Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SHEN Ye, 16 tahun, sudah tak sabar lagi. Selama beberapa hari dia lupa pelajaran di sekolahnya. Dia malah sibuk memilih tempat yang paling pas untuk menonton pertandingan Milwaukee Bucks dan Houston Rockets. Bagi dia, game ini tak pantas dinikmati seorang diri di rumah. ”Paling tidak harus bersama teman-teman. Enak sorak beramai-ramai,” kata remaja Beijing ini.
Keinginan itu ternyata bukan hanya menancap di kepala Shen, tapi juga berjuta-juta penggila basket di Cina. Pertandingan di Houston itu mahapenting karena dua jagoan Cina saling berhadapan. Yao Ming dari Rockets dan si rookie Yi Jian Lian yang membela Bucks. Inilah ”derby” Cina. ”Bisa saja. Ini bukan pertandingan aku melawan Yao, tapi antara kedua tim,” kata Yi.
Apa pun embel-embelnya, pertandingan yang disiarkan langsung televisi nasional Cina, CCTV, Ahad dua pekan silam itu, menarik sekitar 200 juta penonton. Sejumlah pub seperti the Goose and Duck di Beijing memasang proyektor atau TV layar jumbo. Pub ini juga menyediakan sarapan ala Amerika bagi 400 pengunjungnya pagi itu.
Hasil akhir, Rockets yang jadi pemenang dengan skor 104-88. Yao dengan tinggi 2,26 meter sulit ditaklukkan. Dia mengukir 28 poin dan 10 rebound. Yi, yang lebih pendek 14 sentimeter, juga menjanjikan. Dia membuat 19 poin plus 9 rebound. ”Tak penting siapa yang menang. Yang penting aku bisa berteriak sepuas hati. Atmosfernya sungguh menyenangkan,” kata Shen.
Sebenarnya ini bukan ”derby” Cina yang pertama. Lima tahun silam, Wang Zhizhi dan Mengke Bateer, orang Mongol, tampil membela klub masing-masing. Dalam pertarungan itu, Wang mencetak enam poin dalam sembilan menit. Tapi, Bateer yang hanya dua menit bermain, tak mampu mencetak angka.
Tentu aroma perang kali ini jauh berbeda. ”Membandingkan antara pertandingan Yao dan Yi dengan Wang Zhizhi (Dallas Maverick) melawan Bateer (Denver Nuggets), terlihat betul kemajuan bola basket di Cina,” kata Zhang Weiping, pengamat olahraga bola basket di negeri itu.
Basket di Cina memang berkembang luar biasa. Mereka tak lagi jago kandang, tapi melompat hingga ke Amerika. Langkah ini diawali oleh Zhizhi yang bermain pada 2001. Lalu disusul Bateer, Yao Ming, dan kini Li Jian Lian. Di belakang mereka masih ada Chen Jianghua, 18 tahun. Menurut Zhizhi, Chen sungguh luar biasa. ”Dia bermain lebih baik dibanding pemain seusianya,” katanya.
Liga Basket Amerika punya banyak alasan untuk menarik pemain-pemain Cina. Selain memiliki pemain-pemain jangkung, Cina adalah negeri dengan penduduk 1,3 miliar jiwa. Nah, andai 10 persen saja yang menggilai olahraga ini dan separuh dari mereka punya uang, apa pun bisa dijual di televisi. Mereka akan mudah mencari pemasang iklan yang mengincar pasar Negeri Beruang Lucu alias Negeri Panda itu.
Sebaliknya bagi pebasket Cina sendiri, bermain di NBA bukan semata-mata menjaring popularitas dan prestise, tapi duit mereka bisa segendut gentong. Yao, misalnya, selain dikontrak US$ 18 juta (hampir Rp 170 miliar), dia juga menjadi bintang iklan McDonald’s, Pepsi, Visa, Apple, dan Reebok. Itu pula yang membuat Yi akhirnya menerima pinangan Bucks, meski sebelumnya dia ingin ke Chicago Bulls.
Yi Jian Lian, pemain asal Guandong, sudah membuat para pencari bakat menetes air liurnya saat bermain dalam Adidas All-American ABCD Camp 2002. Pengalaman itu pula yang membuatnya terlihat lebih siap ketimbang para pendahulunya. Yi bahkan sudah menjadi orang Amerika sebelum dia berangkat mengikuti draft atau ajang seleksi pemain yang akan bertarung di NBA di New York.
Sebelum berangkat, dia memoles kemampuan berbahasa Inggrisnya. Setelah terpilih menjadi pemain Bucks, usaha itu makin digeber. Sehari-hari, setelah mengikuti latihan fisik minimal dua jam sehari, dia langsung menemui guru bahasa Inggris yang telah dipesan Dan Fegan, agennya. Kini, Yi sering menemui wartawan tanpa disertai penerjemah.
Ia tak pernah tampak kikuk menghadapi dunia barunya. Pertengahan tahun ini, saat mengikuti draft, dia pun langsung in. Telinganya kini lebih banyak disumpal earphone dari i-pod yang mengucurkan irama hip-hop. Soal makan, dia mengaku tidak terlalu terpengaruh. Makanan Cina oke, hidangan Amerika pun dia lahap.
Yi benar-benar menikmati hidupnya. Dia pergi ke mana saja di mana ada restoran favoritnya. Yi juga datang ke acara pemutaran perdana beberapa film. Di kala senggang? Bermain video game. Soal penampilan juga dia menjaganya dengan baik. Jins merek Sean John dan kemeja Jumpman kerap membungkus tubuhnya yang tinggi besar itu.
Kalaulah ada yang mengganggu adalah soal usia. Yi disinyalir memalsukan umurnya. Usianya diperkirakan sudah lebih dari 19 tahun. ”Ah, sudahlah, aku sudah capek mengurusi soal itu. Aku hanya mau bilang aku lahir pada 1987.”
Gaya yang berbeda justru ditampilkan Yao Ming. Si jangkung ini memang jago di lapangan. Pergerakannya pun sulit dihentikan. Di luar lapangan? Oleh teman-temannya dia kerap diledek sebagai anak mama. Itu bukan tanpa alasan. Selama mencari uang di Houston, dia tinggal bersama kedua orang tuanya. Setelah mendapat izin dari negerinya, Fang Fengdi, ibunya, pun meluncur ke Houston.
Dia pula yang mencarikan rumah untuk Yao. Syaratnya, pintu-pintu harus lebih tinggi. Begitu pula dengan tempat tidur dan perkakas lainnya. Maklum, mereka keluarga raksasa. Fang memiliki tinggi 188 sentimeter, sedangkan sang ayah, Yao Zhiyuan, tingginya 2 meter. Mereka dulunya juga pemain basket.
Agenda lain? Mencari butik yang menyediakan busana ekstra. Setelah itu, barulah soal makanan. Untunglah, di Texas bertebaran kedai steak. Rasanya cocok dengan lidahnya.
Peran sang ibu tak hanya sampai di situ. Fang juga memasakkan makanan kesukaan anaknya dan mengurusi kebutuhan sehari-harinya. Tampaknya Fang kangen pada masa kecil anaknya. Fang pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Saat Yao pulang habis bertanding, ibunya selalu menyediakan semangkuk sup buatannya. ”Anakku capek sekali. Tubuhnya harus segera pulih. Sup inilah yang akan mengembalikan staminanya,” katanya. Yao pun senang bukan kepalang. Baginya sup hangat bak doping yang melambungkan kebugarannya.
Namun, lambat laun, peran ibunya kian dominan. Campur tangan sang ibu kerap juga membuatnya pusing kepala. Kepada seorang temannya, Yao sempat ”curhat” mengenai kehadiran ibunya yang seolah-olah tak pernah pergi dari sisinya. ”Lama-lama aku merasa terganggu juga.”
Ibunya juga yang menjodohkan Yao dengan Ye Li, pemain basket wanita Cina. Jangkung? Sudah pasti. Ye memiliki tinggi badan 190 sentimeter. Tiap kali ada perempuan dekat dengannya, Fang mengingatkan. Agustus lalu, akhirnya Yao menikahi perempuan yang dikenalnya sejak berusia 17 tahun.
Pernikahan ini sekaligus menepis gosip santer tentang asmaranya dengan aktris Nia Long. Pestanya dilakukan secara tertutup. Tak ada pemain basket Cina ataupun Rockets yang diundang. Setelah Yao beristri, Fang punya kesibukan baru, yakni membuka restoran di Houston, yang menyajikan masakan Cina.
Sosok Yao yang sepi gosip, sopan, dan tindak-tanduknya selalu terpuji menerbitkan sejuta harapan pada orang tua di Cina. Tubuhnya bersih dari tato. Penampilannya juga selalu terjaga dan jauh dari alkohol. ”Dalam sebuah pesta dia menenggak alkohol dalam jumlah yang banyak, eh, dia malah tertidur,” kata seorang temannya.
Dia juga murah hati. Yao terlibat dalam berbagai kegiatan amal. Yang paling gres, September lalu, dia ikut dalam pengumpulan dana untuk anak-anak Cina. Pesona ini pula yang menyebar ke seluruh pelosok Cina. Seperti Shen Ye, penduduk di sana pun mengagumi so sok baru pahlawan negerinya itu. Mereka tak sabar menanti musim panas 2008. Di Olimpiade di Beijing, mereka berharap keduanya menjadi pemenang.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo