Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Norbertus Riantiarno punya hubungan istimewa dengan bacang dan Hotel Indonesia. Pendiri Teater Koma ini, pada suatu masa, pernah amat bergantung pada makanan dan bangunan itu. Bahkan bisa dibilang keduanya punya andil besar pada sukses Nano—begitu dia biasa disebut—sebagai pelaku seni.
Bacang, kudapan dari nasi atau ketan isi daging yang dibungkus daun pandan wangi, adalah satu-satunya makanan Nano dan kawan-kawannya selama berlatih teater di Bali Room, Hotel Indonesia. Itu terjadi selama delapan bulan, hingga Oktober 1968. Bersama rekan-rekannya dari Akademi Teater Nasional Indonesia, Nano berlatih di bawah asuhan (almarhum) Teguh Karya dari pukul 10.00 hingga 17.00 WIB.
”Meski berlatih di hotel bintang lima, kami tak mampu membeli makanan di sana. Minumnya saja kadang air keran,” Nano berkisah. Bisa berlatih di sana pun karena Teguh Karya adalah karyawan di Hotel Indonesia, di Bagian Seni dan Budaya. Karena mereka sama-sama miskin, makan siang para pemain teater itu adalah hasil bantingan yang dipakai untuk membeli bacang.
Hari-hari latihan di sebuah ruangan oval seluas 1.000 meter persegi disangga 18 buah pilar itulah yang kemudian melahirkan Teater Populer pada 14 Oktober 1968. Pertunjukan pertama: Gerak Dramatik. Berlangsung 20 menit, pertunjukan itu menjadi acara pendahulu film karya Wim Umboh berjudul Sembilan yang diputar di Bali Room tersebut. ”Ketika itulah kami mendapat jatah makan siang dari hotel,” kata Nano.
Hotel Indonesia yang dibuka Presiden Soekarno pada 5 Agustus 1962 itu telah menjadi bagian romantika begitu banyak orang, Nano salah satunya. Hotel itu memang dirancang menjadi rumah acara-acara bertaraf internasional. Dibangun mulai 1959, di sinilah tamu-tamu Asian Games IV pada 1962 menginap. Dalam perjalanannya, Hotel Indonesia menjadi pusat kegiatan kaum kelas atas Jakarta di masa itu.
Dalam setiap pementasan Teater Populer sebulan sekali pada 1968-1970, warga Menteng, seperti Ali Sadikin dan nyonya serta keluarga Hatta, selalu datang menonton. Dengan harga tiket Rp 300 per pertunjukan, Bali Room, yang berkapasitas 1.000 penonton—800 orang di bawah dan 200 orang di balkon—selalu penuh.
Bali Room juga menjadi gedung bioskop terbaik di Jakarta pada 1960-an dan awal 1970-an. Sistem akustiknya canggih dan modern untuk ukuran masa itu. Jakarta Theater belum ada kala itu. Pesaingnya paling Metropole. Pada 1972, pemutaran perdana film Batman dilakukan di Bali Room.
Maka jadilah hotel yang menghampar di atas tanah seluas 25.082 meter persegi itu sebagai pusat gaul masyarakat kalangan jetset Ibu Kota. Pada pertengahan 1970-an, Nirwana Supper Club, yang berada di teras tertinggi di Ramayana Wing, merupakan tempat kongko para hartawan Jakarta. Ada dua sayap di hotel ini: Ramayana setinggi 15 lantai dan Ganesha, delapan lantai. Kontes kecantikan Miss Indonesia pertama juga dilangsungkan di sini. Tegak megah di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, bangunan ini menghadap Bundaran HI dan Tugu Selamat Datang.
Soekarno sebagai penggagas Hotel Indonesia memang menginginkan hotel berstandar internasional. Maka presiden pertama Indonesia itu menyewa arsitek asal Amerika Serikat: Abel Sorensen dan istrinya, Wendy. ”Tapi Soekarno sendiri meminta maaf kepada arsitek Indonesia dan meminta mereka belajar dari pembangunan Hotel Indonesia,” kata Wakil Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Bambang Eryudhawan. ”Agar arsitek Indonesia bisa merancang hotel bertaraf internasional sendiri.”
Ya, Soekarno ingin Hotel Indonesia menjadi yang terbaik di zamannya. Bangunan berbentuk ”T” itu dibangun dengan arsitektur gaya internasional yang sedang menjadi tren di masa itu. Ciri gaya ini lebih mengutamakan keluasan (volume) ketimbang bentukan padat dan berat. Keseimbangan ditonjolkan, tapi tidak harus simetris. Gaya ini lebih menampakkan struktur bersih dan steril—berbeda dengan gaya arsitektur sebelumnya, neoklasik dan gothic, yang ramai ornamen.
Bila diamati, bangunan Hotel Indonesia memang simpel dan ramping. Kamar-kamarnya—semula berjumlah 570 buah—hanya berjajar dalam satu baris, dengan lorong yang langsung mendapat pemandangan Bundaran HI. Kamar-kamar tidak berhadapan dengan lorong di antaranya.
Hotel ini juga dirancang terbuka. Setiap ruang dan kamar bisa mendapat sinar matahari. Bahkan hotel ini semula diniatkan menjadi bangunan tanpa penyejuk udara. Begitulah idealisme Soekarno tentang gaya bangunan di iklim tropis: terbuka terhadap cahaya dan angin. Tapi muncul masalah. Hawa jadi pengap karena saluran penyejuk udara tidak terlalu baik, ditambah langit-langit yang rendah.
Keindonesiaan Soekarno tecermin dalam karya seni asli Indonesia yang tersebar di sekujur tubuh hotel. Ini selaras dengan gaya internasional, yang salah satunya memiliki ciri ”seni terapan” (applied art) pada bangunan. Lukisan tidak lagi digambarkan pada kanvas, tapi langsung pada dinding.
Lihat saja mural di dinding samping Ramayana Lounge—berada di bawah kubah—karya Lee Man Fong, dan pada dinding bagian atas jalan masuk ke Bali Room. Mozaik karya G. Sidharta juga membuat meriah Ramayana Lounge. Ada pula relief yang bercerita tentang kehidupan masyarakat Bali karya Sanggar Sela Binangun, Yogyakarta. Hotel Indonesia menjadi pelopor dekorasi kain batik sebagai pajangan dinding. Iwan Tirta adalah perancangnya.
Gaya arsitektur berstandar internasional, mahakarya seni lokal, dan berbagai pertunjukan seni yang pernah digelar menjadikan Hotel Indonesia ikon metropolitan pada masanya. Ketika itu, ia baru satu-satunya hotel bertaraf internasional di Indonesia. Pada awal 1970-an, muncul Hotel Hilton International dan Hotel Sahid.
Sekitar tiga dekade setelah kelahirannya, Hotel Indonesia mulai meredup, pada 1990-an. Surjadi Soedirdja, Gubernur DKI Jaya di masa itu, menetapkan hotel ini sebagai cagar budaya pada 1993. Renovasi terbatas dilakukan. Termasuk pengecatan bagian luar. Langkah itu tak mampu mendongkrak ketenaran Hotel Indonesia. Bahkan manajemen hotel pernah banting harga hingga Rp 200 ribu per malam di masa krisis moneter 1998. Akhirnya, landmark kota ini tutup buku pada usia 42 tahun, 15 April 2004.
Pengelola Hotel Indonesia, PT Hotel Indonesia Natour, akhirnya bersepakat dengan PT Cipta Karya Bumi Indah, perusahaan milik PT Djarum, untuk mendandani hotel bersejarah ini. PT Cipta mendapat hak membangun dengan sistem built-operation-transfer (BOT) selama 30 tahun. Ia menggandeng jaringan Kempinski Hotel sebagai pengelola.
Aneka pembenahan dilakukan seturut standar hotel bintang lima. Salah satu yang signifikan adalah menggabungkan dua kamar menjadi satu. Totalnya 289 kamar. Hotel Indonesia Kempinski bertekad tetap mempertahankan warisan seni dari masa silam. ”Kami membangun heritage room untuk tempat karya-karya seni itu,” kata Hanny Wahyuni, Direktur Hubungan Masyarakat Hotel Indonesia Kempinski.
Dalam acara soft launching Rabu pekan lalu, Manajer Umum Hotel Indonesia Kempinski Gerhard E. Mitrovits menyatakan akan mengembalikan kejayaan hotel ini. Dulu, Hotel Indonesia terkenal tidak hanya menjual jasa dan makanan, tapi juga karena kesenian. Mengutip pesan Riantiarno, ”Mudah-mudahan pihak hotel kelak tidak melupakan pertunjukan teater yang pernah membuat Hotel Indonesia punya daya tarik.”
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo