Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Rencana Perluasan Perkebunan Sawit Prabowo Dinilai Berpotensi Meningkatkan Konflik Agraria

Dalam catatan KPA, perkebunan sawit merupakan sektor yang paling banyak menyumbang angka konflik agraria di Indonesia.

1 Januari 2025 | 06.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Shutterstock.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyoroti rencana Presiden Prabowo Subianto untuk menambah lahan perkebunan sawit. Sekretaris Jendral KPA Dewi Kartika mengatakan kebijakan itu jika terealisasi berpotensi besar memicu kenaikan konflik agraria di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Perlu diketahui, persoalan klasik perkebunan sawit di Indonesia bukan hanya perkara kerusakan lingkungan atau deforestasi, akan tetapi persoalan konflik agraria akibat penggusuran dan perampasan tanah masyarakat yang selama ini diakibatkan oleh operasi perusahaan perkebunan," kata Dewi melalui pesan tertulis, Selasa, 31 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Bappenas, Senin, Prabowo mengatakan lahan kelapa sawit di Indonesia perlu ditambah karena kelapa sawit adalah komoditas strategis. Menurut Prabowo, saat dia melakukan lawatannya ke luar negeri, banyak negara yang berharap mendapat pasokan produk sawit dari Indonesia. 

"Saya kira ke depan kita harus tambah tanam sawit. Nggak usah takut membahayakan, deforestasi," kata Prabowo. Dia mengatakan bahwa kelapa sawit merupakan pohon dan memiliki daun sehingga bisa menyerap karbondioksida.

Dalam catatan KPA, perkebunan sawit merupakan sektor yang paling banyak menyumbang angka konflik agraria di Indonesia. Pada tahun 2023, kata Dewi, terjadi 108 letusan konflik agraria di sektor perkebunan dan 88 kasus di antaranya disebabkan oleh perkebunan dan industri sawit. Angka ini mengalami kenaikan dari tahun 2022 dengan jumlah konflik sebanyak 99 letusan. "Jika ditarik selama pemerintahan Presiden Joko Widodo sebelumnya (2015-2023), konflik agraria akibat perkebunan sawit mencapai 1.131 letusan," ucapnya.

Selain maraknya konflik agraria, kata Dewi, operasi perkebunan sawit juga banyak menyebabkan korban kekerasan akibat pendekatan yang represif terhadap masyarakat di wilayah konflik. Sepanjang 2023, KPA mencatat kasus represif serta kekerasan dari operasi perkebunan telah mengakibatkan 252 (248 laki-laki dan empat perempuan) mengalami kriminalisasi, 52 orang (43 laki-laki dan sembilan perempuan) mengalami penganiayaan, dua orang tertembak dan tiga orang tewas. 

"Kami menduga rencana perluasan ini tidak terlepas dari rencana ambisius Presiden Prabowo untuk pengembangan program biodiesel B40 dan B50. Akan tetapi, ambisi tersebut jika tidak dibarengi dengan evaluasi tata kelola perkebunan sawit, akan menimbulkan persoalan baru berupa konflik agraria," ucapnya. 

Hal mendesak yang seharusnya dilakukan Presiden Prabowo, kata Dewi, adalah melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap karut marut tata kelola sawit yang terjadi selama ini. Ia meminta kajian lahan sawit yang dimiliki Indonesia saat ini seluas 16,8 juta hektare benar-benar sudah memberikan dampak positif terhadap masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. "Sebab fakta lapangan menunjukkan sektor ini telah banyak menimbulkan krisis agraria dan ekologis," ujarnya. 

Melalui fakta tersebut, kata Dewi, KPA meminta Presiden Prabowo untuk mengkaji ulang kembali rencana tersebut. Menurut dia, pemerintah justru seharusnya perlu melihat kembali Inpres Moratorium Sawit yang dulu pernah ditandatangani di masa pemerintahan Jokowi. Salah satunya, kata dia, dengan melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang sudah berjalan tersebut. "Pembaruan dan penguatan moratorium sawit penting untuk dilakukan agar persoalan-persoalan agraria dan lingkungan yang kerap ditimbulkan oleh industri sawit dapat dihentikan," ucapnya.

Selanjutnya, menurut Dewi, Presiden Prabowo perlu segera memimpin penyelesaian konflik agraria di sektor perkebunan yang tidak kunjung selesai. Selama ini, konflik agraria yang diakibatkan perkebunan sawit terjadi lantaran adanya tumpang tindih klaim antara masyarakat dengan pemilik HGU karena pemerintah sering kali menerbitkan HGU perusahaan di atas tanah dan pemukiman masyarakat.

"Sehingga penyelesaian konflik agraria di sektor perkebunan dan pengakuan hak atas tanah masyarakat menjadi penting sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mengarah para perluasan ekspansi perkebunan sawit," ujar Dewi.

 

 

 

 

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus