Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANUGERAH benar-benar runtuh ke pangkuan Oh Su-hyun. Di usianya yang baru selusin, perempuan asal Korea ini mendapat kesempatan bertarung dengan Karrie Webb, pegolf tuan rumah, dalam kejuaraan Australia Open, pertengahan Februari lalu. ”Saya benar-benar gugup,” katanya mengenai pertandingan itu.
Wajar saja dia nervous. Lawannya, Webb, bukan hanya juara bertahan tapi dia sudah sangat berpengalaman. Gelarnya pun bertumpuk. Dia termasuk golongan pegolf wanita kelas dunia. Sedangkan Oh? Sorry. Dia cuma anak baru gede.
Oh bisa tampil di kejuaraan itu setelah lolos dari babak kualifikasi. Jadi, apa pun hasilnya, masuk ke turnamen dan bertanding dengan pegolf hebat sudah menjadi prestasi tersendiri. Namun Metropolitan Golf Club di Melbourne, tempat pertandingan ini digelar, hampir saja berpihak padanya. Karena, di luar dugaan, remaja tanggung ini memberikan perlawanan luar biasa. Meski akhirnya dia harus mengakui keandalan Webb yang jauh lebih senior. ”Pertandingan yang menyenangkan. Tapi sayang rasanya permainan saya kurang bagus,” katanya merendah.
Bermain bagus atau jelek adalah soal lain. Yang jelas, selain mendapat pengalaman luar biasa, Oh juga telah mencatat sejarah baru sebagai pegolf muda yang bisa bertarung di sebuah turnamen besar seperti Australia Terbuka. Turun bersamanya di turnamen ini adalah Chi Young-min, pegolf yang juga berasal dari Korea. Usianya baru 13 tahun.
Bukan yang termuda, memang. Namun, dalam usianya yang baru akil balik, mereka masuk ke deretan pegolf ajaib. Dia bergabung dengan Michele Wie, yang mengayun stik golf di usia 10 tahun di turnamen US Amateur Public Links Championship pada 2000, dan Ariya Jutanukarn, di turnamen Asosiasi Pegolf Perempuan Profesional (LPGA Tour) saat dia berusia 11 tahun.
Pegolf wanita dari Korea Selatan memang sedang berjaya. Selain dua remaja tanggung itu, di turnamen di Negeri Kanguru ini, mereka juga menempatkan pegolfnya di jajaran elite turnamen tersebut. Chang-hee Lee, 20 tahun, mampu berbicara banyak. Bahkan dia berhasil berada di posisi tiga besar mengangkangi Webb, yang harus puas berada di posisi keenam. ”Saya bermain dengan baik, tetapi saya tidak menyangka bisa mencapai hasil seperti ini.”
Perempuan-perempuan bermata tipis ini juga nongkrong manis di LPGA. Lihat saja, dari 10 pegolf terbaik hingga akhir Februari, mereka berhasil memasukkan dua nama, yakni Shin dan Hwa Lee. Di bagian rookie alias pendatang baru, setidaknya bercokol enam nama.
Di antara hamburan pegolf itu, Jiyai Shin, 20 tahun, terbilang istimewa. Menjadi pemain profesional sejak 2005, dia termasuk yang banyak meraih gelar juara. Tahun lalu, misalnya. Dia menang dalam British Open, Mizuno Classic, dan ADT Championship. Di dalam negeri, dia juga jagoan. Tujuh gelar lokal yang diraihnya adalah modalnya. Tak pelak, Jiyai disebut pegolf Korea yang paling bersinar.
Ini adalah lanjutan dari prestasi yang pernah mereka buat tahun sebelumnya. Tahun lalu, dari daftar pegolf perempuan profesional: 121 pegolf berasal dari luar Amerika. Hebatnya, lebih dari sepertiganya, alias 45 orang di antaranya, berasal dari Korea. Ibaratnya, saat ini musimnya Mugunghwa—nama bunga nasional Korea.
Kehebatan seperti ini tentu saja tidak datang ujug-ujug. Mereka menempuh perjalanan panjang. Tonggaknya tak bisa dilepaskan dari pesta olahraga dunia, Olimpiade 1988, yang diselenggarakan di Seoul. Nah, mampirnya para pegolf dunia dari luar Korea—sambil menenggak sari ginseng di sana—membuat olahraga ini lebih cepat dikenal. Ternyata tak butuh waktu lama. Sepuluh tahun kemudian, negeri ini punya pahlawan baru di lapangan golf: Se Ri Pak, yang merebut gelar di turnamen Amerika Terbuka pada 1998.
Prestasi ini keruan saja meroketkan Korea Selatan di kancah golf dunia. Di negeri sendiri, Ri Pak menjadi bintang. Kekayaan yang dia dapatkan dari mengayun stik membuat orang tua di sana meneteskan air liur. Coba lihat uang yang diperoleh Seon Hwa Lee. Pegolf berusia 23 tahun ini bisa mendapat penghasilan US$ 1,1 juta atau sekitar Rp 13 miliar tahun lalu. Para orang tua di sana seperti menemukan jalan terang yang membuat anak mereka berprestasi, membanggakan, sekaligus kaya.
”Ketika menentukan cita-cita, mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan. Tidak boleh lagi setengah-setengah,” kata Tom Creavy, salah satu pelatih yang pernah menangani Se Ri Pak. Termasuk salah satunya adalah dengan meninggalkan bangku sekolah.
Seperti ditulis di sebuah situs golf, WorldGolf.com ketika fenomena pegolf perempuan Korea mulai merajai dunia, pada 2007. Disebutkan, cara mendidik orang tua Korea sangat keras, termasuk ketika ”memaksakan” apa yang terbaik bagi anak mereka. Model mendidik seperti inilah yang berperan menyemaikan jamur bibit-bibit muda pegolf andal perempuan di sana.
Gary Gilchrist, pria yang pernah mengasuh sebuah akademi golf di Carolina Selatan, sering mendapatkan anak didik dari Korea. ”Anda bisa saja menemukan banyak gadis berlaga di LPGA yang tidak menyelesaikan sekolah menengahnya,” ujar Gilchrist.
Faktor pendukung lainnya adalah soal sponsor. Sampai sebelum krisis finansial menggempur dunia, perusahaan di sana sangat mudah dimintai dana sponsor. Inilah yang membedakan dengan perusahaan lainnya. Di Amerika Serikat, hanya pegolf yang sudah punya nama yang bisa mendapat sponsor.
Pokoknya, asal kelihatan punya bakat, selanjutnya gampang saja. ”Kami mendukung pegolf wanita Korea karena mereka memiliki kesempatan menjadi pegolf besar seperti Se Ri Pak,” kata Won-seok Choi, seorang manager Hi-Mart, perusahaan yang banyak mencukongi beberapa pegolf wanita di tur LPGA dan beberapa pegolf lainnya di Korea. ”Kami telah memulai lebih dari lima tahun.”
Hanya itu? Tidak. Yang juga mendasar adalah biaya join sebuah klub golf di Korea terhitung sangat murah, dibanding dengan di negara-negara lain.
Jadi klop. Fasilitas terjangkau, orang tua punya kemauan keras—bahkan sampai mengizinkan anaknya belajar golf di luar negeri. Di negeri baru itulah, mereka mendapat kesempatan yang lebih besar. Paling tidak mereka bisa membenahi bahasa Inggris yang kerap menjadi masalah.
Itulah pula yang dilakukan Oh Seok-gu, ayah Oh Su-hyun. Awalnya, dia hanya mengajak putrinya itu bermain golf di sebuah padang golf di kampung halaman mereka, Busan. Namun, dia merasa teramat sulit dan mulai putus asa. Mereka pun berkemas dan terbang ke Australia untuk berlatih dengan serius.
Eh, rupanya pilihan itu tidak keliru. Di negeri barunya itu, Oh mendapatkan kesempatan lebih besar dan bisa menunjukkan tajinya. Tahun lalu saja dia menjadi juara junior di Negara Bagian Victoria.
Nah, Oh Seok-gu memang tengah merenda karier yang lebih bagus. Contohnya siapa lagi kalau bukan Michele Wie, yang punya orang tua asli Korea namun memilih menjadi warga negara Amerika Serikat. Bagi mereka, tak peduli di mana mereka tinggal, yang penting mereka tetap bisa berkilau, persis seperti bunga Mugunghwa.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo