Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Wabah Entong dan Eneng

Setelah tayangan mistis dan kekerasan, televisi diserbu sinetron cerita khayal dengan bintang utama anak-anak. Sesuai sebagai tontonan anak?

19 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu hari Entong mendapat kado kotak pos mungil oranye dari sahabat penanya. Sayang, rusak. Maka bocah yang suka berpeci merah dan mengalungkan sarung di leher ini berusaha memperbaikinya. Keajaiban pun muncul. Setiap surat yang dimasukkan ke kotak pos itu terbang sendiri ke alamat yang dituju. Baju yang dikirim lewat kotak pos ajaib ini juga bisa membuat pemakainya cantik. Jasa kotak pos oranye laris-manis.

Memet, musuh bebuyutan Entong, iri. Dia pun mencuri kotak pos ajaib Entong dan membuka jasa pengiriman surat sendiri. Tapi bocah gendut itu malah kena sial. Surat yang dikirim lewat kotak pos tersebut kembali ke pengirimnya. Tulisannya menjadi amburadul. Barang yang dikirim berubah jelek; makanan jadi busuk.

Inilah sepenggal cerita salah satu episode Si Entong, berjudul Kotak Pos Ajaib dan Surat Terbang. Sejak ditayangkan pada 17 April 2006 di TPI, sinetron ini langsung membetot perhatian anak-anak. Mereka keranjingan menonton sinetron yang pekan lalu memasuki episode ke-164 itu. Lintang Akbar, misalnya. Murid Taman Kanak-Kanak Tunas Muda, Kebon Jeruk, Jakarta Barat ini sudah menjadi Si Entong-mania. Dia hafal lagu pembuka sinetron, Sang Bangau—tembang lawas yang dinyanyikan almarhum Benyamin Sueb. ”Ceritanya seru, lucu,” katanya.

Sinetron produksi PT Mega Vision ini memang sengaja membidik pasar anak-anak. Serial yang banyak mempertontonkan berbagai keajaiban ini punya judul dengan embel-embel ”ajaib”, seperti Pancing Ajaib dan Baju Ajaib.

Seperti mantra, jika sebuah ramuan acara televisi terbukti sukses, acara serupa pun segera mengikutinya. Sebut saja Eneng dan Kaos Kaki Ajaib, yang ditayangkan di RCTI sejak Juni 2007. Sinetron ini menceritakan kehidupan anak perempuan yang rajin, baik hati, dan cerdas bernama Eneng. Kaus kaki ajaibnya berfungsi mirip kantong ajaib Doraemon, sebuah serial kartun Jepang. Bedanya, kaus kaki itu tidak sekadar mengeluarkan benda-benda ajaib, tapi juga bisa mengubah wujud anak manusia.

Karena sukses, TPI menambah jadwal tayang Si Entong dari satu kali sehari menjadi tiga kali: pagi, siang, dan sore. Eneng tak ketinggalan. Sinetron yang semula tayang sekali seminggu sekarang menjadi dua kali sehari, pagi dan sore. Menurut Direktur Program RCTI Harsiwi Achmad, sejak ditayangkan dua kali sehari, peringkat sinetron produksi Sinemart itu meningkat sangat signifikan. ”Selalu masuk sepuluh besar,” katanya.

Maka, tayangan sinetron ”ajaib” dengan bintang utama anak-anak, seperti Entong dan Eneng, makin merebak. Ada Si Eneng dan Monyet Cantik di SCTV. Selain itu, TPI menurunkan Samsonwati. Resepnya serupa: anak-anak yang bisa memunculkan keajaiban. Samsonwati, misalnya, punya kekuatan ala Samson. Monyet Cantik menceritakan seorang anak perempuan yang berubah menjadi separuh monyet setiap kali marah.

Setelah dilanda gelombang sinetron religi dan mistik—yang masih bertahan hingga sekarang—stasiun-stasiun televisi bergairah menayangkan sinetron khayalan dengan bintang utama anak-anak. Yang dibidik: pasar anak-anak.

Orang tua yang semula resah karena anaknya menonton cerita hantu dan kekerasan kini harus menimbang-nimbang baik-buruknya pengaruh Entong dan Eneng ini.

Menurut Manajer Humas TPI, Theresia Ellasari, cerita semacam itu justru dapat mengembangkan daya imajinasi anak-anak. ”Artinya, segala kekayaan ide kreatif bisa diwujudkan tanpa dibatasi ruang dan waktu. Suatu saat tokohnya bisa terbang, menghilang, dan sebagainya,” katanya.

Sedangkan Arswendo Atmowiloto, penulis cerita Keluarga Cemara—sinetron yang banyak dipuji karena kedalaman ceritanya—setuju dengan tontonan yang bisa mengembangkan daya imajinasi anak. ”Tapi tidak seperti sinetron sekarang, yang mengaburkan batas antara fakta alias kehidupan nyata dan fiksi,” katanya. Menurut dia, tayangan yang mengandalkan khayalan tetap harus berpegang pada logika. ”Harus ada sebab dan akibat secara jelas,” katanya.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus