Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beli, Bang! Beli, Bang!” Bocah-bocah sekolah dasar berceloteh sambil merubung pedagang minuman di sebuah sekolah di pinggiran Jalan Sukahati, Cibinong, Bogor, suatu siang. Si empunya dagangan dengan sigap menuangkan sirup ke kantong plastik. Warna sirupnya sungguh menggoda, ada hijau, merah, dan kuning.
Untuk mendapatkannya, setiap anak cuma perlu menyodorkan uang go pek alias lima ratus rupiah. Lalu, glek, glek, glek, seteguk demi seteguk, sirup murah meriah itu membasahi kerongkongan, terasa menyegarkan. ”Rasanya tidak terlalu enak. Enakan sirup di rumah,” kata M. Rahman, 9 tahun, seorang siswa. Toh, segelas sirup hijau cepat habis diminumnya.
Di sekolah-sekolah dasar yang lain, pedagang minuman seperti itu gampang ditemukan. Selain sirup, es cendol warna-warni juga sering dijajakan sebagai penghilang rasa haus.
Yang tak disadari anak-anak, minuman yang menggoda selera itu belum tentu sehat. Hasil penelitian Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) terbaru menunjukkan, sebanyak 60 persen minuman anak-anak sekolah dasar tak memenuhi syarat. Selain mengandung bakteri berbahaya seperti Salmonella, minuman itu juga mengandung pewarna Rhodamine B. Zat ini biasa dipakai untuk pewarna tekstil.
Penelitian dilakukan dengan mengambil 861 contoh minuman di 195 sekolah yang tersebar di 18 provinsi, terutama di Jawa dan Sumatera. Umumnya para pedagang mengaku perlu mewarnai minumannya dengan warna mencolok untuk menarik minat bocah-bocah.
”Penggunaan Rhodamine untuk makanan jelas dilarang,” kata Sampurno, Kepala Badan POM, pekan lalu. Larangan itu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239/1985 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya. Dalam Keputusan Direktur Jenderal POM No. 00386/1990 tentang zat warna berbahaya dalam obat, makanan, dan kosmetik, Rhodamine juga disebut lagi sebagai bahan pengawet terlarang.
Seperti halnya formalin, Rhodamine juga berbahaya bagi kesehatan. Penelitian yang dilakukan Iwan T. Budiyarso dan kawan-kawan (1983) terhadap tikus menunjukkan bahwa Rhodamine B potensial menyebabkan peradangan hati, kanker hati, dan kanker kelenjar getah bening.
Buat melindungi kesehatan anak-anak sekolah, Sampurno berharap pihak sekolah merangkul para pedagang. Tak harus dilarang. Mereka bisa didekati, dibina, dan dikontrol produk jajanannya. Soalnya, ”Tak mungkin POM bisa mengawasi semua,” katanya.
Bukan cuma minuman yang mengandung Rhodamine yang diawasi. Selama ini Badan POM juga rutin menguji makanan yang diduga mengandung boraks yang beredar di masyarakat, yakni senyawa berbentuk kristal, berwarna putih, dan tidak berbau. Jika dilarutkan dalam air, zat ini akan berubah menjadi natrium hidroksida dan asam borat. Biasanya, boraks dipakai untuk pengawet kayu, antiseptik jamur kayu, dan pembasmi kecoa.
Meski sudah dilarang, boraks kerap ditemukan dalam berbagai jenis makanan seperti bakso dan pempek. Selain sebagai pengawet, kata Sampurno, ”Boraks sering dipakai sebagai pengenyal.”
Buku bertajuk Boraks terbitan Badan POM menyebutkan, makanan yang mengandung boraks membahayakan susunan saraf pusat, ginjal, dan hati. Zat yang memiliki sejumlah nama lain seperti sodium borate dan boron sodium oksida. Di pasar, boraks dikenal pula dengan nama bleng. Zat ini sering juga dipakai dalam pembuatan kerupuk.
Orang yang sering mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks akan terganggu kesehatannya. Nafsu makannya akan turun dan pencernaannya terganggu. Kulitnya bisa mengering, bibir pecah-pecah, lidah merah dan terjadi radang pada selaput mata. Sering kali boraks juga menyebabkan penyakit anemia dan luka pada ginjal.
Itu sebabnya, Profesor Ali Khomsan, ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor, meminta pemerintah bersikap tegas kepada siapa pun yang menyalahgunakan boraks. Zat ini sebenarnya dipakai sebagai disinfektan untuk membunuh bakteri dan sering digunakan pula sebagai bahan pembuatan salep. Jika dipakai untuk membuat kenyal makanan tentu membahayakan kesehatan orang yang mengkonsumsinya.
Dwi Wiyana, Deffan Purnama (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo