Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menagih dengan cara keras

Aspac bank dihukum karena menyuruh tukang pukul mengurus kredit macet. dianggap hakim melawan hukum dan main hakim sendiri. jaksa akan dimobilisasi, menggantikan tukang tagih?

1 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISU bank sering menyewa tukang pukul untuk menagih kredit macet ternyata bukan cuma isapan jempol. Masalah, penggunaan ''jasa keras'' ini akhirnya muncul juga secara resmi lewat pengadilan Negeri Surabaya. Kamis pekan lalu bahkan telah divonis. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Sariyanto, agaknya tak menolerir praktek penagihan kredit dengan kekerasan ini. Ia menjatuhkan hukuman denda Rp 50 juta kepada Aspac Bank Surabaya, yang terbukti menggunakan tukang tagih partikelir itu. Bank yang berpusat di Jakarta itu dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyewa empat tukang pukul untuk menakut-nakuti nasabahnya, Tjipto Haryoso. ''Menyewa tukang pukul itu tindakan aneh. Kalau menghadapi perkara perdata, ya, harus diselesaikan lewat tuntutan di pengadilan,'' ujar Hakim Sariyanto. Tjipto Harsoyo, pengusaha kacang tepung goreng yang yang diancam itu, meminjam kredit Rp 250 juta kepada Aspac Bank, dengan bunga 2,5% per bulan. Sebagai jaminannya, Tjipto menunjuk tanah dan rumahnya di Jalan Dharmahusada, Surabaya. Tatkala pinjaman jatuh tempo pada 27 Juni 1992, Tjipto ternyata tak bisa melunasi utangnya karena usahanya bangkrut. Jumlah utangnya, ditambah bunga, telah membengkak menjadi Rp 300 juta. Ia minta pihak bank memberi kelonggaran sampai 24 Mei 1993, dan bank setuju. Tapi saat jatuh tempo yang kedua, Tjipto tetap tak bisa melunasi utangnya. Rumahnya di Jalan Dharmahusada yang dijadikan agunan juga tidak berfungsi sebagai jaminan. Tanah dan rumah ini ternyata sudah diputuskan Pengadilan Negeri Surabaya pada 31 Agustus 1992 berstatus sita jaminan. Ini akibat gugatan Indra Prastijo, rekan bisnis Tjipto, juga karena Tjipto tak mampu mengembalikan pinjaman sebesar Rp 300 juta. Jadi, sebelum mengajukan kredit ke Aspac Bank, Tjipto ternyata sudah meminjam uang dari Indra. Merasa posisi agunannya terancam, pada Oktober 1992 Aspac Bank melayangkan gugatan terhadap Indra (tergugat I) dan Tjipto (tergugat II). Sidang gugatan Aspac terhadap dua pedagang ini mulai digelar pada 30 November 1992. Ternyata, sehari setelah persidangan berlangsung, rumah Tjipto didatangi Johnny (bukan nama sebenarnya) disertai tiga kawannya yang mengaku suruhan Aspac Bank. Mereka menyodorkan surat kuasa yang ditandatangani salah seorang pejabat Aspac Bank Jakarta (pusat). Bunyinya antara lain: ''Memberikan kuasa kepada Johnny untuk melakukan penagihan, perundingan, dan hal-hal yang bisa disamakan dengan itu.'' Bukannya berunding, Johnny dan kawan-kawan menggertak Tjipto agar segera melunasi utangnya. Kalau tak sanggup, Tjipto disuruh mengosongkan rumahnya di Jalan Dharmahusada malam itu juga. ''Saya tak akan meninggalkan rumah ini sebelum Anda melunasi utang,'' gertak Johnny. Memang, Johnny akhirnya tak beranjak dari ruang tamu, sementara di luar rumah tiga kawannya asyik menenggak bir sambil tertawa-tawa. Merasa terteror, Tjipto mengontak pengacaranya, Sudiman Sidabukke, yang kemudian melaporkannya ke polisi. Menjelang subuh, polisi datang mengusir Johnny dan kawan-kawan. Kejadian itu kemudian dipersoalkan Sudiman saat memberi jawaban atas gugatan sita jaminan Aspac Bank atas rumah Tjipto. Sudiman menganggap pengiriman Johnny dkk. melawan hukum dan mengganggu ketenangan kliennya. Ia kemudian malah minta hakim menghukum Aspac dengan denda Rp 50 juta sebagai ganti rugi atas perlakuan tersebut. Gugatan Aspac pun berbalik karena Hakim Sariyanto sependapat dengan Sudiman. Setelah melihat laporan polisi, hakim menyimpulkan tindakan Aspac adalah perbuatan main hakim sendiri. ''Buktinya cukup kuat, dan pihak Aspac juga tidak membantah,'' ujar Sariyanto. Selain menjatuhkan denda Rp 50 juta, hakim juga menolak gugatan sita jaminan Aspac Bank atas rumah Tjipto. Pengacara Aspac Bank, Slamet, tentu tak puas dan menyatakan banding atas putusan Hakim Sariyanto. Menurut Slamet, dalam hal tukang pukul itu, seharusnya hakim tidak begitu saja percaya terhadap gugatan balik pengacara Tjipto. ''Orang suruhan Aspac belum tentu bersalah. Sebab, untuk disebut bersalah, Johnny harus diputus dulu di pengadilan,'' kata Slamet. ''Johnny memang ditahan dua hari oleh polisi, tapi setelah itu kan dikeluarkan? Jadi, belum tentu bersalah,'' tambahnya. Slamet juga membantah Aspac telah meneror Tjipto. Sebab, dalam surat kuasa kepada Johnny, kata-kata mengusir itu tidak ada. ''Menurut saya, Aspac Bank memberi tugas untuk menagih saja, sebab Tjipto kan memang punya utang.'' Jika kemudian kemudian Tjipto ketakutan, ''itu salah Tjipto sendiri.'' Slamet menilai tindakan menyuruh orang menagih utang tak melanggar hukum. Seandainya Johnny melakukan tindakan di luar apa yang ditugaskan Aspac, ''itu tanggung jawab Johnny sendiri,'' ujar Slamet. Kejadian itu agaknya bisa menjadi peringatan bagi bank, agar tak menempuh jalan keras untuk menagih utang. Ada rencana, kejaksaan, sesuai dengan fungsinya berdasarkan UU No. 5 Tahun 1991, akan dimobilisasi untuk membantu bank menyelesaikan kredit macet. Cara ini ada dasar hukumnya. Aries Margono dan Zed Abidien (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus