Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Jejak <font color=#CC0000>Wallace</font> di Pesta Darwin

Peringatan 200 tahun Charles Darwin dirayakan besar-besaran dari Februari hingga April. Labelnya sebagai penemu teori evolusi digugat kembali. Sejumlah ilmuwan menyebutkan Alfred Russel Wallace lebih dulu mengajukan teori evolusi. Tempo menelusuri jejak Wallace di Inggris: dari kota kelahirannya di Usk, Wales, hingga menemui cucunya di Lymington, Hampshire.

2 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Natural History Museum, London, berhias. Di sepanjang jalan dan di setiap sudut salah satu museum sejarah alam terbesar di dunia itu terpampang poster-poster ukuran jumbo bertulisan ”Darwin, Big Idea, Big Exhibition”. Koleksi serangga, foto, buku, surat pribadi, peralatan pribadi, dan buku catatan pribadi Darwin dipajang. Ra­tusan orang datang setiap hari.

Inilah perayaan 200 tahun Charles Robert Darwin (1809-1882), ilmuwan yang ditahbiskan sebagai penemu teori evolusi—teori asal-usul dan perubahan bertahap makhluk hidup. Perayaannya berlangsung sejak 12 Februari, tanggal kelahirannya, hingga 19 April mendatang.

Nun di Lymington, sebuah desa kecil di tengah taman nasional di Hampshire, tenggara Inggris, sekitar tiga setengah jam menggunakan kereta dari London, Richard Russel Wallace menjelaskan pohon keluarga Wallace kepada Tempo. Richard adalah cucu Alfred Russel Wallace (1823-1913), bapak biogeografi yang menuliskan dua surat penting tentang ”hukum” asal-usul spesies kepada Darwin menjelang Darwin meluncurkan buku terkenalnya, On the Origin of Species (1859).

”Kakek tak peduli siapa penemu ­teori evolusi,” ucap Richard. ”Ia cukup berbahagia Darwin akhirnya menulis buku tentang teori evolusi yang benar.”

Richard, 85 tahun, adalah petani dan peternak. Tak seperti sang kakek, yang menjelajahi pelbagai belahan dunia, Richard tak pernah beranjak jauh dari Hampshire. ”Di keluarga kami ada dua tipe: tipe penjelajah dan tipe penetap. Saya masuk tipe yang kedua,” katanya, terkekeh.

Ia mencontohkan ayahnya, William Greenell Wallace, dan bibinya, Violet Greenell Wallace, yang mewakili dua tipe ini. William sudah berkelana ke Amerika sebagai ahli di bidang elektrik. Dia baru kembali ke Inggris sekitar 1900 karena mengidap tuberkulosis. Sedangkan Violet tak pernah keluar dari Inggris sepanjang hidupnya. Wallace bersama adiknya, William, juga bertualang. Sedangkan dua saudara Wallace, John dan Frances, tak ke mana-mana.

Di rumah Richard yang sederhana, foto sang kakek tersebar di berbagai tempat: di atas tungku pemanas, di atas bufet, termasuk foto Wallace sedang bermain catur dengan saudara perempuannya di salah satu sisi ruang tamu. Richard baru lahir sepuluh tahun setelah Wallace meninggal. ”Biasanya yang datang ke sini ilmuwan dan mahasiswa. Baru kali ini kami didatangi wartawan,” katanya.

Di loteng rumah ini mereka menyim­pan semua manuskrip, koleksi serangga, foto, serta surat pribadi Wallace. ”Untungnya, keluarga kami terbiasa menyimpan surat-surat, entah pen­ting entah tidak, surat pribadi atau resmi. Kami tak pernah membuang barang kenang-kenangan turun-temurun, seperti kartu pos, surat, buku keluarga, dan mebel,” ucap Richard. Surat dan koleksi serangga baru diserahkan ke Natural History Museum pada 2000.

l l l

Cerita kontroversi tentang siapa se­sungguhnya penemu teori evolusi itu muncul pertama kali di rumah Richard. Saat itu, Henry Lewis McKinney, mahasiswa program doktor dalam bidang filosofi dari Cornell University, datang ke rumahnya pada 1960. McKinney, yang memakai topi dan berpakaian ala Wallace, berbulan-bulan membongkar seluruh dokumen kakek Richard.

McKinney penasaran pada dua surat Wallace yang dikirim pada 9 Maret 1858 dari Ternate, Maluku. Ia mempertanyakan soal waktu kedatangan dua surat yang dikirim secara bersamaan itu: satu untuk Charles Darwin dan satunya lagi untuk sahabatnya, dua bersaudara Henry Walter Bates dan Fre­derick Bates. McKinney menyinggung soal dua surat ini dalam tesis yang di­tulisnya, Alfred Russel Wallace and the Discovery of Natural Selection.

Tulisan McKinney inilah yang mele­tupkan spekulasi siapa yang lebih dulu melahirkan teori evolusi. Ilmuwan pun ramai-ramai ”menelusuri jejak” dua surat dari masa lampau itu. Sejumlah buku terbit. The Darwin Conspi­racy karya John Darnton (2005), A Deli­cate Arrangement (1980) karya Arnold Brackmann, dan buku seorang ilmuwan Amerika, John L. Brooks, Just Before the Origin (1984), membahas dua surat itu.

Buku John L. Brooks, misalnya, menyimpulkan Darwin mengadopsi ide dari Wallace. ”Jadi kontroversi soal siapa yang lebih dulu atau siapa yang lebih berhak menyandang gelar penemu teori evolusi bukanlah hal baru bagi kami,” kata Richard.

Di antara orang yang penasaran itu, baru David Hallmark, pengacara Inggris yang pernah menapak tilas jejak Wallace di Indonesia, yang nekat hendak memperkarakan Darwin secara hukum. Ia menyewa ahli plagiarisme independen untuk memeriksa seluruh dokumen Wallace dan Darwin.

Hallmark akan menggunakan surat pribadi Darwin yang ditulis kepada sahabatnya sesama ilmuwan, Charles Lyell,­ sebagai salah satu dasar gugatannya (lihat ”Darwin Terindikasi Malpraktek”).

Di dalam suratnya kepada Lyell pada 18 Juni 1858 itu, Darwin antara lain menulis, ”The letter just arrived today and all my works is smashed.” Surat yang dimaksud Darwin itu jelas surat Wallace yang dikirim dari Ternate pada 9 Maret 1858. Hanya, Darwin tak menyadari Wallace juga mengirim surat dengan isi yang hampir sama kepada dua bersaudara Bates.

Dua surat yang dikirim pada waktu bersamaan kepada Darwin dan Bates bersaudara itu ”seharusnya” tiba bersamaan di Inggris karena dikirim dengan kapal yang sama. Tapi, kenyataannya, Bates menerima surat Wallace pada 3 Juni 1858, sedangkan Darwin mengaku menerimanya pada 18 Juni 1858, setelah ia mulai bercerita kepada beberapa koleganya tentang teori yang sudah dipi­kirkannya bertahun-tahun.

Menurut George Beccaloni, kurator koleksi serangga di Natural History Museum dan salah satu scholar di Linnean Society London, saat itu Darwin sudah mulai menyusun buku tentang On the Origin of Species. Tapi dia tak mampu menyelesaikannya. Linnean Society adalah lembaga paling bergengsi, tempat berkumpulnya ilmuwan Inggris yang mengukuhkan temuan Darwin.

Beccaloni mengatakan surat Darwin ke Lyell mengindikasikan kekha­­watiran, jika mereka tak berbuat sesuatu, semua bangunan ide yang sedang disu­sunnya akan runtuh. ”Karena punya posisi di kalangan atas, Lyell me­ngusahakan agar Darwin segera mempresentasikan makalahnya, dengan men­cantumkan makalah Wallace pada 1 Juli 1858,” kata Beccaloni.

Menurut Beccaloni, Darwin aktif menulis justru setelah membaca artikel Wallace berjudul ”Sarawak Law” yang diterbitkan di Zoological Journal pada 1855. Dalam ”Sarawak Law”, Wallace merumuskan apa yang dinamainya ”hukum” asal-usul spesies. ”Setiap spesies menjelma secara serta-merta di dalam ruang dan waktu bersama spesies yang berkerabat (mirip) dengannya,” tulis Wallace. Ia juga menyebutkan spesies-spesies yang mirip itu muncul berdampingan dalam ruang geografi dan dalam waktu geologi karena diturun­kan dari leluhur yang sama. Inilah dasar dari teori evolusi, cuma Wallace tak menyebutnya sebagai evolusi. Ia masih belum dapat menjelaskan ”bagaimana cara spesies menjelma dan bertransformasi”.

Darwin sendiri tak pernah membantah atau membenarkan bahwa ia buru-buru menyelesaikan teorinya lantar­an pengaruh Wallace. Ia hanya menyebutkan telah merangkum pokok-pokok pikiran yang ternyata sama dengan Wallace selama 20 tahun, sejak ia melakukan perjalanan ke Pulau Galapagos pada 1833. Kisah perjalanan dengan kapal Beagle itu ia tuangkan dalam Journal. Buku Darwin ini justru memantapkan jalan hidup Wallace muda untuk bertualang.

Namun Journal sama sekali tak menyinggung gagasan evolusi. Darwin belum pernah menerbitkan publikasi ilmiah sebelum The Origin. Sebaliknya, Wallace sudah menerbitkan makalah beberapa kali. Setelah ”Sarawak Law”, misalnya, Wallace menulis soal klasifikasi alam pada burung pada 1856. Makalah yang diterbitkan tahap demi tahap itu telah berjasa membangun pohon teori evolusi. ”Tapi Darwin yang selalu mendapat nama ketika dihubungkan dengan evolusi, padahal dia sebetulnya hanya merangkum,” ucap Beccaloni.

Meski mengkritik, Beccaloni sama sekali tak setuju dengan David Hallmark yang secara terus terang menyebutkan Darwin mencuri ide Wallace. Ia lebih setuju jika keduanya dibilang se­bagai penemu teori evolusi melalui seleksi alam dalam waktu bersamaan. ”Saya percaya Wallace berhak mendapat setengah dari kredit nama yang sebagian besar diborong Darwin,” ucapnya.

l l l

Terhadap silang pendapat tentang penemu teori evolusi ini, keluarga Wallace tak akan memperkeruhnya. ”Keluarga Wallace mengambil posisi netral,” ujar Richard. Wallace dan keturunannya, kata Audrey, istri Richard Russel Wallace, bukanlah orang yang berambisi memperoleh ketenaran, apalagi uang.

Salah satu contoh bahwa Wallace tak peduli pada ketenaran adalah ketika Raja Edward VII menganugerahi­nya gelar The Order of Merit, gelar tertinggi yang diberikan Raja Inggris kepada rakyat biasa yang berjasa dalam bidang seni, budaya, literatur, dan ilmu pengetahuan. Thomas Hardy, Winston Churchill, serta Nelson Mandela adalah beberapa nama yang pernah menerima gelar ini.

Wallace diundang ke Istana ­Buckingham untuk menerima gelar itu langsung dari tangan Raja. Tapi dengan sopan ia menolak datang dengan alasan sudah tua. Dia meminta sertifikat gelar dan medalinya dikirim lewat pos saja. Akhirnya, sekretaris pribadi Raja Edward VII sendiri yang datang mengantar medali dan sertifikat penghargaan ke rumah Wallace di Broadstone, Dorset—sekitar 30 menit dari Lymington jika menggunakan kereta.

Hubungan Wallace-Darwin pun terbilang hangat kendati mereka amat jarang bertemu. Suatu kali Wallace nyaris kehilangan semua uang yang diperolehnya dari mengumpulkan serangga spesies baru di tanah Melayu. Wallace terjebak dengan ajakan investasi dari teman-temannya di sebuah perusahaan tambang yang ternyata bangkrut. Ia juga tertipu oleh kontraktor yang menangani pembangunan rumahnya. Kehidupan Wallace pada 1880 itu pun cuma ditopang oleh royalti buku serta honor menulis dan memberikan kuliah. ”Cerita tentang Kakek yang mengalami kesulitan keuangan ini kemudian sampai ke telinga Darwin,” tutur Richard.

Darwin, yang punya kenalan sangat luas di jajaran pemerintah, kemudian menulis surat langsung kepada Perdana Menteri Inggris. Ia meminta bantuan agar Wallace mendapat pensiun sipil atas jasa-jasanya dalam bidang biogeografi. Permintaan Darwin dikabulkan.

Karena menerima pensiun sejak 1881 itulah kehidupan Wallace mulai te­nang tanpa diganggu masalah keuangan. Karena itu pula, menurut Richard, kakeknya tak pernah berhenti berterima kasih kepada Darwin.

Cerita tentang kesulitan keuangan dan keluarga yang tak terbiasa punya uang banyak itu diungkapkan Wallace dalam buku otobiografinya, My Life: A Record of Events and Opinions (diterbitkan pada 1905). ”Jika bukan karena kesulitan keuangan, saya mungkin tak akan pernah menerima tawaran memberikan kuliah di Amerika, dan mungkin tak akan pernah menulis buku Darwinisme dan dua buku lainnya,” tulisnya.

Wallace tinggal di Broadstone sejak Desember 1902, setelah pindah dari Corfe View di Parkstone, juga masih di wilayah Dorset. Ia pindah lantaran vila mulai menjamur. ”Setiap hari, makin sulit menemukan pemandangan alam tanpa terganggu dengan rumah yang bermunculan. Setidaknya butuh sekitar satu mil berjalan kaki untuk bisa menemukan pemandangan bebas hambatan,” tulis Wallace dalam buku hariannya.

Di Broadstone, Wallace mendesain sendiri rumahnya di atas tanah lima hektare. Gambar asli Old Orchard, begitu Wallace menamai rumahnya, tersimpan di National History Museum. Ia memenuhi halamannya dengan tanaman yang dibawanya dari berbagai belahan dunia. Di rumah inilah Wallace menyelesaikan sejumlah buku, antara lain Man’s Place in the Universe (diterbitkan pada 1903), My Life: A Record of Events and Opinions (1905), Is Mars Habitable? (1907), The World Of Life (1910), Social Environment and Moral Progress (1913), dan The Revolt of Democracy (1913).

Di salah satu sudut halaman Old Orchard, Wallace kemudian membangun lagi rumah lebih kecil yang diberi nama Tulgey Wood. Hanya Tulgey Wood yang kini masih berdiri. Pada 1964, Old Orchard diratakan untuk kepentingan pengembangan permukiman. Lokasi itu berubah menjadi Jalan Wallace Road.

Tulgey Wood masih tampak seperti aslinya dan terawat dengan baik. Sayang, pemilik rumah, yang merupakan pasangan muda dengan dua anak kecil, menolak rumahnya dipotret dari dekat, pun untuk memberikan keterangan lebih detail. ”Anda tak tahu betapa hidup kami terganggu dengan banyaknya orang yang datang. Ini bukan museum. Rumah ini milik pribadi,” kata istri pemilik rumah.

Perjalanan Tempo pada bulan lalu itu berakhir di sebuah pekuburan tua di daerah agak berbukit di Broadstone, tempat Wallace dan istrinya, Annie, terbaring. Tak seperti Darwin, Wallace menolak dikuburkan di Westminster Abbey. Ia memilih dikebumikan di pekuburan umum Broadstone Cemetery, Dunyeats Road, yang jauh dari keramaian.

Pekuburan tua yang rapi dan bersih itu tampak segar meski pohon-pohon pelindungnya nyaris telanjang tanpa daun karena musim dingin yang menggigit. Di jalan masuk, terdapat gardu jaga yang di jendelanya tertempel sebuah artikel tentang Wallace dari koran lokal berjudul ”Pioneer Who Stands in Darwin’s Shadow”.

Karena Wallace bukan penganut Kristen, di atas makamnya diletakkan sebuah ”monumen” dari fosil batang pohon purba setinggi kurang-lebih dua setengah meter. Fosil pohon ini adalah ide Wallace. Di pekuburan itu disematkan plakat bertulisan ”Alfred Russel Wallace. Naturalist, Scientist, Explorer, Writer, Social Campaigner, Huma­nitarian. Co-Discoverer of Evolution by Natural Selection. Founder of the Science of Zoogeography”.

l l l

”Fiat justitia, ruat coelum” (tegakkanlah keadilan, walau langit runtuh)

Kalimat Latin ini adalah moto pribadi sekaligus moto hidup Wallace. Lepas dari kontroversi di antara ilmuwan, pengacara, dan komunitas yang mene­liti soal siapa lebih berhak menyandang gelar bapak evolusi, mari kita meng­ikuti moto Wallace, dan mengunjungi salah satu bukti bagaimana posisi Darwin-Wallace dalam masyarakat Inggris. Bukti itu terlihat di salah satu bangunan prestisius Inggris, Westminster Abbey.

Westminster Abbey seperti biasa selalu ramai dikunjungi ribuan orang dari berbagai belahan bumi. Di antara keagungan gedung dan ruang, ornamen-ornamen megah yang terlihat sa­kral, di antara dinding-dinding dan lantai, ratusan jasad orang penting Inggris terkubur. Dari ilmuwan macam Isaac Newton hingga penulis macam Charles Dickens.

Mata Anda harus lihai dan tekun menyusuri sejumlah nama yang tersebar di setiap sisi, dinding kiri-kanan, lantai atas-bawah. Kuburan Charles Darwin nyaris terlewatkan. Setelah Tempo hampir putus asa menyusuri setiap ruangan ke empat penjuru, dari ruang Cloister, Choir Aisle utara hingga Choir Aisle selatan, sampai ke Nave, ruang terakhir menuju jalan keluar, nama Darwin tak juga tampak.

Akhirnya Tempo bertanya kepada salah seorang penjaga di salah satu sudut gelap. ”Kuburan Charles Darwin? Anda sedang berdiri di atasnya,” katanya sambil menunjuk ke bawah kaki saya. Ups… benar saja. Di situ tertulis ”Charles Darwin, 12-02-1809—19-04-1882” tanpa keterangan apa-apa.

Di salah satu dinding tak jauh dari lantai tersebut, terlihat plakat Alfred Russel Wallace, 1823-1913, tergantung di atas rongga seperti perapian berisi patung pualam. Selain Wallace, banyak juga orang penting Inggris tak dikubur di Westminster Abbey tapi memiliki plakat penghargaan. Di antaranya tiga penulis perempuan bersaudara Bronte (Charlotte, Emily, dan Anne), Winston Churchill, William Shakespeare, dan Oscar Wilde.

Entah mengapa Wallace tak mau dikubur di Abbey. Jika Wallace dima­kamkan di Abbey berdampingan dengan Darwin, nasib kuburnya pasti akan sama dengan nasib kubur Darwin yang setiap hari ditapaki ribuan turis. Agaknya, yang terpenting bagi Wallace—sikap yang dia tunjukkan hingga di dalam pusara—adalah semangat menegakkan keadilan, bukan meraih kemasyhuran.

”Fiat justitia, ruat coelum!”

Yos Rizal Suriaji (Jakarta), Asmayani Kusrini (London)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus