Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ternyata kaya akan gambut

Ada gagasan memanfaatkan gambut sebagai sumber energi pengganti, lapisan gambut banyak dijumpai di sumatera, irian jaya dan kalimantan. (ling)

10 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOKASI transmigrasi di Rasau Jaya Kalimantan Selatan, tak banyak dihuni oleh pendatang dari Jawa. Tanahnya kurang subur, tidak dapat ditanami padi. Hanya nanas dan jambu mete bisa tumbuh subur. Ternyata ada kekeliruan dalam membuka lokasi itu untuk transmigran. Lapisan atas tanahnya terdiri dari gambut "dengan ketebalan lebih dari 1 meter," ujar Ir. Kendarsi Ruslan, Kepala Bidang Aplikasi Teknik pada Pusat Pengembangan Teknologi Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi di Bandung. Ketika melihat keadaannya di sana, katanya, dia terkejut. Kenapa? Untuk lahan pertanian, lapisan gambut sebenarnya tidak boleh lebih dari 1 meter, supaya akar tanaman dapat menyerap unsur-unsur hara. Kalau gambut terlalu tebal, ujar Dr. D. Mulyadi dari Lembaga Penelitian Tanah di Bogor, "kandungan unsur hara berkurang dan akar tak sampai pada lapisan bawah sehingga tak dapat menyerap makanan." Tapi ternyata pula gambut mendapat perhatian kaum ilmuwan. Di Bandung pekan lalu, misalnya, Departemen Pertambangan dan Energi menyelenggarakan seminar yang bertujuan menjajaki pemakaian gambut sebagai alternatif energi. Hadir 57 peserta dari Indonesia, Belanda, Irlandia, Finlandia, Inggris dan Amerika. Gambut sebagai sumber energi pengganti di Eropa dan Amerika sudah dimanfaatkan sejak 1960-an. Menurut Prof. Ir. Abdul Kadir, Direktur Direktorat Pembinaan Pengusahaan Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Energi, Indonesia selama ini melupakan gambut, karena perhatian asyik pada minyak bumi. Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia sebagai penyimpan gambut setelah Kanada (170 juta hektar), Uni Soviet (150 juta hektar), Amerika Serikat (40 juta hektar). Menurut data Finlandia, di Indonesia terdapat lapisan gambut seluas 17 sampai 26 juta hektar. Dengan ketebalan rata-rata di atas 1,3 meter, gambut terdapat di pantai-pantai Sumatera bagian timur (40%), Irian Jaya (10%) dan terbanyak di Kalimantan (50%). Umumnya lapisan gambut berada di daerah pantai dan tepian sungai. Gambut atau sepuk adalah serat-serat yang berasal dari lumut, rumput, paku-pakuan, tumbuhan air, ganggang yang mengalami proses pembusukan dalam jangka waktu lama. Dilihat dari lingkungannya, gambut terbagi atas 3 jenis: þ gambut serat (fabric peats) yang terjadi dari bermacam-macam lumut. Jenis ini mengandung banyak serat dengan daya serap air yang tinggi, tidak padat, kandungan abu rendah. Panas yang dihasilkan gambut serat sangat rendah. þ hemic peats yang terjadi dari berjenis-jenis tumbuhan air dengan kadar serat rendah, tak banyak mengisap air. Ia dapat menghasilkan panas cukup tinggi. þ sapric peats atau gambut busuk yang terjadi dari bahan tumbuh-tumbuhan yang sudah sedemikian busuk sehingga secara ilmu tumbuh-tumbuhan tak dapat dikenali lagi. Paling tinggi panas yang dapat dihasilkannya. Dengan luas 17 sampai 26 juta hektar dan ketebalannya di atas 1,3 meter, potensi gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 520 milyar m3. Tak diragukan lagi, Indonesia kaya akan gambut, tetapi sayang "kita belum memanfaatkannya," ujar Ir Kendarsi. Sementara Irlandia yang menempati urutan ke-13 dari 15 negara penghasil gambut sudah memanfaatkannya untuk pembangkit tenaga listrik. Departemen Pertambangan dan Energi mencoba menggali gambut sebagai bahan bakar yang punya nilai komersial di Indonesia. Produksi gambut menurut makalah Dr. F. Tambunan bergantung pada metoda produksi dan jenis penggunaan. Tambunan membagi 4 jenis produksi: gambut potongan tangan yang biasanya berbentuk kubus ukuran 10 atau 20 x 20 x 30 cm. Gambut potongan mesin berbentuk silinder atau kubus bergaris tengah 5 sampai 10 cm, panjang 10 sampai 30 cm. Gambut butiran dengan besar partikel antara 3 sampai 8 mm. Briket gambut yang umumnya dibuat dari butirannya yang dikeringkan, mencapai kelembaban 10 sampai 20% dan dicetak dalam bentuk seperti bata. Tentu saja harus dibangun pabrik pengolahan di daerah-daerah penghasil gambut. Di mana dan kapan? Semua itu belum jelas. Tapi, "sebaiknya gambut diolah dengan cara yang paling sederhana, sehingga dapat menjadi industri rumah," ujar Kendarsi, sekretaris seminar. Setidaknya "gambut harus bisa menggantikan kayu sebagai bahan bakar tradisional," supaya membantu melestarikan hutan. Untuk melihat kemungkinannya sebagai pembangkit listrik, sejak pekan lalu mereka dari Proyek Persiapan Persawahan Pasang Surut (P4S) mengadakan penelitian di pantai timur Sumatera Selatan. Kalau di sana terdapat gambut dengan ketebalan di atas 1,3 meter,"kami akan mencoba mendirikan pilot project perlistrikan dengan bahan bakar gambut, " ujar Endro Utomo Notodisuryo dari Direktorat Pengembangan Ketenagaan Seksi Ketenagaan Konvensional, Departemen Pertambangan dan Energi. Kemudian, tentu saja, lahan penambangan gambut lambat laun akan dapat dijadikan lahan pertanian yang subur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus