Dr. John Nimpoeno, modernisasi di Indonesia masih tradisional. Contohnya, ada mahasiswa yang hujan-hujanan ke rumah dosennya hanya untuk menanyakan jadwal ujian. Ketika ditanya kenapa tidak memakai telepon, jawabnya, takut. ''Lho, telepon itu kemajuan iptek yang dimanfaatkan untuk mempermudah komunikasi,'' katanya. Modernisasi memang menawarkan banyak perubahan. Salah satunya perubahan mental. Ibu-bapak bekerja dan anak-anak mereka kesepian. Dalam kondisi ini, kata dosen Universitas Padjadjaran Bandung itu, jangan saling menyalahkan, melainkan berusaha menyesuaikan dengan realita. Dan untuk menangkal dampak negatif, menurut Dadang Hawari, ''Tingkatkanlah segi spiritual, karena agama lebih bersikap protektif daripada memciptakan masalah.'' Sri Pudyastuti R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus