SEJAK turun dari pesawat KLM yang membawa mereka dari Amsterdam, kelima orang Cina itu sudah berpolah mencurigakan. Sore itu, begitu turun di pelabuhan udara Soekarno-Hatta, mereka celingukan, tak tahu apa yang mesti diperbuat. Kepada Haryanto, petugas Imigrasi, mereka menunjukkan paspor yang ternyata paspor RI. Padahal, kata Haryanto, kulit mereka sangat berbeda dengan kulit Cina di Glodok. Ejaan nama yang tertera dalam paspor pun tak lazim digunakan WNI keturunan Cina di sini. Dalam paspor itu juga tak ada cap segitiga, yang menunjukkan bahwa keberangkatan mereka dulu dari Indonesia. Kecurigaan Haryanto bertambah ketika ternyata bahwa kelima orang Cina itu tak bisa berbahasa Indonesia. Memang, tidak. Sebab, mereka bukan orang Indonesia, tapi warga negara RRC. Sore itu juga, akhir Juni lalu, mereka ditangkap. Mereka itu, menurut Dirjen Imigrasi R. Soegino Soemoprawiro, merupakan bagian dari 22 warga RRC lain yang berpaspor RI, yang sempat "terdampar" di Meksiko. Berdasarkan pemeriksaan terhadap lima orang yang tertangkap di pelud Soekarno-Hatta, diketahui bahwa mereka mendapatkan paspor aspal itu di Bangkok, dengan harga US$ 10 ribu atau lebih dari Rp 10 juta per buah. Menurut Soegino, ke-22 warga RRC itu mula-mula meninggalkan negaranya menuju Hong Kong. Dari situ baru kemudian menuju Bangkok, sebagai turis. Di Bangkok, entah berdasarkan pertimbangan apa, mereka mengusahakan untuk bisa pergi ke Amerika Serikat dengan paspor RI. Mereka berhasil menemui seseorang yang bisa menguruskan paspor tadi, dengan bayaran US$ 10 ribu. Bayaran itu, menurut pengakuan tersangka, yang sekarang terus diperiksa, sudah termasuk ongkos tiket sampai ke AS. Entah apa yang akan mereka cari di sana. Tapi, dari Bangkok, mereka tak langsung menuju ke AS, melainkan lewat Meksiko. Setelah paspor berikut visa untuk ke Meksiko berada di tangan, mereka terbang ke Amsterdam. Satu minggu di sana, barulah mereka menuju Meksiko, pada 25 Juni lalu. Di sana, petugas curiga karena ke-22 orang Cina itu tak mempunyai tiket balik. Pihak KBRI dikontak. Tapi KBRI menolak memberi jaminan karena mereka mencurigai ke-22 orang Cina itu - antara lain karena tak bisa berbahasa Indonesia. Hari itu juga, dengan pesawat KLM, mereka kembali diangkut ke Amsterdam. Dari sana, sesuai dengan peraturan penerbangan yang berlaku, mereka hendak dideportasikan ke tempat mula-mula berangkat dulu, yaitu Bangkok. Tapi, pesawat yang akan mengangkut rupanya tidak muat. Dengan begitu, hanya 17 orang yang bisa naik pesawat KLM menuju Bangkok. Sedangkan yang lima orang dinaikkan ke pesawat KLM yang terbang ke Jakarta - setelah singgah di New Delhi dan Singapura. Kelima orang itulah yang kemudian ditangkap di pelud Soekarno-Hatta. Dari nomor kode di dalam paspor, menurut Soegino, bisa diketahui bahwa paspor mereka berasal dari Imigrasi Tanjungbalai, Asahan, Sumatera Utara. Kebetulan, saat ini kepala Imigrasi Tanjungbalai, Sofyandi, 44, sedang berada di Jakarta, mengikuti penataran. Ia segera diperiksa. Dan benar, pihaknyalah yang mengeluarkan paspor RI yang kini dipegang warga RRC itu. Sofyandi, kata Soegino, mengaku mendapat uang jasa Rp 150 ribu dari sebuah paspor yang dikeluarkannya. Karena itu, pejabat Imigrasi tamatan Akademi Imigrasi tahun pertama (19611964) itu, yang sudah bertugas selama 21 tahun, ditahan Kejaksaan Agung. Sesuai dengan PP Nomor 30, "Ia bisa diberhentikan tidak dengan hormat karena telah melakukan kesalahan berat. Ia telah bekerja serampangan, tanpa memikirkan segala akibatnya," ujar Soegmo mengenai anak buahnya itu. Tanjungbalai memang tergolong daerah rawan karena berseberangan dengan negara lain. Di sana, Sofyandi baru bertugas sekitar satu tahun tiga bulan. Pria kelahiran Pontianak, itu diduga sudah lama dan telah sering berhubungan dengan keturunan Cina yang kemudian memanfaatkan kedudukannya. Antara lain dengan meminta dibuatkan paspor, seperti dilakukan seorang penghubung yang datang dari Bangkok. Menurut istrinya, yang kini berada di Jakarta, sebelum di Tanjungbalai, Sofyandi menjadi kepala Imigrasi di Biak, Irian Jaya, selama kurang lebih empat tahun. Pada akhir 1983, barulah ia dipindahkan ke Tanjungbalai. Tapi, sebelum ke Biak, ayah satu anak itu pernah lama bertugas di Jakarta. Oleh sebab itu, ia memiliki sebuah rumah di Pademangan, Jakarta Utara, yang biasa ditempati bila ia bertugas ke Jakarta. Rumah-rumah di seputarnya kebanyakan dihuni keturunan Cina itu, kata sang istri. "Gara-gara peristiwa ini, anak saya yang sudah masuk SMP di Tanjungbalai mungkin harus keluar," ujar Nyonya Sofyandi. Dirjen Soegino juga sedih karena terpaksa bertindak keras terhadap bawahannya. Yang menjadi tanda tanya: Apa sesungguhnya yang "dicari" ke-22 warga RRC sampai mereka menggunakan paspor RI? Untuk pertanyaan yang ini Soegiono belum berani menjawab. "Menurut pendapat saya, sih, karena paspor kita memang bonafide," katanya sambil tertawa. Surasono Laporan A Luqman, Didi Prambadi (Jakarta) & Bersihar Lubis (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini