Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya Joko Widodo mendunia. Organisasi jaringan wartawan investigasi global, Organized Crime dan Corruption Reporting Project (OCCRP), yang berpusat di Amsterdam, Belanda, menobatkannya sebagai satu dari empat presiden korup 2024. Publikasi OCCRP segera membakar Indonesia. Silang pendapat di media sosial meruyak hingga coretan dinding “adili Jokowi” menyebar di tembok-tembok Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pendukung Jokowi bahkan menyebarkan kabar bohong dengan menyebut OCCRP telah mencabut nama Jokowi dari daftar tokoh korup. Banyak yang terpengaruh oleh konten ini. Padahal OCCRP tak mengutak-atik pengumuman itu, bahkan memberikan penjelasan tambahan alasan para juri memasukkan nama Jokowi ke daftar tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akun media sosial dan alamat e-mail OCCRP juga tak lepas dari serbuan pendukung Jokowi. Bahkan ada yang mengirim ancaman hendak meledakkan bom ke kantor OCCRP. Namun yang mendukung pengumuman OCCRP juga tak kalah banyak. Mereka menyatakan bahwa publikasi OCCRP merupakan fakta pahit selama Jokowi menjadi Presiden Indonesia ke-7 pada 2014-2024.
Dengan silang pendapat itu, ilustrator Kendra Paramita mengirim tiga rancangan gambar sampul: Jokowi dengan lampu sorot di panggung dikelilingi beberapa tikus, Jokowi membaca publikasi OCCRP, dan Jokowi yang cemberut karena sejumlah orang memanggul singgasana tikus. Para redaktur pelaksana tertegun pada pilihan itu. Tikus adalah hewan yang acap jadi simbol korupsi karena keculasannya mengambil makanan yang bukan miliknya.
Rancangan sampul Tempo edisi "Akhirnya Mendunia".
Tikus sebagai simbol korupsi ada sejak 1970. Sampul Tempo juga banyak yang membuat simbolisasi ini. Karena itu, usul gambar tikus tak menarik minat dewan redaksi. Sebab, klise adalah musuh kreativitas. Redaktur Eksekutif Anton Septian memilih gambar Jokowi sedang cemberut membaca publikasi OCCRP. Namun gambar ini pun terlalu biasa.
Anton, yang sedang menjadi acting Redaktur Pelaksana Desk Politik, lalu mengusulkan agar buku yang dibaca Jokowi itu sedang terbakar. Saya menyetujui ide ini karena menggambarkan panasnya suhu politik akibat publikasi itu.
Meski Presiden Prabowo Subianto tak berkomentar dan partai-partai politik pendukung Jokowi tak memberikan respons, terasa suasana ketegangan setelah publikasi OCCRP itu muncul. Apalagi PDI Perjuangan yang sedang berkonflik dengan Jokowi menggorengnya. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Sekretaris Jenderal PDIP sebagai tersangka korupsi, mereka girang karena hal ini seperti menjadi balasan buat Jokowi.
Buku yang terbakar sebenarnya sudah banyak jadi simbol dan gambar sampul. Saya mengirimkan foto novel Kara Swisher, Burn Book: A Tech Love Story, sebagai contoh. Dulu, salah satu sampul novel J.D. Salinger, The Catcher in the Rye, juga memakai gambar buku terbakar. Atau satu versi Anak Bajang Menggiring Angin Romo Sindhunata juga memakai simbol api.
Pada 16 Maret 2009, Tempo juga membuat sampul “Sebuah Buku yang Membakar” ketika Sintong Panjaitan meluncurkan otobiografi. Sampul itu menggambarkan Prabowo yang sedang membaca buku Sintong. Cerita dalam buku Sintong memberikan cetak tebal pada pengerahan tentara di bawah Prabowo di sekitar 1998 yang ramai disebut “usaha kudeta Prabowo terhadap Presiden Habibie”.
Pada akhirnya, kami sepakat bukan hanya buku yang terbakar, melainkan juga Jokowi. Selamat membaca.