Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Suara-suara di Sekitar Teluk Rinondoran

PT Meares Sopuntan Mining beroperasi lagi. Tempat pembuangan limbah tambang telah disiapkan. Warga sekitar Teluk Rinondoran menolaknya.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ke Teluk Rinondoran, Newlan Londo menyerbu. Ia datang bersama serombongan pemuda yang hatinya penuh dengan amok. Balok-balok kayu di bibir pantai adalah sasaran mereka. Craak! Parang-parang tajam sekitar 30 pemuda itu menerjang kayu-kayu yang bisu. Sebagian kayu itu roboh. Tujuh lelaki yang bekerja di dekat balok itu tunggang-langgang ketakutan.

”Torang mo kase brenti ini kegiatan (kami mau menghentikan kegiatan ini)!” teriak Newlan, salah seorang warga Desa Rinondoran yang ikut menyerbu. Lelaki ini berang karena dia dan teman-temannya sudah enam kali memperingatkan agar tak melanjutkan pembangunan dermaga itu, tapi tak ada tanggapan.

Deretan balok kayu kukuh yang hendak dijadikan kaki dermaga sementara itu roboh berserak. Sebagian yang tersisa sudah miring tak keruan hanya dalam hitungan menit. Padahal butuh waktu sebulan untuk membangunnya. Kaki dermaga itu rencananya akan digunakan sebagai landasan penelitian untuk mencari kepastian lokasi dermaga yang tepat bagi kapal-kapal pengangkut barang PT Meares Sopuntan Mining, perusahaan yang mendapat konsesi tambang emas di daerah itu.

Selama beberapa minggu belakangan ini Teluk Rinondoran memang sedikit lebih sibuk ketimbang hari-hari sebelumnya. Meares, yang mengantongi konsesi sejak 1986, bulan ini memulai pembangunan tambang emasnya di daerah itu, Kabupaten Minahasa Utara. Kapalnya yang berisi alat-alat berat sudah menunggu sekitar 6,8 km dari pinggir pantai. Tapi, di pagi yang mendung itu, rencana Meares menjadi ”kelabu” saat sekelompok pemuda menyabot dermaga daruratnya. Tiga polisi sektor Likupang Timur, yang mengawal proyek itu sejak proyek dimulai, tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa berdiri mematung sekitar 10 meter dari lokasi yang kisruh itu.

Warga setempat menentang keras pembangunan dermaga milik Meares karena mereka mafhum perusahaan tambang ini akan membuang lumpur ampas tambang (tailing) ke laut. Sistem itu mirip sistem yang bikin heboh milik PT Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat, sekitar 200 kilometer dari Teluk Rinondoran. Di Buyat, pemerintah menuduh tailing Newmont telah mencemari teluk dan membuat warga setempat mengalami aneka gangguan penyakit.

Meares, yang telah mengantongi kontrak karya pada 1986, diperkirakan akan menambang emas selama enam tahun. Perusahaan yang sahamnya dikuasai perusahaan asal Inggris, Archipelago Resources, dan Austindo itu punya konsesi seluas 741 ribu hektare di Minahasa Utara, yang diperkirakan akan menghasilkan 162 ribu ounce emas setiap tahun. Mereka akan menambang selama sekitar 5,5 tahun.

Bila rencana itu mulus, Meares akan menggangsir bumi di daerah Toka Tidung dan menggelontorkan ampasnya melalui pipa sepanjang 10,6 kilometer ke Teluk Rinondoran. Di laut, pipa akan menjorok sejauh 3,6 kilometer dari pantai dan ujung pipa ada di kedalaman 150 meter. Jaringan Anti Tambang (Jatam), organisasi yang menentang kerusakan lingkungan akibat tambang, memperkirakan Meares akan membuang tailing ke laut sebanyak 1,2 juta sampai 1,7 juta ton per tahun. Jumlah itu sekitar dua kali lipat dari tailing yang dibuang ke Teluk Buyat, yang setahun mencapai sekitar 730 ribu ton.

Inilah yang bikin warga setempat waswas. ”Saya takut nanti emas dibawa pergi, rakyat cuma kebagian limbahnya,” kata Erens Palamia, mantan Kepala Desa Batu Putih Bawah, Kecamatan Bitung. Karena ketakutan itu, sekitar 10 ribu warga sekitar teluk meneken surat penolakan terhadap proyek itu.

Kecemasan serupa juga menghinggapi kalangan pengusaha pariwisata yang tergabung di North Sulawesi Watersport Association (NSWA). Tommy Massei, Ketua NSWA, khawatir tailing alias tahi tambang itu akan merusak pemandangan bawah laut yang indah di Minahasa Utara seperti di Selat Lembeh. Bila itu terjadi, tak akan ada lagi turis menyelam. Bisnis hotel, losmen, juga akan melempem.

Koordinator Jaringan Anti Tambang, Siti Maemunah, meminta pemerintah tak mengizinkan Meares membuang tailing ke laut. ”Cara itu mengancam lingkungan hidup dan keselamatan warga nelayan,” katanya.

Menurut Tarkelin Purba, Manajer Urusan Pemerintahan, Komunitas, dan Manajemen Tanah PT Meares, perusahaannya tetap yakin membuang tailing ke laut adalah cara yang paling aman. Kesimpulan itu muncul setelah melakukan aneka macam kajian. ”Usaha ini tidak akan merugikan sektor pariwisata dan perikanan,” ujarnya.

Dia berargumen, pembuangan tailing di darat justru akan lebih berbahaya ketimbang di laut. Alasan dia, daerah Minahasa adalah daerah yang rawan gempa bumi. Gempa bisa mengakibatkan saluran limbah menjadi bocor.

Kendati sudah menggelar aneka kajian, menurut Tarkelin, perusahaannya tak gegabah bertindak. Tambangnya baru akan beroperasi setelah surat izin yang diajukan 14 Maret lalu disetujui pemerintah daerah. Perusahaan penemu deposit emas di Toka Tindung pada 1998 itu sampai sekarang belum memperoleh izin. Tetapi aktivitas pembebasan lahan dan berbagai persiapan pembangunan konstruksi sudah mulai dilakukan.

Sejauh ini pemerintah belum mengambil sikap tegas soal tambang ini. Menanggapi perseteruan masyarakat dan PT Meares, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar memilih berhati-hati bersikap. ”Kami akan mempelajari kasus ini dengan teliti. Kami akan mencari tahu apakah ada alternatif selain membuang tailing ke laut,” katanya seperti dikutip The Jakarta Post.

Saat ini hanya dua perusahaan yang punya izin membuang tailing ke laut. Dua-duanya adalah milik produsen emas terbesar di dunia, yakni Newmont. Kedua perusahaan itu adalah PT Newmont Minahasa Raya dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Kementerian Lingkungan Hidup sendiri menilai PT Meares harus memperbarui amdal sebelum memulai pekerjaannya. Soalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 27/1999 menyebutkan, setelah lewat tiga tahun tak beroperasi, perusahaan harus mengajukan izin kembali karena selama tiga tahun rona lingkungan sekitar lokasi pertambangan sudah berubah. ”Kalau PT Meares tetap membangun, berarti ada pelanggaran,” kata Deputi Menteri Bidang Tata Lingkungan, Arie Djoekarde.

Soal tudingan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) kedaluwarsa, Terkelin membantah. Meares, kata Tarkelin, telah mengajukan surat izin penempatan tailing ke laut. Mereka juga mengirimkan laporan amdal tiga bulan sekali kepada Dinas Pertambangan Sulawesi Utara. ”Dinas pertambangan menilai amdal tidak perlu direvisi,” ujarnya.

Perbedaan soal analisis dampak lingkungan ini akhirnya membuat Pemerintah Daerah Sulawesi Utara meminta aktivitas pembukaan tambang dihentikan sementara. Apalagi ada penolakan dari warga sekitar lokasi. ”Amdal mereka masih harus dibahas lagi,” kata Wakil Gubernur Sulawesi Utara, Freddy Sualang.

Purwanto, Ahmad Alheid (Minahasa Utara)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus