Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Siapa Pikul Beban Polusi ?

Masalah kebersihan & kelestarian lingkungan hidup, sektor industri & pertanian merupakan penyebab daripada pencemaran lingkungan hidup. sedang ditunggu ruu anti polusi & rpp tentang pengendalian air.(ling)

14 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJAYAAN Inggris akhir abad lalu bersumber pada kegemaran perawan tua negeri itu memelihara kucing. Apa iya? Charles Darwin, pencetus teori evolusi, pernah menceritakannya ketika menerangkan konsep daur pangan. Dan dalam suatu tanya jawab baru-baru ini sekitar "mengganasnya" harimau di Sum-Bar, Ketua LIPI, Prof. Dr. Ir. Bachtiar Rivai, mengutip Darwin itu. Menurut cerita itu, kucing yang dipelihara para perawan tua suka memburu tikus di ladang. Ini bagi lebah lidah panjang suatu rahmat karena sarangnya suatu makanan enak bagi tikus -- menjadi aman. Peranan lebah ini penting karena ia menyerbuki bunga semanggi merah hingga berkembang biak dengan baik. Ternak sapi yang memang pada doyan makan bunga itu kemudian jadi senang. Pada gilirannya daging sapi itu jadi makanan utama kelasi Angkatan Laut Inggris. Dengan kelasi yang sehat dan bersemangat, armada negeri itu sungguh kuat dan jaya, hingga terungkap pameo Britan Rules the Waves (Inggris Mengendalikan Samudera). "Sesungguhnya kelestarian lingkungan terletak di tangan kaum ibu," tandas Menteri Negara PPLH, Emil Salim. Tentu saja dia tidak bermaksud dengan cara memelihara kucing. Menteri PPLH itu pekan lalu menguraikan penderitaan kaum wanita dalam suatu pertemuan organisasi Dharma wanita. Misalnya, wanita memikul beban utama jika sumber air semakin kerin dan tercemar, fasiliitas saniter semakin memburuk dan kayu bakar semakin langka. Ia pun paling menderita di kala serangan hama mengagalkan panen dan bencana alam menghancurkan rumah. Sedang dukanya tidak terhingga di kala penyakit merenggut nyawa sanak keluarga. Karena itulah terutama wanita dihimbau supaya mendorong usaha kebersih.m dan kelestarian lingkungan hidup. Tidak hanya kaum ibu. Juga "setiap instansi, swasta maupun pemerintah" wajib menjaga kebersihan lingkungan, tegas Emil Salim beberapa hari kemudian di Biotrop, Bogor. Dianjurkannya program pembangunan yang dilengkapi dengan Analisa Dampak Lingkungan (Andal). Menurut penilaian Menteri PPLH itu, perusak terbesar lingkungan hidup ialah sektor industri dan sektor pertanian. Secara berkelakar ia menyebut Departemen Perindustrian" dan "Departemen Pertanian" sebagai "perusak" dalam diskusi di Biotrop itu, sementara "Departemen Kesehatan" bersama masyarakat paling menderita akibatnya. Keruan saja pernyataan Emil Salim itu mengundang reaksi. "Pencemaran oleh industri belum begitu parah," tangkis Menteri Perindustrian, Ir. A.R. Soehoed. Menteri Muda Urusan Pangan, Ir. A. Affandi turut menyanggah. "Pencemaran akibat penggunaan pestisida di bidang pertanian relatif kecil." Menurut Affandi, penggunaan bahan kimia itu diusahakan sekecil mungkin hingga selama ini belum membahayakan manusia. Keduanya, Soehoed dan Affandi menyatakan belum ada ukuran tertentu yang menetapkan batas pencemaran. Tapi dari Kantor PPLH sendiri memang belum ada kriteria dan standar umum lingkungan sehat. Materi ini baru dituangkan dalam suatu RUU yang konon akan diajukan ke DPR tak lama lagi. Kini juga ditunggu suatu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengendalian Perencanaan Air. RPP ahli produk suatu tim antar-departemen. Terlalu Tinggi Meski pencemaran tidak hanya terjadi pada air, "sekarang yang menjadi prioritas ialah air," jelas Ir. Nabiel Makarim, staf Menteri Negara PPLH. Mengapa tidak diambil alih saja standar yang dipakai di luar negeri? "Standar yang dianggap baik di negeri lain belum tentu akan baik pula bagi Indonesia," ujar Makarim yang juga Staf Ahli Pencemaran Lingkungan di PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (PT JIEP). Ia memberi contoh nilai DO - (dissolved oxygen) yang menunjuk kadar oksigen yang terserap suatu badan air. Di negeri beriklim dingin nilai ini bisa ditetapkan setinggi 7-9 mg per liter air. "Di daerah tropis seperti Indonesia, nilai ini terlalu tinggi," kata Makarim. Soalnya ialah makin tinggi suhu, semakin menuruna daya serap oksigen. Semua ini tidak berarti bahwa di Indonesia belum ada standar nilai batas berbagai zat pencemar. Tahun 1975, Menteri Kesehatan sudah mengeluarkan peraturan tentang syarat dan pengawasan kualitas air minum. Ini disusul peraturan serupa (1977) untuk kualitas air kolam renang. Segera kemudian muncul pula peraturan tentang pengawasan pencemaran badan air untuk berbagai kegnunaan. Semua peraturan itu secara terperinci mencantumkan nilai batas bagi sctiap zat pencemar dan kondisi badan air. Bahkan 3 provinsi -- DKI Jakarta, Ja-Teng dan Ja-Tim -- juga memiliki berbagai peraturan tentang standar yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing serta pelaksanaan pengawasanya. Parah atau belum, tentu sangat reladf. Menteri Soehoed mengakui ada beberapa kasus pencemaran oleh industri. "Tapi belum merupakan masalah nasional," ujarnya. Bagi ratusan warga Dukuh Tapak di Semarang, masalahnya parah. Puluhan hektar sawah dan tambak ikan mereka rusak dan tidak terpakai lagi, akibat pencemaran oleh air limbah pabrik bahan kimia PT Semarang Diamond Chemical (SDC), perusahaan patungan Jepang dan Indonesia. Tak Didengar Tidak hanya di Semarang. Juga puluhan hektar sawah penduduk Desa Banjaran di Majalengka musnah dicemari air limbah dan gas pabrik bahan kimia PT United Chemical Industry (UCI Jaya). Dan ratusan hektar sawah penduduk Desa Aras di Asahan rusak oleh air limbah pabrik getah karet PT Majin. Air limbah pabrik pengolah karet PT Uni Royal di Kisaran membunuh puluhan ribu ikan mas milik penduduk. Banyak lagi kasus pencemaran oleh industri dan teknologi pertanian di seluruh pelosok tanah air. Protes mereka yang langsung menderita tak begitu didengar. Meskipun ada standar yang bisa dipakai, penerapan teknologi pengolahan air limbah bukan tanpa problem. Seperti soal ongkos. Bila industri menanggung beban pengendalian polusi, "ongkos produksi akan menjadi terlampau mahal yang tidak bisa ditanggung masyarakat," ujar Menteri Soehoed. Tapi ongkos itu sekarang ditanggung penduduk yang sawahnya rusak dan tambak ikannya tidak lagi menghasilkan. Mereka yang "mensubsidi" industri agar produknya tetap terbeli segolongan konsumen. Dan dalam hal ini adalah wanita yang paling menderita. Tapi mungkinkah kaum wanita berperan memelihara lingkungan, seperti yang diharapkan Emil Salim?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus