JANGAN sembarang membuang kertas. Sebab potongan-potongannya
dapat menjelmakan kerbau, gajah, burung parkit, bunga, atau
sepatu. Syaratnya, "Bila anda mempelajari origami," -- atau seni
melipat kertas, kata Yasuhiro Sano, 54 tahun.
Ia, yang memberi peringatan itu, berada di Jakarta dan Medan, 29
Juni hingga 7 Juli, adalah Direktur Kepala Asosiasi Origami di
Jepang. Bersama seorang pembantunya, Nona Takao, mereka membuka
pameran karya origami. Juga mendemonstrasikan beberapa cara
melipat kertas di Pusat Kebudayaan Jepang, Proyek Perintis
Sekolah Pembangunan IKIP Jakarta, SLB Santi Rama, dan Taman
Kebudayaan Medan.
Seni melipat kertas yang sesungguhnya sudah dikenal di
Indonesia, ternyata mempunyai riwayat dan liku-liku yang tidak
sederhana. Pada pertengahan abad ke-6, ketika seorang pendeta
Budha menyebarkan cara pembuatan kertas dari Cina ke Jepang
lewat Korea, kala itulah diduga mulai muncul origami. Tentu saja
waktu itu kertas masih jarang dibuat dan harganya mahal. Maka
origami hanyalah dibuat untuk keperluan-keperluan besar,
misalnya pada upacara keagamaan Sinto.
Tatkala pabrik-pabrik kertas mulai bermunculan, origami pun
mulai memasyarakat. Tapi tetap berfungsi sebagai bagian dari
upacara keagamaan. Yang sampai kini masih dipercaya sejumlah
orang Jepang, ialah memasang origami burung bangau di atas pintu
rumah. Katanya, ini akan membawa banyak rezeki dan panjang umur
bagi penghuni rumah itu.
Juga bila seorang perempuan hendak melahirkan, di dalam kamarnya
ditaruh origami burung bangau, dengan maksud agar ibu dan anak
selamat. Ini barangkali yang menyebabkan origami jenis burung
berkaki dan berparuh panjang ini ada banyak variasinya.
Buku tentang origami yang pertama kali terbit, pada 1797,
berjudul Senbazuru Origata, atau cara melipat kertas juga
membentuk seribu bangau. Dan konon, origami bangau dijadikan
patokan sebagai origami yang lipatannya khas Jepang. Selain
Jepang, Spanyol, Jerman, Korea dan beberapa negara lain telah
pula mengembangkan seni melipat kertas.
Dengan berkembangnya industri pembuatan kertas, origami
berkembang tak hanya digunakan dalam upacara sakral. Muncul satu
cabang origami yang disebut yugi origami, origami untuk hiburan.
Mulai saat itulah ibu-ibu di rumah dalam waktu senggangnya
mengajar anak-anaknya melipat-lipat kertas membentuk anjing,
burung atau bunga atau lainnya. Bahkan setelah kertas dijadikan
pembungkus, cara melipat dalam origami mempengaruhi cara orang
Jepang dalam membungkus.
Sejak itu muncullah seniman-seniman origami yang menciptakan
bentuk-bentuk baru. Maka origami Jepang pun terkenal di seluruh
dunia, mengalahkan seni melipat kertas di negara-negara lain.
Untuk memelihara ketrampilan ini, pemerintah Jepang menjadikan
origami pelajaran wajib di TK sampai kelas III SD. Meskipun
sesungguhnya, orang pertama yang memasukkan seni melipat kertas
ke sekolah, adalah orang Jerman, Friedrich Froebel, ketika ia
mendirikan TK pertama di abad ke-19.
Di Jepang untuk diakui sebagai seniman origami tidak gampang.
Syarat pertama, harus sudah menerbitkan buku berisi minimal 70
disain origami baru. Sesudah itu, masih pula ia diuji oleh
Asosiasi Origami tentang keaslian ciptaannya, proses penemuannya
dan sebagainya. Menurut Yasuhiro telah banyak yang dinyatakan
ahli origami, "tapi yang hidup dari membuat origami seperti
saya hanya ada 10 orang."
Ada tiga kriteria pokok untuk karya origami yang baik. Ialah,
lipatan kertas tidak ruwet. Bentuknya mirip dengan obyek yang
ditiru, mudah dikenali. Dan, hanya dibuat dari selembar kertas
tanpa digunting, atau dijepit, atau dilem.
Sebuah karya origami yang lahir dari ahlinya, harganya pun tidak
murah. Sekitar 100 ribu Yen (sekitar Rp 300 ribu), kata
Yasuhiro.
Di Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta, karya-karya Yasuhiro
dipamerkan, diletakkan pada sebuah meja sepanjang kira-kira 5 m.
Semuanya kecil-kecil, setinggi sekitar 15 cm. Keistimewaan
Yasuhiro, menurut pengakuannya sendiri, ia telah menciptakan
berbagai origami anjing. Dia pun dikenal pernah menciptakan
karya origami besar dari kertas selebar 5,25 m.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini