Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI berambut kelimis itu menggenggam wayang Rahwana. Sementara seorang perempuan bergelung, bermata sayu, menempel di belakangnya, seolah ingin mencuri dengar apa yang diucapkan sang pemuda. Pemuda itu berkata:
Biarkan ketakutan ini yang menggembalakannya. Dan ketidakpastian ini yang membimbingnya. Nyanyikanlah untuk satu lagu: Kematian!
Lukisan itu adalah bagian dari panel lukisan bertajuk Tuan, Gapit itu Telah Patah karya Pius Sigit Kuncoro. Perupa asal Yogyakarta itu tengah menggelar pameran di Sigi Arts Gallery, Jakarta, hingga 3 Maret mendatang. Tema pameran pria kelahiran Jember, Jawa Timur, 35 tahun lalu itu adalah Mission Sacre atau Misi Suci.
Tapi apa yang disajikan dalam pameran bukan hal imannya. Dalam seri lukisan Tuan, Gapit itu Telah Patah, Sigit justru mengeksplorasi dunia wayang. Ia menyajikan seri panel tentang seorang pemuda dan perempuan yang melakonkan perang tanding antara Rahwana dan Rama. Gapit dalam dunia pewayangan merupakan pencapit setiap wayang, sehingga ia dapat berdiri tegak. Bila salah satunya hilang, wayang akan masuk kotak. ”Istilahnya diembu atau masuk kotak dan mengalami masa kegelapan,” ujar alumnus Institut Seni Yogyakarta ini.
Ketika pemuda itu mengangkat wayang Rama, perempuan berkebaya itu seolah berkata kepada Rama, tentang kelemahan Rahwana: Tuan…, Gapit itu telah patah. Dan terlepas dari ikatannya. Kesaktiannya telah hilang hingga tidak seorang pun yang akan mungkin menggunakannya. Ohhhh....
Yang menarik adalah bagaimana cara Pius secara visual menghadirkan adegan komik itu. Gambarnya mirip gambar-gambar komik tahun 1970-an. Warna sepia macam koleksi foto zaman dulu. Terus dia menciptakan gelembung-gelembung percakapan dengan kalimat teks yang berisi pernyataan yang terasa dilebih-lebihkan. Hurufnya tegas, huruf besar semua.
Betapapun demikian seri panel tentang perang tanding Rama dan Rahwana itu sekuen-sekuennya kurang memberikan kejutan. Justru yang lebih berhasil adalah seri panel kedua bertajuk Maaf Mungkin Aku Salah Masuk. Inspirasi ”komik” ini adalah cerita Gitanjali dari India. Pius pernah mendapat kesempatan melakukan residensi di Banglore, India, pada 2004. Seni rupa rakyat dan pop di sana rupanya memberikan kesan kuat dalam diri Sigit. Gitanjali sesungguhnya adalah kidung-kidung religius karya Rabindranath Tagore, tapi Gitanjali di sini dipermak oleh Sigit.
Seri ini dibuka dengan lukisan seorang pria di ujung pintu. Potongan rambutnya rapi, jasnya perlente. Ia berdiri, bibirnya terkatup. Tapi ia berkata. Lihat apa yang diucapkannya dalam balon kata itu. Betapa ”prosaik”-nya: ”Maaf mungkin aku salah masuk. Ribuan pintu telah kucoba, tapi tak ada jalan keluar.” Di panel kedua kita melihat gambar seorang perempuan berparas ayu dalam balutan sari, pakaian khas India. Dialah Gitanjali. Sembari tersungging senyum menggairahkan, ia berkata, ”Anak muda..., tutuplah pintu itu! Biar aku bukakan satu pintu yang lain. Jalan keluar untuk dunia yang baru. Mari...! Kemudian dalam panel ketiga, perempuan itu melepaskan seluruh benang dari tubuhnya, telanjang bulat.
Pengamat seni rupa Rifky Effendy menilai pameran ini menarik. ”Narasinya cukup kental,” tuturnya kepada Tempo. Teks dalam lukisan Sigit, menurut dia, menjadi semacam modus operandi. Memang bila kita melihat salah satu lukisan di dinding galeri yang dibuat Pius saat pembukaan, kita bisa tersenyum. Lukisan itu menampilkan dua pendekar pria wanita khas cerita silat era 70-an. ”Tuan, tahan dirimu. Dengarkan dulu penjelasannya,” begitu kata sang tokoh. Teks-teks itu seakan sebuah cuplikan dari sebuah rentetan dialog atau cerita yang panjang yang kita tak tahu. Tapi, karena ditampilkan secuil itu, justru itu yang membuat aneh dan menarik.
Sita Palanasari Aquadini, SJS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo