Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tentang Samalas dan Hal-hal yang Belum Terungkap

Para ahli meyakini letusan Gunung Samalas lebih dahsyat ketimbang Gunung Tambora. Kerajaan yang terkubur belum ditemukan.

11 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BATU besar seukuran mobil Kijang hingga truk roda enam berserakan di Kokok (Sungai) Putih. Di sela-sela batu mengalir air berwarna putih yang memancarkan bau belerang. Di pinggir sungai selebar 50 meter itu berdiri sembilan rumah tradisional suku Sasak, yang disebut bale belek.

Perkampungan tersebut adalah bagian dari Desa Bilok Petung, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur. Desa yang berada di ketinggian 1.630 meter ini adalah kampung terakhir sebelum menuju puncak kompleks Gunung Rinjani. Ia juga sekaligus menjadi pintu masuk ke Danau Segara Anak.

Saat mendaki hingga ketinggian 3.600 meter, nanti akan ditemui danau kecil yang oleh warga setempat disebut Kolam Pekerman. "Tiap bulan Rajab, warga melakukan pembersihan mandi tobat di kolam ini," kata Mamiq Purnipah, juru kunci Rinjani, kepada Tempo, Senin pekan lalu. Dia mengisahkan, konon, kolam berbatu itu dulu tempat pemandian dan rekreasi raja. Air di kolam itu berbeda warnanya. Di satu sisi sebuah batu terdapat goresan menyerupai huruf Sanskerta. Desa Bilok Petung dan Kolam Pekerman kini merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Rinjani.

Mamiq mendengar kisah turun-temurun bahwa di wilayah itu dulu terdapat Kerajaan Belek, yang kemudian lenyap menjadi Sembalun. Adapun Bilok Petung sempat terkubur abu vulkanik karena letusan dahsyat Gunung Rinjani. "Ada letusan lain yang menyebabkan satu wilayah hilang terkubur dalam tanah dan kini menjadi hutan belantara," ujarnya.

Apakah wilayah yang hilang itu adalah Pamatan dan letusan lain adalah dari Gunung Samalas? Mamiq, 65 tahun, mengaku tidak pernah mendengar kedua nama itu. Yang dia tahu di wilayahnya hanya ada Gunung Rinjani dan Gunung Barujari, anak Rinjani.

Gunung Samalas dan Pamatan mungkin kurang akrab dalam ingatan warga setempat. Namun kalangan ahli gunung berapi sudah lama menaruh perhatian kepada keduanya. Samalas dan Pamatan adalah misteri yang menantang untuk diungkap.

Sebenarnya kedua nama itu sudah tersirat dalam khazanah pengetahuan lokal. Setidaknya Babad Lombok, sajak Jawa Tua yang ditulis di daun lontar, mengisahkan terjadinya letusan dahsyat sebuah gunung pada masa lalu:

"Gunung Rinjani longsor dan Gunung Samalas runtuh. Banjir batu gemuruh, menghancurkan Desa Pamatan. Rumah-rumah roboh dan hanyut terbawa lumpur, terapung-apung di lautan. Penduduknya banyak yang mati. Tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi. Bersembunyi di Jeringo, semua mengungsi sisa kerabat raja. Berkumpul mereka di situ…."

Lama terselip di dalam babad, misteri Gunung Samalas baru-baru ini diungkap dalam sebuah kajian ilmiah. Jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences­ terbitan akhir September lalulah yang menguak rahasia Samalas, dalam artikel berjudul "Source of the Great A.D. 1257 Mystery Eruption Unveiled, Samalas Volcano, Rinjani Volcanic Complex, Indonesia".

Artikel itu merupakan hasil penelitian dari 15 ahli gunung api dunia, termasuk tiga orang Indonesia. Mereka adalah Surono (mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) serta Indyo Pratomo dan Danang Sri Hadmoko (keduanya peneliti di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta). Ketua tim adalah Franck Lavigne dari Departemen Geographie Universitas Paris 1 Pantheon-Sorbonne, Prancis.

Kalau Mamiq Purnipah tidak mengetahui Gunung Samalas bisa dipahami. Sebab, dalam buku teks kegunungapian Indonesia pun tak ada informasi soal gunung itu--apalagi letusannya! Para ahli hanya menyebutkan, dalam 7.000 tahun terakhir, letusan terbesar gunung api di dunia dipegang oleh Gunung Tambora (Indonesia), Krakatau (Indonesia), Pinatubo (Filipina), dan Vesuvius (Italia). Sedangkan Gunung Toba purba meletus sekitar 74 ribu tahun lalu.

Maka temuan Franck Lavigne dan koleganya ini tentu sangat menarik. "Sebab, (akan) mengubah katalog letusan gunung berapi besar di dunia," kata Surono kepada Tempo, pekan lalu. Surono adalah pemegang gelar doktor geofisika dari Universitas Savoei, Chambery, Prancis.

Munculnya ide meneliti Samalas berangkat dari teks-teks Abad Pertengahan di Eropa. Di sana disebutkan adanya zaman es kecil atau pendinginan iklim mendadak, yang menyebabkan gagal panen. Cuaca waktu itu dingin dan hujan turun tanpa henti. Akibatnya, banjir melanda di mana-mana. "Ditemukannya ribuan kerangka manusia di London yang dipastikan berasal dari tahun 1258 mungkin berkaitan erat dengan dampak global dari letusan Gunung Samalas pada 1257," demikian tertera dalam artikel tim Lavigne tersebut.

Letusan Gunung Samalas, yang terjadi pada 1257, dinyatakan lebih besar ketimbang letusan Gunung Tambora pada 1815. Erupsinya hanya kalah dahsyat dibanding letusan Gunung Toba. Ketika Samalas meletus, material yang terlontar dari gunung itu mencapai lebih dari 40 kilometer kubik. Sedangkan Tambora cuma 33 kilometer kubik dan Krakatau (meletus pada 1883) 12,5 kilometer kubik.

Penetapan Samalas sebagai "tersangka utama" letusan tahun 1257 dilakukan setelah melewati proses ala detektif. Tim Lavigne mengaku pada awalnya mereka tak tahu gunung apa yang meletus tahun itu. Tapi mereka mengetahui informasi saat "pembunuhan" (letusan) dan sidik jari dalam bentuk geokimia di inti es. "Ini memungkinkan kami melacak gunung berapi yang bertanggung jawab atas letusan terbesar dalam periode 7.000 tahun terakhir," ucap Lavigne.

Berdasarkan pelacakan pada tiga hal, tim menyimpulkan bahwa yang menyebabkan Eropa mengalami dry fogs pada tahun tersebut adalah Samalas. Sedangkan beberapa gunung berapi lain yang juga mereka teliti lolos dari dakwaan. Gunung-gunung itu adalah El Chicon di Meksiko, Quilota di Ekuador, serta Harrat Rahat dan Hara es Sawad di Arab Saudi, yang mengalami erupsi pada 1256 dan 1270.

Tiga bukti kunci itu: pertama, bukti geologi dalam bentuk penarikan umur radiokarbon. Hal itu dilakukan terhadap sampel sisa tumbuhan yang terendap di dalam endapan piroklastik hasil erupsi gunung ini. Mereka mengambil sampelnya saat melakukan pemetaan penyebaran endapan piroklastik di sekitar daerah kompleks Gunung Rinjani.

Lavigne dan kawan-kawan melakukan penarikan umur dari pemeriksaan terhadap sisa tumbuhan, antara lain podocarphus, engelhardia, dan Casuarina junghuhniana. Ternyata usianya lebih tua dari 1257. Ini mengindikasikan erupsi yang menyeret tetumbuhan tersebut ke dalam aliran material piroklastik terjadi setelah 1257. Ini konsisten dengan praduga erupsi Gunung Samalas pada 1257-1258.

Bukti kedua adalah data arkeologi berupa Babad Lombok. Di sana dikisahkan urutan fenomena letusan yang mengakibatkan musnahnya Kerajaan Pamatan. Diuraikan juga bahwa letusan terjadi sebelum periode Selalarang (sebelum abad ke-13). Ini didukung oleh peta geologi Lombok karya Nasution dan kawan-kawan. Peta itu menunjukkan bahwa erupsi yang membentuk kaldera Segara Anakan terjadi antara 1210 dan 1260.

Bukti terakhir yang paling sahih adalah bukti geokimia. Dalam paparannya, Lavigne­ menyajikan perbandingan antara data geokimia dari pecahan gelas tuff yang terkandung dalam core es dari Kutub Utara dan Selatan dengan beberapa sampel hasil erupsi Gunung Samalas.

Ternyata sampel dari core es dan sampel material piroklastik dari sekitar area Gunung Samalas memiliki range yang sama. Maka bisa dikonfirmasi bahwa sampel pecahan gelas tuff dan sampel material piroklastik Gunung Samalas memiliki kesamaan sumber. "Bukti-bukti itu sangat kuat dan menarik," kata Profesor Clive Oppenheimer dari Cambridge University, salah seorang anggota tim peneliti bersama Lavigne.

Besarnya letusan Samalas dimasukkan ke skala 7 atau setara dengan letusan Gunung Tambora pada 1815. Letusan Gunung Samalas menyebabkan munculnya kaldera seluas 6 x 8,5 kilometer dan kedalaman 800 meter. Penduduk menamai kaldera itu Segara Anak.

Di sisi timur kaldera terdapat Gunung Baru (atau Gunung Barujari), yang memiliki kawah berukuran 170 x 200 meter dengan ketinggian 2.376 meter. Gunung kecil ini terakhir meletus pada 2 Mei 2009. Sebelumnya, letusan terjadi pada 1944, 1966, 1994, dan 2004.

Menurut Lavigne, bagian penting dari Lombok, Bali, dan barat Sumbawa kemungkinan besar ditinggalkan warganya akibat letusan itu. "Ini (yang) mungkin memberi penjelasan mengapa invasi Raja Kertanegara di Jawa ke Bali pada 1284 tidak menemui perlawanan penduduk setempat," ujarnya.

Menurut Surono, hasil penelitian ini menambah "daftar buruk" perilaku gunung api di Indonesia. Dia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika letusan Samalas terulang pada era modern. Menurut Surono, penelitian tentang sejarah letusan Samalas perlu dilakukan untuk mengetahui apa yang mungkin terjadi di masa depan.

Riset lain perlu dilakukan untuk mencari lokasi Pamatan. "Sampai saat ini belum diketahui lokasinya," kata Heryadi Rachmat, Perekayasa Utama Fungsional Museum Geologi Badan Geologi. Franck Lavigne menyebutkan Pamatan mungkin mewakili "Pompeii dari Timur Jauh". Pompeii adalah kota zaman Romawi kuno yang hancur dan terkubur oleh letusan Gunung Vesuvius pada 79 Masehi.

Ketua Yayasan Kebudayaan dan Pengembangan Pariwisata Nusa Tenggara Barat Jalaludin Arzaki yakin Pamatan ada di kaki Rinjani. Pamatan bukanlah bekas Kerajaan Selaparang, yang kini diketahui luasnya sekitar 11 hektare.

Temuan Tim Lavigne itu akhirnya tak bertepuk sebelah tangan. Kepala Balai Arkeologi Wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur Made Geria berencana membuat kajian lanjutan. Dia menjelaskan, pada 1987, ditemukan struktur candi yang terbenam di Pendua Sesait, Kabupaten Lombok Utara. Dia belum tahu apakah candi itu terbenam karena Rinjani atau letusan lain.

Apakah candi itu ada kaitannya dengan Pamatan? Penyibakan misteri Samalas sepertinya memang baru langkah awal. Masih ada hal lain yang perlu diungkap....

Untung Widyanto, Akhyar M. Nur, Supriyanto Khafid (NTB)


Gunung Samalas

Letusan melalui tiga tahap ketika erupsi kedua dan ketiga terjadi antara Mei dan Oktober 1257. Letusan ini melontarkan material 40 kilometer kubik ke udara setinggi 43 kilometer.Peneliti membandingkan jejak belerang di sampel inti es di Artik dan Antartika dengan yang ditemukan di Lombok. Dilakukan carbon dating dan pengumpulan lingkaran pohon dari berbagai lokasi di dunia. Selain itu, catatan sejarah dari berbagai negara yang menyebutkan penurunan suhu bumi setelah letusan tersebut.

Sumber: Jurnal PNAS

Perbandingan Letusan (material yang terlontar)

  1. Vesuvius [Italia]: 79 Masehi 3,25 km3
  2. Pinatubo [Filipina]: 1991 5 km3
  3. Krakatau [Indonesia]: 1883 12,5 km3
  4. Tambora [Indonesia]: 1815 > 33 km3
  5. Samalas [Indonesia}: 1257 > 40 km3

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus