Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Walhi: Banjir Jabodetabek Merupakan Bencana Ekologis Akibat Akumulasi Krisis

Walhi menyebutkan faktor utama yang memperparah bencana banjir ini adalah eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali.

8 Maret 2025 | 08.47 WIB

Banjir merendam perumahan Pondok Gede Permai, Jatirasa, Bekasi, Jawa Barat, 4 Maret 2025. Antara/Fakhri Hermansyah
Perbesar
Banjir merendam perumahan Pondok Gede Permai, Jatirasa, Bekasi, Jawa Barat, 4 Maret 2025. Antara/Fakhri Hermansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengatakan banjir yang terjadi sejak awal Maret 2025 di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) merupakan bencana ekologis akibat akumulasi krisis ekologis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Krisis itu disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengelolaan sumber daya alam yang telah mengakibatkan hancurnya lingkungan, baik permukiman maupun ekosistem yang ada," ujar Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi Eksekutif Nasional Dwi Sawung melalui keterangan tertulis, Sabtu, 8 Maret 2025. .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Faktor utama yang memperparah bencana ini adalah eksploitasi lingkungan yang tidak terkendali. Hutan di kawasan Puncak, Bogor, dan sekitarnya, yang seharusnya menjadi daerah resapan air, telah banyak berubah menjadi permukiman, vila, serta destinasi wisata.

Dalam lima tahun terakhir, Walhi Jawa Barat mencatat tingkat kerusakan lingkungan di kawasan ini meningkat dari 45 persen menjadi 65 persen. Alih fungsi lahan ini sering kali terjadi mengesampingkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta tanpa memperhatikan analisis dampak lingkungan (Amdal) di kawasan rawan bencana.

Walhi Jawa Barat menyoroti bahwa banyak izin usaha properti dan wisata dikeluarkan tanpa pengawasan ketat. Selain itu, aktivitas pertambangan pasir dan batu ilegal semakin memperburuk kondisi tanah, membuatnya lebih rentan terhadap erosi dan longsor.

Kawasan Bogor (Puncak, Jonggol, Cikeas, Sentul, dan Hambalang)  yang seharusnya menjadi daerah resapan air telah beralih fungsi, yang membuat limpahan air banjir terus mengalir hingga membuat daerah Bekasi sampai Jakarta pun terdampak banjir. 

Hal itu terjadi semata-mata akibat kerusakan ekologis yang terjadi di kawasan Bogor. Walhi menyebutkan hal itu terjadi karena masifnya pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang. 

Dari citra satelit berkala, yang dapat diakses publik secara luas, terlihat perubahan tutupan lahan di bagian selatan Jabodetabek yang mengakibatkan banjir kali ini menenggelamkan bagian selatan Jabodetabek, padahal curah hujan harian tahun 2025 kali ini belum sebesar curah hujan harian banjir besar tahun 2020.

Dari citra satelit juga terlihat ada pertambangan karst/batuan yang cukup luas di Kabupaten Bogor yang aliran sungainya mengarah ke DAS Kali Bekasi. Bukaan lahan dari pertambangan ini sangat jelas terlihat dalam citra satelit berkala.

Dwi mengatakan banjir besar yang terjadi di Jabodetabek bukan hanya karena krisis iklim yang terjadi, tetapi oleh karena perubahan tata ruang baik di hulu maupun di hilir daerah aliran sungai (DAS) oleh kepentingan-kepentingan komersial jangka pendek tanpa memperimbangkan keselamatan dan lingkungan dalam jangka panjang.

"Alih fungsi ruang tersebut harus segera dihentikan bahkan harus dikembalikan ke kondisi semula apabila kita tidak ingin mendapatkan bencana yang sama bahkan lebih parah di masa depan," ujarnya.

Sementara Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Wahyudin Iwang mengatakan dua tahun yang lalu pihaknya telah menyampaikan sikap kritis kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi agar segera menertibkan bangunan liar, serta segera berhenti mengeluarkan izin-izin tambang dan properti.

"Perlu kami ingatkan kembali, bahwa banjir bandang dan banjir yang mengepung DKI adalah kesalahan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari ketidakpatuhan dan ketidaktaatan mereka menjalankan kebijakan Tata Ruang Wilayah (RTRW)," ujarnya.

Dia menambahkan bahwa kawasan Puncak hingga kawasan Gunung Mas adalah salah satu kawasan resapan air dan kawasan yang perlu perlindungan yang baik, namun faktanya izin-izin tambang, pembangunan vila, hotel dan juga pengembangan wisata semakin tidak dapat terhindarkan hingga saat ini, di mana prakteknya masih banyak ditemukan untuk kepentingan-kepentingan kegiatan tambang serta pengembangan bisnis properti.

"Bahkan lebih jauh kami ingin mendesak pemerintah membuat tim investigasi untuk pelaku-pelaku perusahaan yang tidak taat dan patuh menjalankan kebijakan yang ada, sehingga keadilan dapat diwujudkan dengan cara salah satunya penjarakan pelaku yang merusak alam," kata dia menambahkan.

Menurut Wahyudin, dalam data citra Landsat 8 yang dianalisis perbandingan tahun 2020 dengan tahun 2025 terlihat jelas bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir pembangunan wilayah hulu (Bogor) yang masif dan amburadul. "Sehingga dapat disimpulkan kejadian banjir di Bekasi dan sekitarnya merupakan dampak dari pembangunan yang masif/pembukaan lahan di wilayah resapan oleh berbagai industri skala menengah dan industri skala besar," kata dia.

Dalam analisis Peta Perubahan Tutupan Lahan di Kabupaten Bogor sebagai wilayah resapan/hulu dari tahun 2020-2024, menurut dia, terlihat berbagai jenis tambang di wilayah hulu. Wahyudin mengatakan peta citra sentimental ini menunjukkan keberadaan berbagai tambang yang ada di wilayah Bogor sudah beraktivitas pada 2020-2024. "Walaupun perubahan areal pertambangan tidak signifikan terjadi dalam lima tahun terakhir, tetapi kegiatan pertambangan yang dilakukan berdampak besar pada banjir yang terjadi di wilayah hilir," kata dia.

 

Irsyan Hasyim

Menulis isu olahraga, lingkungan, perkotaan, dan hukum. Kini pengurus di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, organisasi jurnalis Indonesia yang fokus memperjuangkan kebebasan pers.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus