Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pentas Klise Petruk

Teater Koma mementaskan Republik Petruk di Taman Ismail Marzuki. Membosankan tapi padat penonton.

19 Januari 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT jam Budi Ros menjadi Petruk. Staminanya boleh juga. Bukan karena ia mampu berakting tanpa ngos-ngosan, tapi mengherankan ia bisa tahan mengeluarkan banyolan-banyolan garing sepanjang pertunjukan.

Ya, tapi inilah Koma. Kadang memukau. Kadang menjemukan dan membuat setengah jam sudah lelah. Petruk tergolong tontonan itu. Mulanya pembukaan cukup menyodok. Sang Petruk berbaring di sebuah ranjang mewah.

Sejak awal, kita harus mengakui, untuk urusan set dan perpindahannya, Koma memang jago. Set dengan cepat berganti-ganti dari kamar ke taman bergapura. Tapi sejak awal pula tontonan ini penuh tanda kritik yang klise. ”Ini era SBY: serba boleh ye….” Waduh, ini guyonan bukan kelas Koma.

Untuk pertunjukan ini, Koma sedikit bergaya sampakan. Coba lihat saat Petruk berdialog dengan para pemain musik yang berada di bawah panggung. Sampakan itu tak cukup gayeng, karena spontanitas kurang. Dan memang sampakan bukan roh teater Koma.

Riantiarno agaknya ingin habis-habisan berselera pop kali ini. Lihatlah kostum dan potongan rambut warna-warni Bima dan Gatotkaca yang bergaya Harajuku. Lihatlah ibu-ibu Subadra dan Drupadi yang menenteng tas-tas mal. Atau duet Limbuk (Tuti Hartati) dan Cangik (Rita Matumona) yang slapstik, menonjolkan bokong yang megal-megol untuk memancing penonton tertawa. Dan bagaimana mereka kemudian berajojing di tengah kelap-kelip lampu ala diskotek. ”Ini sih wayang wong gaya baru,” bisik penonton.

Republik Petruk merupakan pentas terakhir dari trilogi Kisah-Kisah Republik. Trilogi pertama, Republik Bagong, dipentaskan pada 2001. Trilogi kedua, Republik Togog, manggung pada 2004. Untuk pentas kali ini, sesungguhnya Riantiarno sama sekali tidak mengubah cerita dasar Petruk Dhadi Ratu sebagaimana lakon carangan tradisional. Lakon ini berpusat pada Petruk. Ia ketiban untung menerima titipan Jimat Kalimasada, pusaka Pandawa yang dicuri Mustakaweni (Cornelia Agatha). Petruk bimbang. Tapi kapan lagi wong cilik berubah nasib?

Dewa-dewa, Batara Guru dan Narada, menghasut dia. Ia akhirnya memimpin Kerajaan Lojitengara bergelar Prabu Belgedubelwelbeh Tongtongsot. Di sinilah Riantiarno sesungguhnya bisa mengeksplorasi ”kegilaan” Petruk habis-habisan. Sebagaimana di wayang kulit: Petruk saat jadi ratu sering ditampilkan ugal-ugalan. Atau seperti kita lihat pada lukisan-lukisan kaca Magelang: saat memegang kekuasaan, Petruk jadi senang minum bir, main wanita, dan berjudi. Pokoknya, Petruk menjadi sableng dan keblinger

Tapi Riantiarno ternyata sopan. Dikisahkan kerajaan Petruk makmur, meski itu semua ilusi. Ya, ya, kita tahu Riantiarno ingin menyindir pemerintahan menjelang pemilu. Bahwa sekarang ini aman, korupsi diberantas, harga bensin diturunkan, tapi tetap ada kurangnya. Pada titik ini sindiran Riantiarno tak tajam.

Terakhir, untuk melawan Petruk, pihak Pandawa menunjuk Gareng sebagai panglima perang. Emanuel Handoyo sebagai Gareng memang cukup rileks dan jenaka. Berhadapan dengan Gareng, Petruk mula-mula berlagak: ”Siapa kamu?” katanya. Tapi kemudian ia lunglai. Dan rekayasa para dewa pun selesai. Semua bernyanyi tentang indahnya pluralisme. Para dewa kembali ke ”Indonesia”. Alamak….

Jelas penampilan Koma berbeda dengan ketika mementaskan Kenapa Leonardo?, naskah penulis Slovenia, Evald Flisar, awal tahun lalu. Pertunjukan saat itu banyak dipuji pengamat. Koma dianggap berani karena menyuguhkan pertunjukan serius, yang mungkin tidak menjadi selera umum penontonnya.

Dan ternyata Januari ini Koma kembali ke ”konstituen” konvensionalnya. Hujan deras yang mengguyur Jakarta beberapa hari terbukti tak menghalangi kehadiran penonton. Itulah Koma. Membuat mereka yang ingin menonton pertunjukan sekaliber Opera Ikan Asin, Tenung, dan Kenapa Leonardo? kecewa. Tapi ia tetap dicintai publiknya.

Seno Joko Suyono, Sita Planasari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus