Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jangan biarkan badak Jawa menjadi masa lalu di masa depan.” Kutipan kalimat dalam brosur kertas cokelat itu membuat Enggar Paramita, 23 tahun, tersengat. Enggar tak menyangka di dunia yang dipadati jutaan miliar hewan ini badak Jawa begitu minim jumlahnya: hanya tinggal 60 ekor saja. Populasinya menduduki peringkat terendah dibandingkan badak lainnya. Benteng pertahanan terakhir mereka menyempil di pojok barat Pulau Jawa, yaitu di Taman Nasional Ujung Kulon Banten.
Dengan jumlah yang begitu sedikit, Enggar, karyawati perusahaan periklanan, pun terpanggil untuk membantu binatang yang hanya ada di Indonesia ini. Caranya mudah saja dan tak akan memberatkan mereka yang sibuk bekerja. Jadilah orang tua asuh si cula satu tersebut. Inilah program adopsi yang diluncurkan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia pada 20 September lalu.
Dalam program RhinoCare itu Enggar menjadi orang tua asuh perintis bersama 15 orang lainnya. Untuk itu, uang sejumlah Rp 250 ribu ia sisihkan tiap bulan selama setahun. Alasan Enggar sederhana saja, ”Bukannya sok pahlawan, tapi siapa lagi kalau bukan kita yang menyelamatkan.”
Yang Enggar pilih untuk diselamatkan bernama Menul. ”Soalnya Menul betina, lucu, masih single dan produktif,” ujar Enggar. Selain Menul, ada enam temannya yang saat ini sedang mencari orang tua asuh, yaitu Dablo, Euis, Jampang, Lulu, Rara, dan Macho. Ketujuh badak tersebut memiliki sifat yang bersahabat dan ramah. Mereka beberapa kali ”tertangkap” jebakan kamera yang dipasang di 16 titik di Ujung Kulon. Ada yang berpose di lumpur, sedang makan rumput, atau sedang berjalan bersama anaknya.
Lain Enggar, lain Ratu Ayu Asih Kusuma Putri. Mahasiswi Universitas Indonesia Jurusan Hubungan Internasional semester VI ini punya alasan berbeda menjadi orang tua asuh. Ia begitu sedih melihat tragisnya pembantaian badak di televisi. Karena itu, ia bertekad agar badak nantinya tidak hanya jadi dongeng pengantar tidur.
Sebagai mahasiswa, Ratu punya uang terbatas, tapi tekadnya sudah bulat. Ia pun urunan dengan tiga kawan kuliahnya untuk menjadi orang tua asuh. Pilihan jatuh pada badak jantan Dablo. ”Dablo itu tampan dan gagah,” begitu alasannya.
Program orang tua asuh bukan seperti mengadopsi bayi dengan membawa dan merawatnya di rumah. Badak tetap tinggal sentosa di habitatnya di Ujung Kulon. Kalau orang tua asuh mau membesuknya, ya silakan ubek-ubek taman nasional yang luasnya 1.200 kilometer persegi itu. Jadi, program ini, ”Hanya simbolis,” ucap Adji Santoso, penanggung jawab RhinoCare di kantor WWF Labuan, Banten.
Dalam program RhinoCare ini setiap individu atau kelompok bisa memilih badak dengan bayaran antara Rp 250 ribu hingga Rp 100 juta setahun. Bisa mendaftarkan diri sendiri, keluarga, teman, atau mewakili perusahaan. Ada beberapa pilihan paket adopsi seperti basic, advanced, family, silver, gold, dan platinum. Seekor badak tidak bisa dimonopoli sendirian karena pihak lain juga bisa memilihnya sebagai anak asuh.
Tiap orang atau kelompok akan mendapatkan sertifikat dan kenang-kenangan, misalnya boneka atau kaus badak. Pembeli paket platinum mendapat 12 kenang-kenangan dari pin sampai liputan media. Sertifikat orang tua asuh hanya berlaku setahun. Program ini bisa diikuti semua kalangan. RhinoCare baru akan melakukan grand launching pertengahan tahun depan. ”Kami terus proaktif mengajak public figure hingga pejabat,” kata Adji.
Sebanyak 80 persen dana dari orang tua asuh akan dipakai buat biaya penelitian dan pengamanan badak. Mulai dari meneliti kehadiran badak melalui temuan kotoran, bekas pakan, hingga mengawasi kedatangan tamu tak diundang. Proses pengawasan ini biasanya berlangsung 10 hingga 12 hari setiap bulan.
Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Agus Priambudi, mengatakan, program yang melibat-kan partisipasi aktif masyarakat ini akan membantu mempertahankan kelangsungan hidup badak. Selama ini mereka kesulitan dana untuk penelitian, pengawasan, dan pengamanan badak yang biayanya sampai Rp 8 juta untuk setiap ekor.
Tindakan pengawasan ekstra memang harus dilakukan untuk si badak Jawa karena berbagai kemungkinan gangguan alam atau manusia. Soal perburuan, menurut Agus, tak ada lagi karena kesadaran masyarakat sudah cukup tinggi. Masalahnya, jumlah badak di Ujung Kulon tak beranjak sejak 1986. Dalam sensus tahun ini, populasi badak diperkirakan 60 ekor. ”Masih sama ketika saya di lapangan tahun 1986,” ujar Agus.
Tingkat pertumbuhan nol persen itu menempatkan badak Jawa sebagai spesies terlangka di antara badak lainnya di dunia. Dalam pantauan International Rhino Foundation, badak putih di wilayah India Selatan masih bertahan 11 ribu ekor, badak hitam Afrika 3.600, badak India 2.500, dan badak Sumatera 300 ekor.
Program adopsi seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Lima tahun lalu, Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) sudah melakukannya. Orangutan yang diadopsi itu berada di Pusat Rehabilitasi dan Reintroduksi Orangutan di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, dan Wanariset Samboja, Kalimantan Timur.
Dana adopsi dipakai untuk merehabilitasi orangutan yang biasanya memakan waktu tiga tahun sebelum mereka siap diliarkan. Selama tiga tahun itu biaya yang dibutuhkan mencapai US$ 4.500 (Rp 13,5 juta) per tahun) untuk makanan, obat-obatan, gaji ”baby sitter”, serta teknisi bagi seekor orangutan.
Seekor orangutan biasanya hanya mendapat orang tua asuh maksimal dua orang selama setahun. Setiap orang tua akan mendapat foto dan cerita perkembangan orangutan yang diadopsi. Koordinator Pendidikan dan Komunikasi BOS, Irma Dana, mengatakan, hingga saat ini jumlah pengadopsi orangutan mencapai 20 ribu. Sebagian besar berasal dari luar negeri. Mereka bekerja sama dengan lembaga afiliasi di beberapa negara seperti Jerman, Inggris, Denmark, dan Swedia.
Di luar negeri, model adopsi ini sudah menjadi program wajib organisasi konservasi hewan langka. One World Wildlife, Inggris, misalnya, memiliki program Adopt Wildlife untuk adopsi binatang di seluruh dunia. Ada macan, singa, beruang, badak, gorila, gajah, berang-berang, paus, lumba-lumba, penyu, hingga kelelawar.
Yandi M.R.
Si Pemalu, Macho, dan Si Genit Euis
Badak Jawa berukuran lebih besar dari badak Sumatera, tapi lebih kecil dari badak India. Tinggi Rhinoceros sondaicus mencapai 168 hingga 175 sentimeter. Panjang tubuh 2 hingga 4 meter. Beratnya mulai 900 kilogram hingga 2,3 ton. Badak betina biasanya lebih besar dari yang jantan.
Mereka biasanya melakukan kegiatan malam hari dan hidup sendirian, soliter. Jumlahnya kini hanya 60 ekor dan hidup liar di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Inilah rumah sekaligus benteng pertahanan badak yang paling sedikit jumlahnya di dunia ini.
Semua gambar badak Jawa di Ujung Kulon di bawah ini diperoleh melalui kamera trap yang terpasang di 16 titik. Tahun lalu, ada 100 gambar lebih dari 18 badak, tapi hanya tujuh badak yang akan segera memiliki orang tua asuh. Inilah karakter mereka:
Euis Euis tergolong ABG yang genit. Badak betina ini berusia sekitar 15 tahun. Euis sering terlihat di Cikeusik. Dia senang berkubang dan makanan favoritnya Palem Arenga
Menul Menul juga suka berkubang di wilayah Cikeusik. Ia diperkirakan sedang hamil karena perutnya buncit. Belum ada konfirmasi meski Menul telah masuk usia reproduksi 16–30 tahun.
Macho Badak jantan berusia sekitar 25 tahun ini dinamai Macho karena postur tubuhnya yang kuat dengan berat lebih dari dua ton. Dia senang berjalan-jalan di wilayah Cikeusik sampai Cibandawoh.
Jampang Badak jantan berusia 17–35 tahun ini memiliki kulit seperti pakaian tempur baja. Ia berbagi wilayah tempat tinggal dengan sahabatnya, Macho. Jampang gemar makan tumbuhan jenis langkap muda.
Lulu dan Rara Lulu berusia 13–35 tahun dengan berat lebih dari 2 ton. Dia beberapa kali terekam kamera trap bersama ”bayi” perempuannya, Rara, yang usianya 6–8 tahun. Lulu dan Rara suka berkeliling mencari makanan di daerah Citadahan.
Dablo Badak jantan berusia 15–40 tahun ini sering terlihat di dataran rata Cikeusik Barat, Taman Nasional Ujung Kulon. Dablo sangat pemalu dan segera bersembunyi apabila mencium kedatangan manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo