Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Sederet Alasan Greenpeace Desak Pemerintah Stop Promosikan Perdagangan Karbon, Termasuk dalam COP29

Perdagangan karbon dianggap sebagai solusi palsu atas pertanggungjawaban pencemaran lingkungan.

20 November 2024 | 13.39 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia mendesak Pemerintah Indonesia berhenti mempromosikan dan meneruskan skema perdagangan karbon yang dianggap memperparah krisis iklim. Organisasi ini menilai pelaku pencemaran lingkungan seharusnya membayar dampak dari segala kerusakan yang telah ditimbulkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyebut negosiasi jual beli karbon dalam Conference of the Parties 29 (COP29) di Azerbaijan berpotensi menjadi solusi palsu untuk menangani pencemaran lingkungan. Skema dagang karbon justru berisiko menjadi celah yang dimanfaatkan oleh pencemar, misalnya lewat jasa akuntan keuangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ini skema curang para pencemar lingkungan yang seharusnya segera menghentikan emisi, bukan mencari solusi palsu,” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu, 20 November 2024.

Meski perdagangan karbon sudah masuk ke dalam draf pembahasan iklim di COP29, Iqbal mengatakan masih ada ketidakpastian ihwal metodologi dan definisi perhitungan dan pemantauan perdagangan karbon. “Promosi proyek tampak menjanjikan, namun tidak dijelaskan kekurangan dan kelebihannya,” tuturnya.

Greenpeace menyatakan percobaan perdagangan karbon di Indonesia selama beberapa tahun terakhir justru mendatangkan pengalaman buruk. Salah satu yang disinggung oleh organisasi ini adalah klaim yang berlebihan mengenai penyimpanan karbon sebuah proyek di Kalimantan Tengah. Ada juga kekhawatiran greenwashing—strategi pemasaran produk agar terkesan ramah lingkungan—pada sejumlah proyek di Riau dan Kalimantan Barat yang melibatkan perusahaan pelaku deforestasi.

Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace, Kiki Taufik, menyebut perdagangan karbon juga berpotensi melanggar hak-hak masyarakat adat. “Lewat perampasan lahan dan kegagalan saat sosialisasi atau berupaya mendapat persetujuan dari komunitas lokal oleh sebuah proyek di Kepulauan Aru (Maluku)” kata Kiki.

Kiki meminta pemerintah tidak mengulangi dua kesalahan bila ingin menyelamatkan iklim dan keanekaragaman hayati, yaitu dengan menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal, serta memastikan tidak ada motif untuk mencari keuntungan.

“Kita perlu mencari cara lain, jika memang tujuannya melindungi hak ulayat masyarakat adat, lingkungan hidup dan wilayah keanekaragaman hayati yang kaya karbon,” kata ia.

Bagi Greenpeace, pendanaan seharusnya mengalir langsung kepada komunitas lokal dan masyarakat adat. Alih-alih berdagang karbon, pemerintah disarankan melindungi dan memulihkan hutan-hutan yang ada.

Ketua Delegasi Indonesia sekaligus Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, sebelumnya mempromosikan potensi perdagangan karbon di Indonesia dalam COP29. Ketika membuka sesi diskusi di Paviliun Indonesia pada Selasa, 12 November 2024, dia mengatakan banyak perusahaan multinasional yang menunjukkan minat besar untuk berbisnis karbon dengan omzet miliaran dolar Amerika Serikat tersebut.

Menurut Hashim, sudah ada sedikitnya 557 juta ton kredit karbon terverifikasi di Indonesia yang sudah laik jual. Poin-poin utama yang disampaikan Hashim dalam agenda internasional itu bisa dibaca lebih lengkap dalam Laporan Premium Tempo; Konflik Kepentingan Hashim Djojohadikusumo di Konferensi Iklim COP29 Azerbaijan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus