LOKASI transmigrasi di Rasau Jaya Kalimantan Selatan, tak banyak
dihuni oleh pendatang dari Jawa. Tanahnya kurang subur, tidak
dapat ditanami padi. Hanya nanas dan jambu mete bisa tumbuh
subur.
Ternyata ada kekeliruan dalam membuka lokasi itu untuk
transmigran. Lapisan atas tanahnya terdiri dari gambut "dengan
ketebalan lebih dari 1 meter," ujar Ir. Kendarsi Ruslan, Kepala
Bidang Aplikasi Teknik pada Pusat Pengembangan Teknologi
Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi di Bandung. Ketika
melihat keadaannya di sana, katanya, dia terkejut. Kenapa? Untuk
lahan pertanian, lapisan gambut sebenarnya tidak boleh lebih
dari 1 meter, supaya akar tanaman dapat menyerap unsur-unsur
hara. Kalau gambut terlalu tebal, ujar Dr. D. Mulyadi dari
Lembaga Penelitian Tanah di Bogor, "kandungan unsur hara
berkurang dan akar tak sampai pada lapisan bawah sehingga tak
dapat menyerap makanan."
Tapi ternyata pula gambut mendapat perhatian kaum ilmuwan. Di
Bandung pekan lalu, misalnya, Departemen Pertambangan dan Energi
menyelenggarakan seminar yang bertujuan menjajaki pemakaian
gambut sebagai alternatif energi. Hadir 57 peserta dari
Indonesia, Belanda, Irlandia, Finlandia, Inggris dan Amerika.
Gambut sebagai sumber energi pengganti di Eropa dan Amerika
sudah dimanfaatkan sejak 1960-an. Menurut Prof. Ir. Abdul Kadir,
Direktur Direktorat Pembinaan Pengusahaan Ketenagaan Departemen
Pertambangan dan Energi, Indonesia selama ini melupakan gambut,
karena perhatian asyik pada minyak bumi.
Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia sebagai penyimpan
gambut setelah Kanada (170 juta hektar), Uni Soviet (150 juta
hektar), Amerika Serikat (40 juta hektar). Menurut data
Finlandia, di Indonesia terdapat lapisan gambut seluas 17 sampai
26 juta hektar. Dengan ketebalan rata-rata di atas 1,3 meter,
gambut terdapat di pantai-pantai Sumatera bagian timur (40%),
Irian Jaya (10%) dan terbanyak di Kalimantan (50%). Umumnya
lapisan gambut berada di daerah pantai dan tepian sungai.
Gambut atau sepuk adalah serat-serat yang berasal dari lumut,
rumput, paku-pakuan, tumbuhan air, ganggang yang mengalami
proses pembusukan dalam jangka waktu lama. Dilihat dari
lingkungannya, gambut terbagi atas 3 jenis:
þ gambut serat (fabric peats) yang terjadi dari bermacam-macam
lumut. Jenis ini mengandung banyak serat dengan daya serap air
yang tinggi, tidak padat, kandungan abu rendah. Panas yang
dihasilkan gambut serat sangat rendah.
þ hemic peats yang terjadi dari berjenis-jenis tumbuhan air
dengan kadar serat rendah, tak banyak mengisap air. Ia dapat
menghasilkan panas cukup tinggi.
þ sapric peats atau gambut busuk yang terjadi dari bahan
tumbuh-tumbuhan yang sudah sedemikian busuk sehingga secara ilmu
tumbuh-tumbuhan tak dapat dikenali lagi. Paling tinggi panas
yang dapat dihasilkannya.
Dengan luas 17 sampai 26 juta hektar dan ketebalannya di atas
1,3 meter, potensi gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 520
milyar m3.
Tak diragukan lagi, Indonesia kaya akan gambut, tetapi sayang
"kita belum memanfaatkannya," ujar Ir Kendarsi. Sementara
Irlandia yang menempati urutan ke-13 dari 15 negara penghasil
gambut sudah memanfaatkannya untuk pembangkit tenaga listrik.
Departemen Pertambangan dan Energi mencoba menggali gambut
sebagai bahan bakar yang punya nilai komersial di Indonesia.
Produksi gambut menurut makalah Dr. F. Tambunan bergantung pada
metoda produksi dan jenis penggunaan. Tambunan membagi 4 jenis
produksi: gambut potongan tangan yang biasanya berbentuk kubus
ukuran 10 atau 20 x 20 x 30 cm. Gambut potongan mesin berbentuk
silinder atau kubus bergaris tengah 5 sampai 10 cm, panjang 10
sampai 30 cm. Gambut butiran dengan besar partikel antara 3
sampai 8 mm. Briket gambut yang umumnya dibuat dari butirannya
yang dikeringkan, mencapai kelembaban 10 sampai 20% dan dicetak
dalam bentuk seperti bata.
Tentu saja harus dibangun pabrik pengolahan di daerah-daerah
penghasil gambut. Di mana dan kapan? Semua itu belum jelas.
Tapi, "sebaiknya gambut diolah dengan cara yang paling
sederhana, sehingga dapat menjadi industri rumah," ujar
Kendarsi, sekretaris seminar. Setidaknya "gambut harus bisa
menggantikan kayu sebagai bahan bakar tradisional," supaya
membantu melestarikan hutan.
Untuk melihat kemungkinannya sebagai pembangkit listrik, sejak
pekan lalu mereka dari Proyek Persiapan Persawahan Pasang Surut
(P4S) mengadakan penelitian di pantai timur Sumatera Selatan.
Kalau di sana terdapat gambut dengan ketebalan di atas 1,3
meter,"kami akan mencoba mendirikan pilot project perlistrikan
dengan bahan bakar gambut, " ujar Endro Utomo Notodisuryo dari
Direktorat Pengembangan Ketenagaan Seksi Ketenagaan
Konvensional, Departemen Pertambangan dan Energi.
Kemudian, tentu saja, lahan penambangan gambut lambat laun akan
dapat dijadikan lahan pertanian yang subur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini