Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Korupsi dan Tragedi, Memang Serius

Teater Koma mementaskan Ibu, yang disadur dari karya Bertolt Brecht. Korupsi, kapan dan di mana, sama saja.

11 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Bersyukurlah kepada Tuhan karena mereka berjiwa korup. Karena korupsi itulah harapan kita. Selama harapan itu ada, maka akan ada keringanan," ujar Ibu Brani kepada Ipit Poter, seorang pelacur. Ibu Brani berharap mata-mata Resimen Matahari Putih yang korup bisa disuap hingga meringankan hukuman anaknya, Fejos. Itulah kenapa dia bersyukur ada orang yang berjiwa korup.

Fejos ditangkap mata-mata Resimen Matahari Putih karena membawa kotak uang untuk gaji tentara lawan: Resimen Matahari Hitam. Mata-mata yang bermata satu itu meminta tebusan 200 perak, melalui Ipit Poter. Ibu mencoba menawar, tapi 20 peluru yang menembus tubuh Fejos lebih dulu mengakhiri harapan Anna Pirling alias Ibu Brani.

Sekelumit adegan ini merupakan bagian dari pentas Teater Koma ke-131, Ibu. Ini merupakan saduran dari naskah dramawan Jerman, Bertolt Brecht, berjudul Mutter Courage und ihre Kinder (dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Mother Cou­-­r­a­ge­­ and Her Children). Teater Koma mementaskan karya yang ditulis Brecht pada 1939 itu di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, pada 1-17 November ini.

Ibu yang berani itu diperankan Sari Ma­djid. Sari, yang dikenal dalam lakon Sampek Engtay, diuji lagi kepiawaian beraktingnya. Bukan hanya kemampuan berakting, melainkan juga stamina yang kuat untuk tampil dalam pergelaran berdurasi 3 jam 20 menit (minus jeda 15 menit) ini. Dari 100 lembar naskah, Sari harus menghafalkan 80 halaman sendiri. "Cukup berat untuk persiapan yang dua-tiga bulan," kata Dede, panggilan akrabnya, seusai pentas.

Bagi Sari, lebih mudah jika keseratus halaman itu dia lahap sendiri. "Kalau monolog, kan, bisa sendiri. Tapi ini harus intens dengan lawan main," ujar Dede. Dalam tiga minggu terakhir, dia dikarantinakan, intensif berlatih. Hampir tiap siang dia juga berlatih menyeret kereta demi mendapat penjiwaan. Dan dari naskah ini, dia bisa berkata, "Korupsi abad ke-17 atau ke-21 ternyata sama."

Namun tantangan terberat justru ada di pundak Nano Riantiarno, pentolan Teater Koma, yang mempersiapkan saduran ini sejak 1987. Nano harus mendekatkan jarak antara naskah asli yang dibuat pada 1939 dan para penonton di Jakarta pada 2013. Brecht membuat naskah ini untuk melawan kekuasaan fasisme Nazi, tepat saat Jerman menduduki Polandia pada 1939. Untuk menyamarkannya, ia mengambil setting abad ke-17.

Mentransfer cerita mungkin tak terlalu jadi masalah, karena kita punya pengalaman yang hampir sama dengan apa yang terjadi di atas panggung. Tapi memunculkan kembali humor di tengah cerita tragedi, itu yang sulit. Itulah kenapa Ibu menjadi salah satu pementasan Koma yang paling miskin tawa penonton.

Apalagi Nano mengajak penonton memikirkan bagian demi bagian dengan lebih dalam. "Orang dipaksa berpikir, pemikiran apa yang ada di belakang cerita tadi," ujar Nano seusai pentas.

Dalam kisah itu, Ibu terpaksa terlibat dalam benang kusut korupsi dan manipulasi yang terjadi saat perang. Korupsi menyusup di semua lini pada abad ke-17, tapi seperti kaca benggala untuk situasi abad ke-21 ini. Ibu Brani berusaha tidak terlibat dalam kebobrokan itu, tapi banyak hal yang membuatnya merasa "terpaksa" melakukannya—termasuk saat ingin menyuap mata-mata agar anaknya dibebaskan. Fejos, yang dimainkan Muhammad Bagya, merupakan anak kedua Ibu Brani. Dia polos, lugu, dan jujur. Sifat inilah yang mengkhawatirkan Ibu. Di tengah masyarakat yang korup, Fejos yang lugu itu seperti anak kambing gemuk di tengah kawanan serigala.

Di antara serigala itu ada Kaplan, pendeta yang tetap minum dan merayu Ibu Brani; Koki, yang mata keranjang dan memanfaatkan perempuan yang didekati­nya; Ipit Poter, pelacur yang memanfaatkan tubuhnya untuk meraup harta dari para komandan; dan Elip Noyoki, anak sulung yang terus memanipulasi kasih sayang Ibu untuk menguras hartanya. Mereka sejatinya rindu perdamaian, tapi keuntungan saat perang lebih menggoda.

Dengan perang, mereka bisa selalu mendapat uang. Mereka sedih jika perdamaian datang. "Justru perang yang tanggung-tanggung begini yang disukai. Selalu saja ada yang menolong, ada saja pihak yang sangat diuntungkan. Presiden dan raja yang menanam saham tidak ingin segera damai," celoteh si Kapten Putih sembari minum bersama Ibu.

Korupsi dan manipulasi sepertinya berkaitan di mana-mana, sulit diurai seperti latar belakang panggung: akar-akar yang berkait dan kusut.

Jangan harapkan klimaks dari pentas ini. Nano mengatakan memakai teori Brecht yang mengalienasi penonton. Setiap kali menuju klimaks, ritme diturunkan lagi. "Memang begitu ciri Brecht," ujarnya. Dia pun sempat nyekar ke makam Brecht, yang meninggal pada 1956, dan berdiskusi dengan dramawan di Jerman pada Mei lalu.

Nano juga memberi sentuhan lokal dengan kostum yang dirancang Samuel Wattimena dan aneka palawija yang menggantung di langit-langit. Ada juga peta Indonesia, upaya yang terlalu verbal untuk menggeret naskah Brecht agar berbau Indonesia.

Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus