Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Lintas Internasional

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Serbia Jatah Pensiun

Tersangka penjahat perang Bosnia, Jenderal Ratko Mladic, ternyata masih bisa mencairkan jatah pensiunnya hingga bulan lalu. Fakta ini telah mencoreng wajah pemerintah Serbia dan otoritas pemerintah Serbia di Bosnia. Selama ini mereka berkukuh tidak mengetahui keberadaan arsitek genosida yang menewaskan 8.000 warga sipil di Srebrenica itu.

Tekanan terhadap Serbia untuk menghadirkan Mladic dan Radovan Karadzic, bekas pemimpin Serbia di Bosnia, pun meningkat. Kamis lalu, saluran radio B-92 menemukan jejak Mladic. Kedua penjahat perang itu buron sejak dinyatakan sebagai tersangka pada 1996. Penyidik kejahatan perang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Carla del Ponte mendesak Serbia menyerahkan keduanya pada akhir Desember 2005, namun tak pernah ada tanggapan positif.

Pencairan pensiun dilakukan keluarga sang jenderal dengan bantuan dua perwira militer dan surat pengacara Mladic. ”Surat itu dianggap berlaku, walaupun telah kedaluwarsa,” begitu bunyi siaran B-92. Sejak perang Bosnia berakhir, Mladic berkeliaran di Serbia hingga tahun 2000, saat rezim Slobodan Milosevic jatuh. Milosevic juga sedang diadili untuk perkara serupa.

Kongo Serbu Milisi

Delapan puluh enam anggota milisi tewas dalam pertempuran pasukan Republik Demokratik Kongo melawan milisi Uganda di Provinsi Nord-Kivu Utara yang berbatasan dengan Uganda. Selain melibatkan 3.500 prajurit Kongo, perang empat hari itu didukung 600 pasukan PBB asal India. Penyerbuan dilancarkan setelah patroli PBB dicegat dan diserang. Seorang anggota pasukan PBB dan tiga tentara Kongo tewas dalam insiden tersebut.

Puluhan pemberontak kabur ke hutan, 42 senapan laras panjang, dua senapan mesin, dan senjata antiserangan udara dirampas. Ada 11 ribu orang terpaksa mengungsi dan kelaparan. Tapi PBB belum berbuat banyak. ”Masih terlalu berbahaya mendatangkan bantuan ke wilayah itu,” kata pejabat PBB, Michel Bernardo.

Bertahun-tahun pemerintah Kongo tak mampu mengendalikan keamanan di timur negeri itu. Padahal, kesepakatan damai antara pemerintah dan pemberontak telah ditandatangani pada 2002. Milisi terus meneror warga dan memakai sumber daya tambang dan kayu secara ilegal untuk mendanai operasinya. Tiga juta orang telah tewas dalam konflik ini yang telah berlangsung selama lima tahun.

Israel Serang Lagi

Pesawat tempur, helikopter serbu, dan artileri Israel membombardir sejumlah daerah di sebelah timur dan utara Jalur Gaza, pekan lalu. Serangan udara dengan nama Operasi Langit Biru itu digelar sebagai aksi balasan atas serangan roket yang dilancarkan kelompok militan Palestina yang tak sudi berdamai dengan Israel. ”Kami tak bisa membiarkannya saja,” kata juru bicara militer Israel, Mayor Avital Leibowich.

Heli tempur menembakkan roket ke markas Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Baitlahia, dan menghancurkan kantor serta memutuskan aliran listrik di sebelah selatan Jalur Gaza. Pesawat Israel menyerbu sejumlah daerah, termasuk kompleks Brigade Martir Al-Aqsa di utara Gaza. Beberapa pesawat F-16 bermanuver meneror warga. Selain itu, lebih dari 60 kendaraan menyerbu Nablus, menggeledah rumah-rumah warga, dan menangkap warga sipil.

Serangan ini dilakukan setelah militer Israel menetapkan zona terlarang di utara Gaza. ”Lebarnya 1,5 mil (hampir dua kilometer) dari pojok utara dan timur Jalur Gaza,” kata sumber Israel kepada wartawan kantor berita AP. Lima bulan lalu, Israel mundur dari Jalur Gaza dengan alasan membangun jalan damai. Serangan roket kaum militan Palestina maupun serangan udara Israel diduga akan mengancam perdamaian.

Brasil Sandera Keluarga

Drama penyanderaan unik terjadi di penjara Urso Branco, Brasil, pekan lalu. Ketika Natal berlangsung, ratusan keluarga dan kerabat mengunjungi 1.000 tahanan di penjara yang kapasitasnya hanya 350 orang. Tiba-tiba, semua tahanan mengamuk. Ajaib, tak ada keluarga mereka yang takut atau meninggalkan tempat. Semua bersedia menjadi sandera dengan perhitungan tentara tak akan berani merangsek masuk.

Benar juga. Sekitar 150 tentara bersenjata lengkap yang mengepung penjara di wilayah Rondonia itu akhirnya hanya memantau. Setelah empat hari, tuntutan para tahanan dikabulkan. Simpel saja ternyata. Mereka minta dipecah dalam beberapa penjara yang lebih manusiawi! Akhirnya, para sandera dilepaskan Kamis lalu.

Otak penyanderaan ini diperkirakan Ednildo de Souza, narapidana yang tengah menjalani hukuman 30 tahun dalam kasus perampokan bersenjata dan pembunuhan. Tahun lalu ia telah mengompori pemberontakan di penjara yang sama yang menewaskan 14 tahanan dalam penyergapan polisi.

Amerika Serikat Deportasi Sipir

Di usia senja, John Demjanjuk, 85 tahun, masih bakal menghadapi hari tua yang buruk. Lelaki kelahiran Ukraina ini sedang menunggu hari deportasi setelah profesinya sebagai sipir kamp tahanan Nazi terbongkar di pengadilan Amerika. Demjanjuk terbukti pernah bekerja di kamp Sobibor dan Majdanek (Polandia), serta Flossenburg (Jerman) dengan julukan Ivan the Terrible. Padahal, selama ini ia telah aman tiarap.

Ia masuk Amerika pada 1951 sebagai Ivan Demjanjuk, dan mengaku sebagai tawanan Nazi. Kewarganegaraan Amerika Serikat dia dapat tujuh tahun kemudian. Pada 1983, Israel meminta Amerika mengekstradisinya karena dia diduga sebagai Ivan the Terrible. Ia dideportasi pada 1986, disidang dua tahun dan dihukum gantung. Tapi lima hakim agung yang meneliti kasasinya memvonis dia sebagai tak bersalah. Berdasarkan pengakuan tertulis 32 mantan penjaga dan lima bekas tawanan, nama keluarga ”Ivan” adalah Marchenko, bukan Demjanjuk. Ia pun boleh kembali ke Amerika dan namanya dipulihkan pada 1998.

Ternyata ketenangan hanya tiga tahun dirasakan Demjanjuk. Pada 2001, bukti-bukti lain terkuak. Pada 2004, pengadilan Amerika mencopot lagi kewarganegaraannya. Akhirnya, Rabu lalu, ia diputuskan terbukti bersalah dan harus meninggalkan Amerika. Kali ini ia harus pulang ke Ukraina. Ia masih punya 30 hari untuk memasukkan banding ke dinas imigrasi.

Amerika Serikat Pantau Masjid

Pemerintah Amerika agaknya kian paranoid. Sejak pekan lalu mereka giat memonitor tingkat radiasi 100 masjid yang dicurigai sebagai tempat penyimpanan senjata nuklir teroris. Monitoring dilakukan Biro Investigasi Federal (FBI) dan Tim Pendukung Darurat Departemen Energi Nuklir (NEST) di hampir seluruh ibu kota negara bagian dan lima kota lain, Chicago, Detroit, Las Vegas, New York, dan Seattle.

Menurut bekas konsultan FBI, Paul L. Williams, Al-Qaidah dipercaya telah membeli perangkat nuklir mini dari bekas Uni Soviet dan menyewa ahli Rusia untuk mengoperasikannya. Target serangan nuklir Al-Qaidah kali ini, konon, sembilan kota Amerika yang punya populasi Yahudi terbesar. ”Program ini perlu untuk melawan Al-Qaidah,” kata juru bicara Departemen Kehakiman.

Dalam laporan Buletin G2, sebuah situs online intelijen, konon, Usamah bin Ladin sedang merancang serangan ”Hiroshima Amerika” ke sejumlah kota dengan bom nuklir. Karena itu, pemerintah gencar memonitor masjid. Tapi program ini menimbulkan kemarahan kaum muslimin. ”Tindakan itu betul-betul mengagetkan komunitas muslim,” kata Ibrahim Hooper, juru bicara Dewan Hubungan Islam-Amerika di Washington.

Jajak Pendapat Tarik Segera

Rakyat Jepang kian tak sabar menanti kepulangan 550 pasukan bela diri Jepang dari Irak. Tiga dari empat responden dalam jajak pendapat koran ekonomi Nihon Keizai Shimbun pada 23 dan 24 Desember 2005 ingin agar pasukan Jepang ditarik dalam waktu enam bulan mendatang. Bahkan 28 persen responden menyatakan seharusnya pasukan segera ditarik. Hanya 11 persen yang menyatakan serdadu Jepang harus bertahan sepanjang pasukan Amerika masih bercokol di Irak. Padahal, Pentagon memutuskan baru akan menarik pasukannya jika sudah tak ada lagi ancaman serangan pejuang Irak.

Jepang memperpanjang masa tugas pasukannya di kota selatan Irak, Samawa, hingga Desember 2006. Namun, pemerintah tengah menimbang-nimbang agar pasukan itu dapat ditarik sebelum Perdana Menteri Junichiro Koizumi mundur dari jabatannya pada September 2006. Koizumi mengirim pasukan ke Irak demi menjalin hubungan dengan Presiden AS George W. Bush.

KS/ANB/RFX (WorldNetDaily.com, BBC/AP/AKI)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus