Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE), yang baru disahkan, rawan memicu konflik mengenai pengelolaan kawasan. Dalam catatan Walhi, ada sekitar 6.747 desa yang dihuni 16,3 juta warga Indonesia dalam area konservasi. Saat ini luas lahan konservasi berkisar 27,4 juta hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manager Kajian Hukum dan Kebijakan Walhi, Satrio Manggala, menyebut penetapan kawasan konservasi yang sentralistik bisa memicu kriminalisasi terhadap masyarakat lokal maupun masyarakat hukum adat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dari segi substansi, RUU KSDAHE juga menggunakan pendekatan represif untuk memastikan kegiatan konservasi berjalan. Hal ini terlihat dari bentuk-bentuk sanksi dan pemidanaan yang lebih berorientasi pada pidana penjara,” kata Satrio kepada Tempo, Rabu, 10 Juli 2024.
Menurut dia, sanksi pidana itu juga tidak ditujukan untuk korporasi, melainkan individu, sehingga membuka lebih banyak potensi kriminalisasi. Padahal, Satrio meneruskan, pidana konservasi memiliki motif ekonomi, maka seharusnya lebih menekankan sanksi berupa denda dan perampasan aset.
Satrio juga menilai bahwa isu konservasi belum menjadi prioritas pengambil kebijakan. “Padahal ini isu penting untuk menjawab tantangan perubahan iklim dan krisis ekosistem,” tuturnya.
Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan UU Konservasi yang baru itu dalam Rapat Paripurna ke-21 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2024. Sebelum pengesahan, rancangan beleid itu menuai penolakan dari banyak organisasi lingkungan, termasuk Walhi.
Sebelum pengesahan, Wakil Ketua Komisi Lingkungan atau Komisi IV, Budisatrio Djiwandono, selaku Ketua Panitia Kerja membacakan laporan forumnya atas RUU KSDAHE. Materi perubahan pengaturan dalam RUU yang telah disepakati, antara lain penambahan satu bab, VIIIA, tentang pendanaan; perubahan terhadap satu bab, IX, tentang peran serta masyarakat; menghapus satu bab, X, tentang penyerahan urusan dan tugas pembantuan; serta penambahan delapan pasal baru serta perubahan terhadap 17 pasal.
“Pemerintah harus segera melakukan sosialisasi agar semua elemen bangsa memahami atau mengetahui isi dari UU ini. Selain itu, Komisi IV DPR RI meminta agar peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam undang-undang ini dapat segera diterbitkan,” ujar politikus Fraksi Partai Gerindra tersebut.